Share

13. Tetap Selow

Setelah dapat kerja, meski cuma kuli dan tukang petik buah, Nuning pikir hidupnya bakalan baik-baik saja. Ternyata Jakarta nggak sehoror yang orang-orang bilang. Tingginya pengangguran dan tingkat kriminalitas memang kudu diwaspadai tapi bukan untuk ditakuti. Nuning nggak mau pikirannya diintimidasi sama hal-hal yang belum tentu terjadi. Waspada itu wajib, tapi parnoan jangan. Seringkali kenyataan nggak seangker isi pikiran. Jangan sampai rumor buruk tentang ibukota merusak impiannya.

Impian Nuning kepingin menghabiskan masa mudanya dengan senang, kenyang, tapi tetap banyak uang. Gimana caranya? Nggak tau. Nuning masih belum mikirin. Yang ada aja dijalanin dulu. Step by step, kira-kira gitulah bahasa Inggrisnya. Tapi kalau bahasa bapaknya, alon-alon asal kelakon. Sementara bahasa Nuning sendiri, “Selow... santai... santai... jodoh nggak akan kemana,” kayak lagu dangdutnya Via Valen.

Omong-omong soal jodoh, baginya jodoh bukan melulu soal pasangan hidup atau suami. Tapi juga soal kerjaan, duit, rezeki. Semua sudah diatur, sudah ada jodohnya masing-masing. Kalau memang bukan jodohnya, ngapain sih kebangetan disesali kalau nggak dapat. Makanya Nuning kepingin ngakak sambil salto tiap denger mertuanya ngomel gegara Jaka lebih memilih ngojek online ketimbang kerja jadi OB di kantor mantan majikannya. Padahal orang kantoran aja banyak yang nyambi ngojek online. Tapi dasar aja mertuanya yang kegedean gengsi. Tiap ada tetangga nanyain soal kerjaan Jaka, Bu Lilis selalu uring-uringan dan Nuning melulu yang jadi sasaran.

“Memang nasibku apes. Punya suami, direbut orang. Punya anak satu-satunya juga disikut orang! Jauh-jauh dititip ke kampung biar sekolah dan belajar yang bener, biar bisa ngelanjutin kuliah sampai Sarjana... kok baru lulusan aja malah kawin sama gadis nggak jelas! Anakku nggak mungkin jatuh cinta sama gadis kayak gitu. Ndeso, kampungan, nggak ada cocok-cocoknya sama anakku.  Jangan-jangan anakku dipelet?! Mestinya anakku sekarang kuliah, terus jadi Sarjana, terus jadi pengusaha yang lebih sukses dari bapaknya! Biar aku bisa buktiiin ke bapaknya, kalau aku lebih pinter ngurus anak ketimbang Sari si pelakor itu!” Bu Lilis nyerocos sendiri sambil ngoseng wajan sampai bunyinya klontang-klonteng berisik banget sampai mana-mana.

Beberapa bulan pertama dulu suara musik orkestra ala perkakas dapur Bu Lilis bisa bikin jantung Nuning mencolot keluar saking kagetnya, tapi lama-lama ia terlatih juga. Jantung Nuning sekarang udah lentur kayak karet, fleksibel. Ditarik-ulur sama omelan mertuanya nggak gampang copot lagi. Jadi dia nyantai aja keramasan di kamar mandi sambil nyanyi, “Karena kuselow... sungguh selow... tetap selow... santai... santai...”

Bu Lilis yang denger jadi kepingin gantung wajan saking kekinya. Capek-capek ngamuk cari perhatian kok malah dicuekin. Padahal panci-pancinya udah pada penyok  keseringan dibantingin. Nggak mungkinlah Bu Lilis mau banting harga dirinya yang paling berharga dan tinggal satu-satunya yang dipunya. Frustrasi, Bu Lilis pun kelesotan di lantai dapur sambil nangis gerung-gerung. Bikin Jaka kebingungan ngeliatin ibunya tantrum macam bocah yang bisulnya pecah.

***

“Jakaaaa!” panggil ibunya bagai bom di siang bolong yang memekakkan kuping. “Tahu nggak, istrimu kerja jadi kuli! Apa-apaan ini, Jak?! Malu-maluin aja!” protes ibunya tak bisa dibendung lagi.

Inilah yang dicemaskan sama Jaka sejak kemarin dan kejadian juga akhirnya. Tapi dia bisa apa? Bukan Nuning namanya kalau bisa dilarang kemauannya.

“Ya bukan apa-apalah, Bu. Yang penting kan halal,” sahutnya pura-pura tenang.

“Halal gundulmu peyang! Pokoknya suruh istrimu berhenti, mending kerja jadi babu sekalian tapi jangan jadi kuli. Apa kamu nggak tahu sekampung geger pada ngetawain dan ngomongin yang jelek-jelek tentang istrimu? Haduh, padahal nggak diomongin aja orangnya udah jelek, kok. Pokoknya panas kuping ini dengernya. Mau ditaruh mana muka ibumu ini, punya mantu kok begitu amat?” cerocos ibunya bagai petasan orang Betawi lagi kawinan yang meledaknya gak habis-habis.

 "Niat Nuning baik kok, Bu. Dia kepingin cari uang sendiri buat jajan karena nggak mau tergantung sama Jaka. Karena Nuning tahu kondisi keuangan suaminya gimana,” kata Jaka pasang badan.

 “Nah. Baru tau kan, kalau pernikahan nggak seindah drama Korea?!”

