Setelah dapat kerja, meski cuma kuli dan tukang petik buah, Nuning pikir hidupnya bakalan baik-baik saja. Ternyata Jakarta nggak sehoror yang orang-orang bilang. Tingginya pengangguran dan tingkat kriminalitas memang kudu diwaspadai tapi bukan untuk ditakuti. Nuning nggak mau pikirannya diintimidasi sama hal-hal yang belum tentu terjadi. Waspada itu wajib, tapi parnoan jangan. Seringkali kenyataan nggak seangker isi pikiran. Jangan sampai rumor buruk tentang ibukota merusak impiannya.
Impian Nuning kepingin menghabiskan masa mudanya dengan senang, kenyang, tapi tetap banyak uang. Gimana caranya? Nggak tau. Nuning masih belum mikirin. Yang ada aja dijalanin dulu. Step by step, kira-kira gitulah bahasa Inggrisnya. Tapi kalau bahasa bapaknya, alon-alon asal kelakon. Sementara bahasa Nuning sendiri, “Selow... santai... santai... jodoh nggak akan kemana,” kayak lagu dangdutnya Via Valen.
Omong-omong soal jodoh, baginya jodoh bukan melulu soal pasangan hidup atau suami. Tapi juga soal kerjaan, duit, rezeki. Semua sudah diatur, sudah ada jodohnya masing-masing. Kalau memang bukan jodohnya, ngapain sih kebangetan disesali kalau nggak dapat. Makanya Nuning kepingin ngakak sambil salto tiap denger mertuanya ngomel gegara Jaka lebih memilih ngojek online ketimbang kerja jadi OB di kantor mantan majikannya. Padahal orang kantoran aja banyak yang nyambi ngojek online. Tapi dasar aja mertuanya yang kegedean gengsi. Tiap ada tetangga nanyain soal kerjaan Jaka, Bu Lilis selalu uring-uringan dan Nuning melulu yang jadi sasaran.
“Memang nasibku apes. Punya suami, direbut orang. Punya anak satu-satunya juga disikut orang! Jauh-jauh dititip ke kampung biar sekolah dan belajar yang bener, biar bisa ngelanjutin kuliah sampai Sarjana... kok baru lulusan aja malah kawin sama gadis nggak jelas! Anakku nggak mungkin jatuh cinta sama gadis kayak gitu. Ndeso, kampungan, nggak ada cocok-cocoknya sama anakku. Jangan-jangan anakku dipelet?! Mestinya anakku sekarang kuliah, terus jadi Sarjana, terus jadi pengusaha yang lebih sukses dari bapaknya! Biar aku bisa buktiiin ke bapaknya, kalau aku lebih pinter ngurus anak ketimbang Sari si pelakor itu!” Bu Lilis nyerocos sendiri sambil ngoseng wajan sampai bunyinya klontang-klonteng berisik banget sampai mana-mana.
Beberapa bulan pertama dulu suara musik orkestra ala perkakas dapur Bu Lilis bisa bikin jantung Nuning mencolot keluar saking kagetnya, tapi lama-lama ia terlatih juga. Jantung Nuning sekarang udah lentur kayak karet, fleksibel. Ditarik-ulur sama omelan mertuanya nggak gampang copot lagi. Jadi dia nyantai aja keramasan di kamar mandi sambil nyanyi, “Karena kuselow... sungguh selow... tetap selow... santai... santai...”
Bu Lilis yang denger jadi kepingin gantung wajan saking kekinya. Capek-capek ngamuk cari perhatian kok malah dicuekin. Padahal panci-pancinya udah pada penyok keseringan dibantingin. Nggak mungkinlah Bu Lilis mau banting harga dirinya yang paling berharga dan tinggal satu-satunya yang dipunya. Frustrasi, Bu Lilis pun kelesotan di lantai dapur sambil nangis gerung-gerung. Bikin Jaka kebingungan ngeliatin ibunya tantrum macam bocah yang bisulnya pecah.
***
“Jakaaaa!” panggil ibunya bagai bom di siang bolong yang memekakkan kuping. “Tahu nggak, istrimu kerja jadi kuli! Apa-apaan ini, Jak?! Malu-maluin aja!” protes ibunya tak bisa dibendung lagi.
