Secuil jiwa Juna yang ditinggalkannya di rumah menyaksikan Hartono dan Leila pulang kembali ke Samanggi.Seakan menonton drama keluarga, secuil jiwa itu hanya duduk sambil tersenyum melihat adegan demi adegan.“Wen, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Hartono begitu tiba di rumah besarnya. Leila di belakangnya hanya mencibirkan bibir dengan ekspresi culas.“Mas!” Wenti lekas memeluk suaminya dan merasa lega bukan kepalang atas kepulangan sang suami.“Bagus! Di depanku masih berani bermesra-mesraan!” sindir keras Leila sambil melipat dua tangan di depan dada.Wenti sadar dan lekas melepaskan pelukannya. Dulu mereka sudah membuat kesepakatan kalau Wenti dilarang terlihat mesra dengan Hartono di depan Leila jika ingin direstui Leila sebagai istri muda.“Ma—maaf, Mbakyu.” Wenti sedikit menundukkan kepala.Hartono berdecak ke istri tuanya dan berkata, “Mih, jangan begitu. Wenti kan sedang kalut dan syok. Dia meluk aku juga bukan karena ingin bermesraan, tapi karena saking lega aku datang. Ya,
Dua minggu berbulan madu dengan Lenita sungguh mengenyangkan hasrat lelaki Juna. Dia puas dan mengakui memiliki istri cantik memang sebuah keberuntungan setelah dilempar ke era modern ini.‘Dewata sudah melemparku ke zaman tak kukenal ini dan membuatku kebingungan, maka sudah sewajarnya aku sekarang menikmati apa yang seharusnya di sini.’ Juna menggumam dalam hati sambil memasukkan seluruh koper ke bagasi mobil.“Ini kita sungguhan pulang?” tanya Lenita dari samping, memperhatikan suaminya yang masih sibuk memasukkan koper ke bagasi mobil sewaan mereka.“Ini sudah terlalu lama, Len. Kantor membutuhkan aku. Apalagi ada beberapa klien dan relasi yang menunggu aku untuk membicarakan berbagai kesepakatan.” Juna memang tak bisa memperpanjang liburan mereka meski dia ingin.Lagipula, dia rasa ini sudah lebih dari cukup bersenang-senang tanpa memikirkan hal berat apapun.***“Papa, Mama.” Juna menyapa ayah dan ibu mertua mudanya ketika dia dan istrinya sudah tiba di rumah.“Sudah pulang, Jun
Lenita ditantang Juna untuk mencoba melamar pekerjaan di kantor sang suami jika memang dia ingin terus bisa berdekatan dengan suaminya.Dia sendiri tak paham kenapa melakukan semua itu. Sepertinya niatnya sudah mulai kabur, tak lagi tegas dan jelas sehingga terdistorsi antara ingin menaklukkan Juna dalam genggamannya seperti dulu agar bisa menggunakan Juna sesuka hati, atau ingin memiliki suaminya tanpa Juna bisa disentuh wanita manapun kecuali dia karena dia tak mau kehilangan pria itu.‘Pokoknya, aku harus menjadi penguasa Juna satu-satunya!’ Lenita tidak mampu menjawab apakah motivasinya dulu masih sama dengan yang kini semenjak dia berbulan madu.Maka, pagi ini dengan menggunakan setelan blazer layaknya pebisnis wanita sukses, Lenita berjalan di lobi gedung kantor Juna.Resepsionis lantai dasar yang mengenali Lenita tentu langsung menyambut, berjalan tergopoh-gopoh seperti kemarin dulu. “Selamat pagi, Bu Lenita. Mari saya antar Ibu ke ruangan Bapak.”Lenita memandang rendah ke wan
Mata Lenita membola lebar mendengar ucapan suaminya.Juna mengulangi lagi ucapannya menggunakan kalimat berbeda, “Sebagai pemimpin perusahaan ini, kunyatakan bahwa berkas ini tidak memenuhi syarat. Bu Saraswati, apakah Anda sudah melakukan wawancara dengan Bu Lenita?”Saraswati makin gugup. “Be—belum, Pak!” Dia benar-benar tak sanggup menatap Juna, sepertinya nasibnya sudah jelas: dipecat.Helaan napas keluar dari mulut Juna. Dia bisa meraba rasa takut Bu Saraswati dari sikap dan caranya menjawab. Pasti istrinya bersikap bossy dan memaksa seperti layaknya Lenita si putri konglomerat pemilik perusahaan.“Bu Saraswati bisa meninggalkan ruanganku dulu, hanya saja, saya harap lain kali Anda bersikap profesional! Saya masih memaafkan Ibu.” Juna mengerti dilema Kepala HRD dan masih memberi kesempatan Saraswati.Ucapan Juna bagaikan guyuran embun segar di kepala Saraswati. Seketika dia mengangkat kepalanya dan menampilkan senyum lebar nan cerah sembari berkata, “Baik, Pak! Terima kasih! Teri
