***
Sudah beberapa dua minggu aku dirawat di rumah sakit ini, mereka merawat dan menjagaku dengan baik.
Pengunjung yang datang menbesuk juga dibatasi, mereka tidak ingin hal buruk menimpa mereka lagi. Tentu para pengunjung itu ditemani oleh seorang sipir yang mana otomatis mendengar semua perbincangan antara aku dengannya.
Hari itu, Tiara yang berkunjung karena tempo hari aku memintanya untuk datang. Sesuai janji, wanita itu datang tanpa mengenakan seragam detektifnya, hanya setelan kasual kemeja hitam dan celana Panjang berwarna biru navy.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Tiara, aku mengangguk dengan senyum terulas di ujung bibirku.
“Aku baik. Aku bisa makan makanan berat mulai kemarin” jawabku.
Tiara tampak lebih menawan dari biasanya, berpakaian sederhana dengan setelan kemeja dan celana panjang membuatnya lebih ramping dari yang kuduga.
“Syukurlah kalau begitu, aku selalu mencemaskanmu setiap malam,&rdquo
*** Nathan dan Violet ternyata datang lebih awal dari yang kuduga, tepatnya pukul tujuh malam. Mataku beradu pandang dengan mereka, tersirat kalau keduanya sudah paham terkait tugas mereka masing-masing sesuai rencana. “Kenapa dia tidak pulang?” tanya Nathan. Pria itu dengan spontan menunjuk seorang wanita yang tengah tertidur di atas sofa, dia tak lain adalah Tiara sendiri. Selepas makan risotto yang enak, ia malah mengantuk dan aku tidak tega jika menyuruhnya pulang dalam keadan seperti itu. Oleh karena itu, ia tertidur begitu terlelap di atas sofa. “Apa kamu tidak takut kalau dia terbangun dan melihat kita kabur?” tanya Nathan, cemas. “Tenang, dia tidak akan,” jelasku sambil berjalan mendekati Nathan. “Apa kamu yakin? Jangan dasarkan semua ini pada prasangka perasaanmu saja,” kecam Nathan. Kutepuk pelan pundak Nathan sambil tersenyum, aku tidak bisa memarahi atau membantah ucapan darinya mengingat apa yang dikatakann
*** Cukup mudah aku menghindari mereka, para antek jaksa tidak pernah tahu kalau aku berada di dalam perjalanan menuju bandara. Mereka akan mengetahuinya esok pagi ketika mendapati pasien yang ada di atas ranjang bukanlah aku. “Kamu akan melintas dengan identitas baru,” jelas Nathan. Kedua tangannya terkunci di kemudi mobil dan matanya masih fokus melihat jalanan di depannya. Sesekali ia melirik kearahku dan tak lama pria itu menunjuk lemari mobil di depanku. “Bukalah,” pinta Nathan, aku mengangguk dan ternyata di sana sudah muncul paspor dan kartu nama warga Filipina-ku. “Rodrigo Fellos?” tanyaku, kugenggam id card tersebut seraya menunjukannya kearah Nathan. Aku merasa tidak asing dengan nama Rodrigo, nama itu bahkan begitu umum di Filipina yang mana mereka adalah negara penganut agama Katolik terbesar di Asia. “Nama barumu, jangan khawatir, tidak ada seorang pun yang memilikinya selain dirimu,” balas Nathan, ia mengambil bel
***Hari pertama di kediaman Missa. Pagi itu, aku mendapati tubuhku benar-benar polos tak berbusana, hanya selimut kasur yang hangat dan menutup seluruh tubuhku semalaman itu.Sinar surya menerangi ruang kamarku, masuk melalui celah jendela dan pintu balkon yang terbuka. Masih samar dalam pandanganku, seorang wanita berbalutkan jubah mandi dengan rambut hitam basah berdiri tepat di balkon yang menghadap ke kompleks perumahan mewah Misa.Kufokuskan pandanganku dan melihat wanita itu tak lain adalah sang pemiliki rumah, Missa. Lekukan tubuhnya begitu ramping membuat siapa pun pria pasti jatuh hati dalam pandangan pertama mereka.“Apa yang kulakukan semalam?” tanyaku, memecah keheningan di ruangan tersebut.Tubuh Misa tersentak, ia segera berbalik dan menatapku dengan penuh nafsu. Apa hormonnya sedang meninggi pagi ini?“Kamu tidak mengingatnya? Itu momen paling menyenangkan yang pernah kurasakan.”“Momen? M
Tak terasa, setelah kami puas berkeliling Kota Manila dalam satu hari, kami memutuskan untuk mampir sejenak ke Manila Bay untuk kedua kali setelah siang tadi. Bianca bilang tempat ini akan sangat indah jika didatangi ketika malam tiba.Aku tidak bisa menemukan kemiripan Manila Bay dengan sesuatu di Jakarta, suasananya cukup tenang, tiang-tiang tinggi dihiasi lampu terang berwarna warni.Yang menarik perhatianku, mayoritas pengunjung Manila Bay ketika malam hari tak lain adalah sepasang kekasih. Mereka berpegangan tangan, saling rangkul satu sama lain dan mungkin hanya aku dan Bianca yang tidak melakukannya.“Terima kasih untuk hari ini, kupikir perjalanannya cukup menyenangkan,” ucapku.Kami berdua duduk di sebuah kursi kosong dekat dengan pohon rindang, angin dari laut sungguh kencang dan kurasakan lebih dingin dari pada hawa di Jakarta.Bianca tersenyum, ia masih berekspresi sama seperti yang kulihat di dalam mobil, kuat dan mencoba m