Inilah yang dicemaskan sama Jaka sejak kemarin dan kejadian juga akhirnya. Tapi dia bisa apa? Bukan Nuning namanya kalau bisa dilarang kemauannya.
“Ya bukan apa-apalah, Bu. Yang penting kan halal,” sahutnya pura-pura tenang.
“Halal gundulmu peyang! Pokoknya suruh istrimu berhenti, mending kerja jadi babu sekalian tapi jangan jadi kuli. Apa kamu nggak tahu sekampung geger pada ngetawain dan ngomongin yang jelek-jelek tentang istrimu? Haduh, padahal nggak diomongin aja orangnya udah jelek, kok. Pokoknya panas kuping ini dengernya. Mau ditaruh mana muka ibumu ini, punya mantu kok begitu amat?” cerocos ibunya bagai petasan orang Betawi lagi kawinan yang meledaknya gak habis-habis.
"Niat Nuning baik kok, Bu. Dia kepingin cari uang sendiri buat jajan karena nggak mau tergantung sama Jaka. Karena Nuning tahu kondisi keuangan suaminya gimana,” kata Jaka pasang badan.
“Nah. Baru tau kan, kalau pernikahan nggak seindah drama Korea?!”
“Eh, Ibu suka nonton drama Korea juga? Suka sama siapa, Bu? Lee Min Ho? Hyun Bin? Lee Jong Suk?”
“Halah! Nggak usah ngalihin perhatian!”
Jaka garuk-garuk kepala kena semprot lagi.
"Kalau kamu nggak kebelet kawin, nggak bakalan kayak gini ceritanya. Makanya, kuliah dulu terus kerja yang bener, baru mikirin kawin. Bikin pusing aja!” oceh ibunya jengkel.
Nuning sih tetap santai aja nggak mikirin omongan miring di sekitarnya. Dia cuek aja menikmati profesi barunya sebagai kuli dan tukang petik buah bareng Jimin. Bukannya dia nggak dengar tentang omongan orang yang merendahkannya, tapi dia memilih untuk mengabaikan. Tujuannya ke Jakarta kan buat senang-senang, bukan buat dengerin omongan orang. Mau jadi apa kek dirinya, yang penting hatinya senang. Titik. Maka ia tetap melakoni pekerjaannya setiap hari dengan gembira. Toh lama kelamaan komentar yang mengejek pekerjaannya itu surut juga. Tapi ketidaksukaan Bu Lilis kepadanya tak ikut menyurut. Mertuanya itu masih aja judes. Dan seperti biasa Nuning cuek-cuek aja. Mengubah hati seseorang yang telanjur nggak menyukainya kan nggak semudah ngupil.
“Masak apa, Bu?” sapa Nuning riang di ambang pintu dapur. Tapi mertuanya malah menjawab dengan melempar tutup panci.
Nuning gesit menangkapnya. “Kalau panci ini punya nyawa pasti deh udah nangis ampun-ampunan dilempar-lempar mulu kayak gini tiap hari,” katanya sambil meletakkannya ke rak. Lalu menyodorkan bungkusan ke mertuanya. “Buat Ibu, nih... Kata Jaka Ibu doyan banget ikan bandeng. Ini masih seger, gede banget pula. Tolong dimasak yang enak ya... Jaka juga kan doyan,” katanya sambil mengerling lalu melenggang pergi.
Bu Lilis bengong menatap bungkusan di tangannya. Menantunya selalu pulang dengan membawakan buah tangan untuknya, entah sekadar es cendol, rujak serut, es krim, atau bakso. Dan sekarang dibawain ikan bandeng yang besar dan masih segar, pasti harganya mahal. Tapi yang paling penting, entah kebetulan atau bukan, Bu Lilis menyukai semua hal-hal yang diberikannya. Diam-diam hatinya tersentuh, sudah sangat lama tak ada yang memperhatikan dirinya seperti ini. Terlalu lama hidup dalam kesendirian dan kesepian.
***
“Aku mau ganti baju, keluar dulu gih!” usir Nuning ngeliat Jaka leyeh-leyeh di kasur sambil kipasan.
“Ganti di kamar mandi aja kenapa sih? Nggak lihat orang lagi santai?” Jaka ogah-ogahan tapi pas ngeliat muka Nuning yang angker, melipir ngeri juga.
