Share

Dia Demitria 2

Aku melewatkan makan malam dengan berdiam diri di depan cermin persegi milik toilet sekolahan yang kini beralih ke meja belajarku. Aku masih menatap diriku yang ada di dalam cermin.Aku memutar bola mata dan yang ada di dalam cermin juga begitu. Tidak pernah seumur hidupku memandangi cermin sampai 3 jam begini. Aku menghela nafas, seketika aku jadi merinding sendiri. Menurut cerita yang beredar di kalangan penduduk sekolah, toilet cowok adalah tempat angker nomor 3 setelah laboratorium bahasa dan gudang penyimpanan. Aku sih tidak terlalu mempercayai hal itu. Akan tetapi kejadian siang tadi benar benar membuatku terpana dimana aku melihat pantulanku bertindak seenaknya. Mungkin saja itu adalah tipuan proyeksi karya anak anak genius dan jahil.

Atau bisa saja sebenarnya aku memiliki kembaran tak kasat mata yang bisa ku lihat hanya melalui cermin. Namun jika benar seperti itu maka seharusnya ini bukan kali pertama mengalami peristiwa macam ini. Kembali ke logika, lebih baik aku mulai percaya toilet cowok itu benar benar angker yang otomatis yang ku lihat tadi hanyalah hantu kesepian yang sedang iseng. Yah setidaknya itu lebih masuk akal sih. Ku pandangi cermin itu untuk terakhir kalinya. Besok aku akan mengembalikan benda ini ke tempat asalnya.

"Demit"

"ASTAGA" Jantungku nyaris copot.

Laurent masuk ke kamarku lalu menutup pintunya kembali. Ia meletakkan nampan berisi sepotong ayam, sepiring nasi, segelas jus dan beberapa potong apel berbentuk kelinci di atas meja. Aku menatapnya dengan tatapan kenapa-kau-tidak-pergi? Dan hanya di tanggapi dengan kedikan bahu. Laurent melompat ke ranjangku dan bermain ponsel disana.

"Kak, kembalilah ke kamarmu. Aku sedang tidak ingin berkelahi" kataku putus asa.

"Papa dan Mama bertengkar lagi.Kamarku yang berada di dekat mereka jadi terusik oleh suara suara yang mengganggu itu"

"Mama mencurigai sekertaris baru Papa lagi?" Tanyaku saat beralih duduk di samping Laurent.

"Mungkin. Memang apa lagi yang bisa membuat mereka bertengkar selain wanita wanita cantik di kantor Papa"

"Kasian Papa"

Papaku adalah CEO di Starlight Entertainment. Sebagai industri hiburan yang bergerak di bidang musik dan film membuat kantor Papa dipenuhi wanita wanita cantik dan pria rupawan. Bukan hal yang tabu bukan? MAMA sering---hampir setiap hari mengecek ponsel Papa, memasang spy cam di mobil Papa (Papa tidak tahu) dan setiap jam makan siang Mama datang ke kantor guna mencegah Papa makan siang dengan pegawainya yang lain.Mengenai sekertaris Papa, ini sudah ke 15 kalinya Papa bergonta ganti sekertaris dalam kurun waktu 1 tahun.Rekor tertinggi bukan?

"Aku tidur di sini saja deh" putusan sepihak.

"Tidak bisa, enak saja" gugatku langsung.

"Cuma 1 malam"

"Tidak boleh, pakai ruangan yang lain sana" usirku.

Laurent bergeming di tempat, dia bahkan tidak menggubrisku sama sekali.

Oke soal dia menginap disini memang terjadi hampir setiap bulan. Seperti kata Laurent, dia akan menginap jika orang tua kami bertengkar. Aku bisa menoleransi kebiasaan mengigaunya namun aku benar benar tidak bisa berbaik hati ketika ia mengotori telingaku dengan kata kata "selamat tidur sayang" Atau "Aku rindu sekali padamu" Parahnya lagi "see u...muaah". Dia selalu begadang dengan pacar pacarnya lewat video call. Aku tidak mengerti apa bagusnya Laurent sehingga banyak gadis yang hinggap di hatinya.

"Janji deh aku nggak teleponan sama cewek"

Seperti bisa membaca pikiranku dia berujar seperti itu. Aku masih menolaknya, bisa saja dia nanti malah main game dengan Ansel sampai dini hari. Teriak teriak tidak jelas ketika menang dan menyumpah serapahi lawan ketika dirinya kalah. Laurent melancarkan segala cara agar bisa tinggal disini semalaman. Dia menawariku biskuit isi lelehan strawberry, sekaleng penuh permen beruang, jalan jalan ke luar negri, seafood, fastfood, softdrink, buku komik 100 volume, mengizinkanku menyetir selama seminggu. Setelah dia menawarkan berbagai macam tawaran menggiurkan, aku sepakat berbagi ranjang dengannya. Laurent nyicil janjinya, dia memberikanku biskuit strawberry, sekaleng permen beruang dan softdrink yang ia dapat dari kulkas. Ia juga berbaik hati meminjamiku flashdisk kesayangannya yang berisi film layar lebar barat berbagai genre.