*** Hari ini, Misa tidak pergi ke mana pun. Ia tetap berada di kediamannya sampai tengah hari. Sedangkan aku masih menyimak pemberitaan di Indonesia melalui laptop milik Misa. Mayoritas membahas terkait politik, perdagangan dan hukum. Salah satunya terkait denganku, kulihat salah satu media ikut memberitakan kalau aku kabur dari rumah sakit. “Sayang, apa kamu sedang sibuk?” tanya Misa, wanita itu dengan percaya diri mulai memanggilku dengan panggilan romantis, mungkin ia hanya ingin dilihat mesra oleh orang lain. Kuputar kursi tersebut dan menghadap kearah Misa, kugelengkan kepala sembari menutup layar laptop ketika ia berjalan menghampiriku. “Apa yang sedang kamu tonton?” tanya Misa, matanya sesekali melirik ke laptopnya yang tertutup. “Bukan apa-apa, aku hanya sedang menyimak pemberitaan di Indonesia.” “Oh, bukankah terlalu dini untuk kembali pulang?” tanya Misa. Seperti biasa, jika tidak ada orang, maka Misa akan ber
“Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak membutuhkannya,” balasku, singkat. “Aku ingin kamu memilikinya, anggap saja hadiah dariku karena kamu sudah melakukan yang terbaik selama ini,” jawab Misa. Ia begitu keras kepala menyuruhku menerima saham dan kepemilikan dari perusahaan tersebut. Jika dilihat dari pengalamanku sebelumnya, aku sama sekali tidak merasa kesulitan jika harus mengurus sebuah perusahaan. Akan tetapi aku masih awam jika harus dihadapkan dengan perusahaan besar yang berada di luar Indonesia, terutama di bagian administrasi dan birokrasi yang masih tak kumengerti. “Apa yang sudah kulakukan hingga kamu bersikeras ingin memberikan perusahaan itu padaku?” tanyaku, kulihat kedua pandangan Misa terangkat menatap langit-langit restoran. “Banyak hal, terutama kamu sudah memberikanku pengalaman yang berarti beberapa hari belakangan ini.” Apa pengalaman yang ia maksud adalah sesuatu terkait hubungan intim? Apa sebenarnya isi kepala d
*** Sudah satu bulan aku menetap di Manila, aku mulai terbiasa dengan kehidupan, makanan dan tradisi masyarakat di sini. “Permisi, Tuan. Tuan dipanggil Nyonya untuk turun sarapan.” Pintu kamar terbuka, terdengarlah suara lirih dan lembut dari seorang wanita yang mengenakan pakaian pembantu rumah. Aku yang masih berdiri di depan balkon kamar yang terbuka sontak berbalik seraya mengangguk pelan, menjawab perintah dari Misa yang terlontar melalui perantara wanita tersebut. Hidupku benar-benar berubah, begitu juga dengan Misa. Hubungan kami cukup erat belakangan ini dan itu dibuktikan dengan wajah Misa yang selalu cerah dan berseri di setiap pagi hari datang. Jika kupikir, aku sudah melakukan dosa yang tak akan mungkin dimaafkan oleh Tiara. Wanita itu masih berada di sana, jauh dari dekapanku dan tak pernah tahu kalau aku masih hidup bersembunyi. “Tuan…?” “Iya aku akan ke sana, aku perlu mengganti pakaianku,” balasku singkat.
*** Terdengar dari earphone yang kugunakan, mereka terdengar membahas proyek tadi dan memuji kepemimpinanku dalam perusahaan ini. Jujur saja aku tersanjung mereka berkata demikian. Namun, bukan pujian yang tengah kucari. “… apa kita perlu memberitahu Tuan Stefano tentang ini?” Jackpot! Mereka adalah komplotan yang satu grup dengan Stefano, aku sudah menduganya lewat tekstur tangan mereka. “Jangan dulu, kita perlu bukti kuat kalau dia adalah Revan.” Ucapan mereka terdengar jelas dari alat penyadap yang kusimpan di jas mereka, sampai detik ini pun aku masih mendengarkan pembicaraan mereka hingga ke bagian private. Kumatikan dan segera kaki-kakiku bangkit menopang tubuh ini, berjalan menghampiri jendela kantor sambil memperhatikan landscape Kota Manila dari langit. “Kecurigaanku benar,” ujarku. “Tentang mereka?” tanya Misa sambil berdiri dan menghampiriku. “Iya.” “Tapi bagaimana bisa merek