“Udah belom?” Jaka berisik ngetukin pintu semenit sekali. Dan di menit kesepuluh pintu kamar terbuka cepat sebelum cowok itu sempat mengetuk. “Aduh!” pekiknya sambil memegangi kepalanya yang habis kena pentung Nuning.
“Berisik banget jadi orang!” omel Nuning sambil mengurai rambutnya yang basah.
“Lagian orang enak-enak nyantai malah diusir. Punya istri kok galak banget!”
“Galakan juga ibumu.”
Jaka nyengir. “Tapi menikahimu itu pilihanku juga, Ning...” ujarnya ngajak damai karena nggak enak hati ibunya jadi terbawa-bawa gitu.
“Karena kamu nggak punya pilihan lain. Kalau Erna mau kamu nikahin, pasti kamu milih dia kan? Hayooo,” kata Nuning sambil mencubit lengan Jaka.
“Ampunnn,” keluh Jaka kesakitan lalu ketawa geli saat cubitan Nuning berubah jadi kelitikan. Semakin Jaka minta ampun, Nuning makin senang dan ketawa riang.
Setelah capek ketawa, keduanya rebah tidur bersisian.
“Jak, kayaknya ibumu kepingin banget kamu kuliah,” kata Nuning buka suara.
“Iya, aku juga udah bikin rencana soal itu kok. Tapi nggak bisa sekarang karena mesti ngumpulin duit dulu,” sahut Jaka sambil mengubah posisi tidurnya menghadap Nuning. “Ning, sampai kapan kamu mau kerja jadi kuli angkut kayak gini sih? Apa kata bapak sama emakmu kalau sampai tahu?” katanya dengan cemberut.
“Ya jangan sampai tahulah, kalau sampai mereka tahu berarti mulutmu yang ember!”
“Maaf ya... belum bisa bantu cariin kerjaan yang layak buatmu.”
“Memangnya kerjaanku sekarang kenapa? Asyik tauuu. Aku bisa kerja sambil senang-senang. Bagiku manjat pohon, ngangkut karung, dan ikut mobil bak ke pasar induk itu seru banget, kayak lagi jalan-jalan. Kayak yang biasa kita lakukan sewaktu di kampung. Bedanya pemandangan yang kulewati di sini ibukota yang lebih ramai, waktu rasanya cepat berlalu tahu-tahu sudah malam. Apalagi aku bisa sambil menikmati aneka jajanan yang enak-enak, yang nggak ada di kampung.”
“Jadi kamu menganggap semua itu cuma buat main-main?”
“Ya iyalah! Ngapain serius-serius amat? Hidup itu kudu dinikmati. Udah ah, jangan bersikap kayak kamu itu suamiku betulan aja. Urusan antara kita kan udah kelar. Kamu udah penuhi janjimu bawa aku ke Jakarta. Aku ikut lega kamu berhasil nyairin warisan sehingga pamanmu aman nggak jadi dipenjara, bibimu tetap tinggal di rumahnya. Cukup. Aku nggak menuntut tanggung jawab apa-apa darimu kok. Sesuai janjiku dulu yang cuma minta dinikahi, soal duit aku bisa cari sendiri.”
“Kok ngomong gitu sih? Kata-katamu itu nggak enak di kupingku loh!”
“Apanya yang gak enak? Goblok kok dipelihara? Tuyul sana dipelihara biar kaya... Aku tuh sedang bebasin kamu, tahu nggak? Maksudku, kamu nggak usah mikir soal jagain akulah atau apalah sesuai permintaan emak dan bapakku. Itu kan cuma berlaku kalau kita suami-istri beneran.”
“Kan kita suami-istri beneran? Bagaimanapun kita sah di mata hukum dan agama loh, Ning. Nggak peduli kita nggak niat nikah betulan, tapi kita kadung terikat. Mestinya aku jagain kamu dunia-akhirat dan ngasih nafkah. Tapi... malah bikin kamu tampak menyedihkan kayak gitu. Aku ngerasa berdosa, tau!”
”Cih, sedih apanya... Justru kamu yang menyedihkan kalau kayak gini terus-terusan. Kamu kan punya otak yang pinter, dipake dong buat ngubah nasib. Kuliah sana!”