"Apa apaan ini?" Tanyaku geli menatap flashdisk berbentuk kucing angkat tangan.

"Kucing cokelat" jawab Laurent lugas.

"Ku kira kau laki laki betulan"

"Aku benar benar laki laki Mit" suaranya meninggi.

"Berhenti memanggilku Demit" tukasku sebal.

"Memang namamu Demit-ria Scarletta kan?" Goda Laurent.

"Aku bisa ganti Celine Dion"

"Kau tidak secantik itu"

"Terserah aku, lagipula aku belum punya KTP jadi bebas dong aku mau menyebut diriku sendiri sebagai Celine Dion"

Laurent tidak menanggapiku lagi. Aku juga mulai hanyut dalam film The Chronicles of Narnia yang sudah tonton lebih dari 8 kali. Saat tiba pada bagian Lucy menemukan dunia dalam lemari, mendadak pikiranku terlempar ke cermin yang ada di meja.

Bisa jadi cermin itu gerbang menuju lain.

"Emmm...Kak" panggilku yang hanya ditanggapi dengan gumanan oleh Laurent.

"Lucu tidak jika ternyata dunia semacam Narnia itu sebenarnya ada ?"

"Kenapa tiba tiba?" Tanya Laurent yang beralih menghadapku.

"Ya misalnya saja kita itu sebenarnya manusia di alam semesta 1 dan mungkin ada yang namanya alam semesta 2,3 dan seterusnya. Seperti di Narnia, ada dunia nyata dan dunia satunya (negri narnia). Mereka masuk lewat almari. Atau Harry Potter berhasil menemukan peron 9/4 hanya dengan menembus dinding stasiun.Atau..."

"Atau peradaban otakmu sedang runtuh" tukas Laurent datar.

"Tidak ada yang seperti itu di dunia, Demitria, semua itu hanya rekayasa film" lanjutnya.

"Film di ambil dari inspirasi kehidupan nyata" aku bersikeras melawannya.

"Tergantung, jika film yang kau singgung itu pasti berasal dari imajinasi liar seseorang"

"Tapi seseorang itu tidak akan berimajinasi jika tidak terpancing dari kisah kehidupan nyata bukan?"

"Seperti itulah imajinasi. Kau bebas bermain dengan imajinasi. Kau boleh membayangkan dirimu menjadi pilot yang menerbangkan 5 pesawat sekaligus. Kau bisa berimajinasi tentang Ansel yang tiba berubah menjadi kodok. Atau bisa jadi kau benar benar membayangkan seperti apa hidupmu jika kau ganti nama dari Demitria Scarletta menjadi Celine Dion"

Setelah mengatakan hal itu, Laurent mematikan ponselnya dan beranjak tidur. Aku jadi kesal dengan anak ini padahal baru berapa saat yang lalu dia berlaku manis. Berbicara dengan cowok itu tidak mengubah keadaan sama sekali.

Jam kamarku menunjukkan pukul 11 malam. Tidak ada yang bisa ku lakukan selain melanjutkan menonton film yang sempat tertunda. Ketika mencapai epilog, ponselku bergetar, Ansel mengirim pesan.

Anseleo : Udah tidur?

Aku tersenyum lalu membalas pesannya. Kekesalanku pada Laurent sedikit mereda.

Demitria : Belum

Terjadilah adegan pacaran diantara kami berdua. Ansel mengeluh hari ini kalah main basket dengan SMA sebelah. Aku sudah mengatakan berulang kali kalau hanya latihan bukan pertandingan dia tidak perlu semarah itu. Tetap saja cowok itu rewel dan tangannya gatal ingin menghajar Oktavianus, kapten basket yang mengalahkannya.

Setelah melewati percakapan yang teramat panjang, akhirnya Ansel menyuruhku tidur.

Anseleo : Tidurlah bee, sudah malam besok sekolah

Demitria : Iya kamu juga, di sebelahku ada Kakak.Aku tidak bisa tidur, dari dia tadi mengigau terus. Berisik

Anseleo : Dia tidur di kamar kamu?

Demitria : Iya nih, udah aku usir tapi gak keluar keluar

Anseleo : Haha, kamu mau melakukan sesuatu tidak?

Demitria : Apa itu?

Anseleo : Tendangkan bokong Laurent untukku baby

Demitria : Dengan senang hati

Aku benar benar menendang bokong Laurent. Cowok itu hanya mengeluh tidak jelas dan sama sekali tidak terjaga. Tidur seperti mati yang ia turun dari Papa benar benar berguna. Apa jadinya dia sampai terbangun, bisa bisa aku di kurung di akuarium.