Lenita tidak menyangka dia dianggap salah lagi oleh suaminya. “Baiklah! Baiklah! Aku akan segera berdiri kalau kamu datang dan tidak lagi memanggilmu Juna di kantor!” Dia menyadari apa yang membuat Juna tak senang.“Bahkan saat ini dan detik ini pun kamu masih memiliki kesalahan. Kau benar-benar tidak pantas berada di kantor sebagai bawahan orang lain. Kau sudah terbiasa tegak mendongak sejak kecil.” Juna menghela napas.“P—Pak Juna, maafkan aku! Maafkan keteledoranku. Aku … aku sungguh masih ingin bekerja di sisi Bapak!” Lenita mencicit lirih dengan wajah paling memelas yang bisa dia gunakan. Otot-otot wajahnya dikerutkan semaksimal mungkin untuk menunjukkan kesedihan.“Hgh! Cukup kali ini, dan tidak akan ada lagi lain kali untukmu!” tegas Juna. Padahal dalam hatinya dia tertawa karena berhasil menakuti Lenita sampai istrinya bersikap memelas sedemikian rupa.Namun, di benak Lenita pun dia tertawa riang. ‘Ha ha ha! Saran temanku memang benar! Lelaki kadang lebih mudah ditaklukkan den
Juna menyelesaikan pertemuannya dengan salah satu relasi bisnisnya dan kembali ke kantor bersama Velina menggunakan mobil pribadinya tanpa sopir.Di sampingnya, Velina terus merasakan debaran jantung yang tak karuan setiap berdekatan dengan sang bos. ‘Pak Juna ini memang penuh kharismatik. Dulu memang dia tidak terlihat begini karena jarang muncul di kantor. Tapi, setelah Beliau sering datang ke kantor, aku akui Beliau memang memancarkan wibawa dan pesona seorang bos besar.’Sesekali, Velina akan melirik, mencuri pandang ke arah Juna yang sedang fokus mengemudikan mobil. ‘Punya suami seperti Pak Juna pasti membuat hati lega. Dia berkharisma, tegas, profesional, tidak bertingkah sembarangan, dan sepertinya dia lelaki yang benar-benar baik, tidak sembrono pada siapapun.’Di hatinya, Velina mengeluh, ‘Kapan aku bisa punya pasangan seperti Pak Juna, ya? Bu Lenita sangat beruntung! Tapi kenapa dulu aku dengar kalau Pak Juna selalu di bawah ketiak istrinya? Rumor itu sepertinya salah. Bukti
Mata Lenita berbinar senang, apakah pertanyaan Juna itu menyiratkan ketidaksukaan suaminya jika dia tampil seksi dan gaya meski tidak berbusana terbuka?“Iya, aku ingin pakai pakaian seperti ini. Kenapa?” tanya Lenita, bersiap mendengar Juna akan menyuruhnya mengganti baju atau semacam itu. Dia menantikan momen-momen Juna khawatir lelaki terpikat padanya.‘Ha! Ayo, larang aku! Suruh aku ganti baju!’ Lenita berseru girang di hatinya. Jangan cuma dia yang terus kelimpungan karena takut kehilangan Juna! Juna juga harus merasa demikian!“Oh, ya sudah. Terserah saja, sih! Aku hanya merasa aneh kalau karyawan kantor pakai baju seperti itu, terlihat kurang profesional.” Setelah mengatakan itu, Juna meraih jas dan tasnya, lalu keluar kamar karena dia sudah rapi.Lenita mematung di tempatnya. Kesal! Tentu saja dia kesal! Ternyata bukan karena takut Lenita ditatap lelaki lain dengan pandngan napsu, melainkan karena dianggap aneh serta tidak terlihat profesional!Dia mematut dirinya di depan kac
“Eh? Ada apa ini?” Wenti bingung ketika menaiki angkot untuk pulang usai berbelanja cukup banyak, ternyata mobil angkutan umum itu tidak ke arah yang semestinya. “Pak, kok arahnya ke sana? Bukannya harusnya angkot nomor ini belok ke kiri tadi, ya?”Wenti tak habis pikir karena sopir angkot justru berbelok ke kanan dan itu arah berbeda untuk pulang ke rumah Hartono.“Tenang saja, Nyonya, memang sudah seharusnya ke kanan, kok!” Sopir lalu terkekeh, demikian juga beberapa penumpang lelaki di sana.Melihat kejanggalan respon dari orang di dalam angkot, Wenti segera mengerti bahwa angkot ini sengaja menargetkan dia.Terlebih sopir memanggilnya nyonya, bukan ibu, menandakan mereka mengetahui kalau dia bukan orang sembarangan. Pantas saja mobil angkot ini lebih gelap kacanya dibandingkan angkot biasanya. Rupanya sudah dipersiapkan untuk dirinya.Wenti juga teringat si kernet angkot sempat menghampiri dia begitu dia keluar dari pasar dan langsung menawarkan angkot padanya dan malah membawakan