Jaka mau ngomong tapi Nuning buru-buru nutupin mulutnya pake tangan dan berkata, “Pokoknya kamu kudu sukses, biar ibumu bangga. Kalau udah sukses, suatu saat kamu pasti pede ngadepin si botak.” Jaka menyingkirkan tangan Nuning dari mulutnya lalu ngakak saat Nuning menyebut-nyebut bapaknya Erna yang kepalanya botak. “Terus kamu lamar si Erna dengan lantang! Bawain seserahan yang banyak, siapin emas kawin batangan 24 karat segede bata. Kalau ditolak, tinggal timpuk aja orangnya sampe lamaranmu diterima...”
“Itu mau ngelamar apa mau ngajak gelut sih, kok pake adegan nimpuk orang segala?” seloroh Jaka geli disela-sela tawanya.
“Tapi aku yakin kok, Erna tetap nyimpan perasaannya ke kamu.”
“Tau dari mana?”
“Gini-gini aku kan perempuan juga, Jak. Cuma seorang perempuan yang bisa memahami hati perempuan lain. Percaya deh, kamu pasti bisa dapetin Erna dan nikah sama dia suatu hari nanti.”
“Kok malah nyuruh aku nikah lagi sih? Seneng ya kalau dimadu?” ledek Jaka sambil mencubit hidung Nuning yang nggak pesek, tapi juga nggak mancung.
Nuning balas menggigit sampai Jaka mengibaskan tangan kesakitan. Lalu gadis itu mengomel. “Siapa yang sudi dimadu?! Aku kan nyuruh kamu kawin sama Erna nanti, kalau kamu udah sukses. Pas kita udah cerai, kalau__ mmph...”
Nuning belum sempat menyelesaikan kata-katanya karena Jaka keburu menyumpal suara Nuning dengan mulutnya. Seketika Nuning menegang saat lidah Jaka yang nakal membelai-belai bibir perawannya. Perutnya bagai dicambuk desiran aneh yang melumpuhkan sel-sel sarafnya, membuatnya lunglai tak berdaya dalam dekapan Jaka yang menguasainya utuh-utuh.
“Jaka! Tolong beliin___”
Pelukan Jaka terurai secepat cahaya saat Bu Lilis tiba-tiba menyergap masuk tanpa permisi. Dan secepat kilat pula Bu Lilis memalingkan mukanya yang merah padam karena jengah.
“Eh, a-a-anu...” mendadak emak-emak yang biasanya fasih mengomel itu menjadi gagu. “Kunci pintunya!” katanya sambil buru-buru menutup pintu dengan gugup. Segugup Jaka yang tiba-tiba kehilangan keberaniannya yang entah dari mana datangnya tadi. Refleks didorongnya Nuning hingga terjengkang lalu terguling ke lantai.
Jaka terkesiap dan mulai melipir panik menyadari kesalahannya. Sementara tanduk Nuning sudah mulai mencuat, siap memburunya. Lalu Jaka ngibrit muterin kamar sampai nabrak-nabrak tembok dan kejedot pintu. Ngos-ngosan dikejar Nuning yang tak kenal ampun. Kemarahan gadis gila itu menyerupai banteng lihat kain merah. Habislah Jaka diseruduknya meski udah menyerah kalah.