Mataku menyapu seisi ruangan. Pandanganku berhenti pada benda yang sedang memantulkan cahaya. Rasa kantuk ku menguap begitu saja. Aku berjalan mendekati cermin itu, menatapnya lekat.

1 menit...

2 menit...

5 menit...

60 menit...

Tidak terjadi apa apa. Aku menyerah! Tidur lebih bermanfaat bukan daripada menunggu yang tidak pasti.

"Tunggu"

Tubuhku membeku mendengar suara lain yang bukan berasal dari diriku. Tapi aku yakin 100% itu adalah suaraku. Rasanya aku ingin berbalik meracuninya dengan berbagai macam pertanyaan seperti siapa dirinya, dari dunia mana, umur berapa, kenapa mirip sekali denganku, dan apakah dia hantu. Jika benar dia adalah hantu, aku akan melempar cermin itu dari lantai 3 kemudian melambaikan tangan ketika dia hancur berkeping keping. Tetapi tubuhku berkhianat, ia bertindak seperti pengecut.

"Apa kau bisa mendengarku Scarlet?" Tanyanya. Scarlet? Siapa Scarlet?

Akhirnya aku memberanikan diri memutar tubuh untuk menghadapinya. Aku tidak punya senjata nanti dia merangkak keluar dari cermin. Yang bisa ku lakukan adalah melemparnya dari jendela. Tapi sepertinya aku yang itu tidak bisa keluar dari cermin. Aku duduk menatap pantulan diriku sendiri yang berbeda. Rambutnya cokelat bergelombang seperti milikku hanya saja miliknya sangat berantakan dan tidak berwarna hijau di pucuknya. Wajahnya pucat karena tidak memakai riasan,malah aku tidak yakin dia pernah menyentuh skincare. Piamanya sama persis dengan milikku. Bedanya dia memakai yang warnanya ungu, sementara aku memakai yang warna biru.

"Hai Scarlet 2" sapanya hangat seolah kami adalah tetangga akrab.

"Siapa? Aku?" Tanyaku ketika menemukan jati diriku kembali.

"Tentu saja" jawabnya sambil tersenyum lebar.

"Aku Demitria, bukan Scarlet" ingin rasanya aku bilang kalau dia ternyata salah sasaran atau bertanya kapan dia mau pergi.

"Nama panggilan mu Demitria?" Tanyanya antusias.

Alih alih menjawabnya, aku malah mengajukan pertanyaan lain "Siapa kau?".

"Demitria Scarletta" jawabnya.

"Hei, itu namaku" Tukasku tidak terima.

"Ini cukup membingungkan, tapi aku adalah Demitria Scarletta. Dan kamu adalah diriku yang lain. Kau tau dunia yang lain kan?" Dia sedikit menyipitkan mata.

"Apa maksudmu aku adalah dirimu yang lain? Kau lah diriku yang lain"

"Terserah tapi aku mau mengajukan pertanyaan. Sebenarnya yang di balik cermin itu apa? Aku tidak pernah melihat pantulan diriku sendiri di cermin yang ku pinjam dari museum kota. Aku biasanya melihat lalu lalang seseorang. Awalnya ku pikir itu adalah semacam jendela teleportasi bagi manusia biasa sepertiku tapi hingga ada masanya aku melihat wajahmu disana, memakai riasan dan tersenyum. Aku saat itu sadar ternyata ini bukanlah jendela teleportasi melainkan jendela penghubung dunia luar" jelasnya yang tiba tiba panjang.

"Maaf jika nanti membuatmu tersinggung, aku sempat berpikir dirimu itu hantu" kataku.

Scarlet mengrenyit sementara itu aku tertawa terbahak bahak. Padahal ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa ria.

"Dimana kau menemukan cermin itu?" Tanyanya.

"Aku menemukannya di toilet cowok"

Scarlet langsung menunjukkan ekspresi tertekan. Antara dia kesal karena aku menyebutnya hantu atau tersinggung saat aku mengatakan bahwa cermin ini kutemukan di sebuah toilet, bukan di tempat yang bagus. Sedetik kemudian dia tersenyum.

"Apa yang kau tertawakan?" Tanyaku bingung.

"Kapan aku tertawa?" Tanyanya balik.

"Demitria, aku senang bertemu denganmu"

Setelah mengatakan hal itu, dia langsung hilang. Yang tersisa di cermin hanya diriku yang sebenarnya. Aku mencoba memanggilnya lagi. Bahkan yakin teriakanku itu bisa membangunkan seisi rumah, tapi Scarlet tak kunjung datang.

Sebuah bantal melayang mengenai belakang kepalaku. Aku langsung menoleh dan mendapati Laurent mengigau.

"Diamlah...Diamlah...Diamlah"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status