***
"Jangan lupa makan ya, Nduk?""Iya, Mak. Emak juga jangan lupa masak yang banyak. Biar Bapak sama Mas Bambang kenyang, nggak kelaparan."Tapi Bu Parmi malah nangis kejer. Nuning sampai menjauhkan speaker ponselnya. "Mak, lupa umur ya? Nggak pantes nangis macem bayi kayak gitu... Mau es krim? Beli gih yang banyak, nanti duitnya Nuning transfer lagi lewat rekeningnya Mas Bambang."Bambang yang ikut menyimak percakapan itu ngumpetin air matanya. Diam-diam dalam hatinya ikutan bangga. Nyesel selama ini keseringan memandang sebelah mata pada adiknya. Dulu, adiknya memang kayak ulat bulu yang suka nggerogoti daun sampai bikin gundul tanaman, tapi setelah berubah jadi kupu-kupu, barulah terlihat manfaat dan keindahannya."Ya Allah... Anakku udah bisa nyari duit tho?" isak Bu Parmi terharu. Meski cuma ditransfer tiga ratus ribu, tapi kebahagian emaknya bagai menerima tiga juta. Soalnya ini duit dari Nuning! Tapi jelas bakalan beda lagi ceritanya kalau em
Nuning bersiul-siul menuju rumah Bu Murni mau ketemu Jimin. Sudah janjian mau keliling panen rambutan hari ini. Kemudian siulannya terhenti kala berpapasan dengan seorang nenek yang jalan tergopoh-gopoh dengan tongkatnya. “Mau kemana, Mbah?” sapanya dengan mengangguk ramah.“Memangnya aku mbahmu?” balas nenek tua itu sewot.Nuning meringis keki, lalu geleng-geleng kepala melaluinya.“Eh, gadis muda!” panggil nenek itu tiba-tiba.Nuning menoleh malas-malasan karena sikapnya yang kurang bersahabat tadi. “Ya, ada apa nenek tua?” sahutnya sekenanya.“Hei, aku punya nama! Jangan sebut aku nenek tua ya?!” bentak nenek itu sambil menuding dengan tongkatnya.Meski jengkel, Nuning berbaik hati meladeninya dengan menjawab, “Iya, saya juga punya nama. Jadi jangan juga sebut saya Hei.”“Ya sudah, mari kita bertukar nama,” ajak si nenek akhirnya mau akur.&l
“Ngapain melamun? Kangen kampung?” sapa Jaka sambil menyesap kopi susunya. Duduk di sebelah Nuning yang memandangi bulan purnama di teras rumah. Nuning agaknya lagi ogah menyahut, menoleh barang sedikit juga tidak. “Kalau kangenmu sama kampung segitu beratnya, kuanterin pulang yuk?” godanya, lalu menyesap lagi kopinya, kemudian terbatuk-batuk usai kena tabok. Nuning kan paling senewen dengan ancaman satu itu. “Siapa juga yang kepingin pulang kampung?” Mata Nuning melotot segede jengkol. “Becanda doang keleus. Galak beut sih jadi orang?” “Lagian becandanya nggak tepat waktu. Tuman!” “Iya, ampun deh ....!” Jaka meringis dicubiti Nuning. Nuning mendesah. “Aku ketemu sama nenek-nenek aneh!” “Aneh mana sama kamu?” seloroh Jaka tak sanggup menahan mulut, untung saja Nuning cuma melotot. Sudah biasa dipelototin sama Nuning mah, ditabokin juga biasa. “Oke, oke .... Emang seaneh apa sih?" Nuning tancap gas bercerita, mulai jadi
Pikiran Nuning dan Jaka tentu saja langsung travelling kemana-mana. Bayar utang pakai tubuhnya Jaka tuh bagaimana coba? Ternyata maksudnya si mbah nggak sama mesumnya dengan yang mereka sangka. “Ooooohh,” ujar keduanya lega saat Mbah Sum menyuruh Jaka jadi tukang pijatnya selama sebulan. “Soalnya istrimu nggak bisa memijat, makanya aku maunya sama kamu aja,” kata Mbah Sum sarat modus. Nuning derdecak. “Kemarin Mbah sendiri yang bilang pijatan saya enak!” protesnya. “Ah. Masa? Salah dengar kamu tuh!” Mbah Sum mengelak selicin belut. “Mbah, sebulan kelamaan. Dua ratus ribu dibagi sebulan cuma lima ribu lebih dikit dong? Mana ada upah tukang pijat segitu sekarang ini? Kalau nggak percaya, coba Mbah keliling kampung tanyain orang-orang,” oceh Nuning membalikkan omongan Mbah Sum soal ongkos pijat. “Tapi Minggu dan tanggal merah kan libur,” sahut si mbah masih aja ngeles. “Seminggu aja ya, Mbah?” Nuning ngajak akur. Mbah Sum tetap me
Bu Lilis nangis sesenggukan saat Jaka mengabari dirinya sudah menjadi mahasiswa. Meski bukan terdaftar di kampus negeri dan bukan pula kampus swasta yang elit, sebodo amat. Toh yang penting saat lulus nanti gelarnya sama-sama Sarjana. Yang beda cuma soal nasib! Ada Sarjana yang nasibnya bagus bisa langsung diterima kerja di perusahaan elit, atau jadi PNS yang gajinya aman sampai tua. Ada juga yang masih menganggur meski sudah wawancara kerja sana-sini sampai ndelusur. Bagi Bu Lilis, biarlah anaknya menjadi Sarjana saja dulu. Soal nasib bisa diperjuangkan lagi nanti. Obsesi Bu Lilis ingin foto bareng anaknya di hari wisudanya yang memakai toga, buat dipamerkan ke mendiang suaminya. Sesuai janjinya dulu kalau dia saggup mengurus Jaka sampai jadi Sarjana meski dirinya bukan orang berpendidikan tinggi. Jadi saat menengok Pak Ujang ke kuburan nanti, dia tak perlu menebar bunga lagi, tapi menebar foto-fotonya sama Jaka yang lagi wisuda. Hiii ... kok malah serem. Semenjak a
Hubungan Nuning dan Jaka menjadi renggang sejak ketiadaan Bu Lilis. Mereka memang sudah berkomunikasi seperti biasa, tetapi rasanya tak sama lagi seperti dulu. Keakraban mulai memudar. Meski tiada yang saling menghindar. Secara fisik mereka memang berdekatan, tapi Nuning merasa jiwa Jaka menjauhinya. Nuning memahami Jaka dengan membalik sudut pandangnya, 'Andai aku menjadi Jaka, pasti bakal marah juga. Aku memang nggak becus jagain ibunya, sampai harus berujung kematian,' pikirnya direjam rasa bersalah yang menyengat. Namun Jimin membesarkan hatinya. “Sudahlah, Ning. Jangan kebangetan nyalahin dirimu sendiri. Memangnya kamu bisa ngumpetin mertuamu dari malaikat maut? Kalaupun kamu tetap di rumah hari itu, mertuamu tetap bakalan meninggal juga dengan cara dan sebab yang beda." Demi menghibur Jaka, Nuning rajin menyontek resep dan menu masakan yang biasa dibuat Bu Lilis agar Jaka semangat makan. Akan tetapi, Jaka selalu mengurung diri di kamar tiap pulang
Mulanya, Nuning enggan pulang kampung usai perceraiannya. Akan tetapi, takdir lebih berkuasa atas dirinya, tiba-tiba saja Bambang menelepon, mengabari kalau emaknya sedang sakit dan ingin dijenguk. Mau tak mau memanggilnya pulang dengan sendirinya. Meski berat bagi Nuning untuk meninggalkan Citayem yang sudah tujuh tahun menjadi bagian hidupnya. Bahkan Jimin ikut menangis harus kehilangan tukang petik buah terbaiknya. Nuning menyempatkan diri ke makam Bu Lilis seorang diri untuk pamitan. Menabur kembang, lalu memanjatkan doa. Hatinya sungguh terasa berat. Ia pun memeluk nisan Bu Lilis sambil menangis, tapi kemudian memekik kaget saat kepalanya tiba-tiba saja dipentung orang. “Memangnya kamu nggak tahu ya? Jangan nangisin orang mati di atas kuburannya!” omel seorang nenek-nenek yang memelototinya galak. Nuning bergegas berdiri sambil meringis, mengusapi kepalanya. “Ngapain Mbah Sum di sini?” tanyanya keheranan ada orang selain dirinya yang berani menyambangi k
Nuning membaca daftar belanja titipan emaknya. Menuju lapak ikan dan melihat Parman berjualan. Ingin pindah lapak, tapi Parman yang congornya tk kalah ramai dari toa masjid itu keburu memanggilnya, “Nuning! Apa kabar? Wah ..., udah lama banget nih nggak ketemu. Kamu masih aja kayak dulu, kirain bakal ada perubahan yang gimanaa gitu,” candanya rese. Nuning pura-pura sibuk memilih ikan. Ia sudah lama kenal Parman, cowok menyebalkan itu akan stop sendiri mengoceh kalau tak ditanggapi. Tapi, bukan Parman namanya kalau mulutnya nggak nyap-nyap menggali dan mengumbar berita, tak peduli rumor atau fakta. Bakat terpendamnya jadi presenter gosip, tak didukung saja oleh nasib. “Eh, aku ketemu Jaka waktu itu, katanya dia cuma mau nganterin kamu pulang, terus balik lagi ke Jakarta sendirian. Kok gitu? Emangnya kamu nggak betah hidup di sana, terus ogah lagi ikut dia? Mau tinggal misah, gitu? Cuma buat sementara atau seterusnya?” “Yang ini berapa sekilo?” Nuning mengabaik