 “Eh, Ibu suka nonton drama Korea juga? Suka sama siapa, Bu? Lee Min Ho? Hyun Bin? Lee Jong Suk?”

 “Halah! Nggak usah ngalihin perhatian!”

Jaka garuk-garuk kepala kena semprot lagi.

 "Kalau kamu nggak kebelet kawin, nggak bakalan kayak gini ceritanya. Makanya, kuliah dulu terus kerja yang bener, baru mikirin kawin. Bikin pusing aja!” oceh ibunya jengkel.

Nuning sih tetap santai aja nggak mikirin omongan miring di sekitarnya. Dia cuek aja menikmati profesi barunya sebagai kuli dan tukang petik buah bareng Jimin. Bukannya dia nggak dengar tentang omongan orang yang merendahkannya, tapi dia memilih untuk mengabaikan. Tujuannya ke Jakarta kan buat senang-senang, bukan buat dengerin omongan orang. Mau jadi apa kek dirinya, yang penting hatinya senang. Titik. Maka ia tetap melakoni pekerjaannya setiap hari dengan gembira. Toh lama kelamaan komentar yang mengejek pekerjaannya itu surut juga. Tapi ketidaksukaan Bu Lilis kepadanya tak ikut menyurut. Mertuanya itu masih aja judes. Dan seperti biasa Nuning cuek-cuek aja. Mengubah hati seseorang yang telanjur nggak menyukainya kan nggak semudah ngupil.

“Masak apa, Bu?” sapa Nuning riang di ambang pintu dapur. Tapi mertuanya malah menjawab dengan melempar tutup panci.

Nuning gesit menangkapnya. “Kalau panci ini punya nyawa pasti deh udah nangis ampun-ampunan dilempar-lempar mulu kayak gini tiap hari,” katanya sambil meletakkannya ke rak. Lalu menyodorkan bungkusan ke mertuanya. “Buat Ibu, nih... Kata Jaka Ibu doyan banget  ikan bandeng. Ini masih seger, gede banget pula. Tolong dimasak yang enak ya... Jaka juga kan doyan,” katanya sambil mengerling lalu melenggang pergi.

Bu Lilis bengong menatap bungkusan di tangannya. Menantunya selalu pulang dengan membawakan buah tangan untuknya, entah sekadar es cendol, rujak serut, es krim, atau bakso. Dan sekarang dibawain ikan bandeng yang besar dan masih segar, pasti harganya mahal. Tapi yang paling penting, entah kebetulan atau bukan, Bu Lilis menyukai semua hal-hal yang diberikannya. Diam-diam hatinya tersentuh, sudah sangat lama tak ada yang memperhatikan dirinya seperti ini. Terlalu lama hidup dalam kesendirian dan kesepian.

***

“Aku mau ganti baju, keluar dulu gih!” usir Nuning ngeliat Jaka leyeh-leyeh di kasur sambil kipasan.

“Ganti di kamar mandi aja kenapa sih? Nggak lihat orang lagi santai?” Jaka ogah-ogahan tapi pas ngeliat muka Nuning yang angker, melipir ngeri juga.

“Udah belom?” Jaka berisik ngetukin pintu semenit sekali. Dan di menit kesepuluh pintu kamar terbuka cepat sebelum cowok itu sempat mengetuk. “Aduh!” pekiknya sambil memegangi kepalanya yang habis kena pentung Nuning.

“Berisik banget jadi orang!” omel Nuning sambil mengurai rambutnya yang basah.

“Lagian orang enak-enak nyantai malah diusir. Punya istri kok galak banget!”

“Galakan juga ibumu.”

Jaka nyengir. “Tapi  menikahimu itu pilihanku juga, Ning...” ujarnya ngajak damai karena nggak enak hati ibunya jadi terbawa-bawa gitu.

“Karena kamu nggak punya pilihan lain. Kalau Erna mau kamu nikahin, pasti kamu milih dia kan? Hayooo,” kata Nuning sambil mencubit lengan Jaka.

“Ampunnn,” keluh Jaka kesakitan lalu ketawa geli saat cubitan Nuning berubah jadi kelitikan. Semakin Jaka minta ampun, Nuning makin senang dan ketawa riang.

Setelah capek ketawa, keduanya rebah tidur bersisian.

 “Jak, kayaknya ibumu kepingin banget kamu kuliah,” kata Nuning buka suara.

 “Iya, aku juga udah bikin rencana soal itu kok. Tapi nggak bisa sekarang karena mesti ngumpulin duit dulu,” sahut Jaka sambil mengubah posisi tidurnya menghadap Nuning. “Ning, sampai kapan kamu mau kerja jadi kuli angkut kayak gini sih? Apa kata bapak sama emakmu kalau sampai tahu?” katanya dengan cemberut.

“Ya jangan sampai tahulah, kalau sampai mereka tahu berarti mulutmu yang ember!”

“Maaf ya... belum bisa bantu cariin kerjaan yang layak buatmu.”

“Memangnya kerjaanku sekarang kenapa? Asyik tauuu. Aku bisa kerja sambil senang-senang. Bagiku manjat pohon, ngangkut karung, dan ikut mobil bak ke pasar induk itu seru banget, kayak lagi jalan-jalan. Kayak yang biasa kita lakukan sewaktu di kampung. Bedanya pemandangan yang kulewati di sini ibukota yang lebih ramai, waktu rasanya cepat berlalu tahu-tahu sudah malam. Apalagi aku bisa sambil menikmati aneka jajanan yang enak-enak, yang nggak ada di kampung.”

“Jadi kamu menganggap semua itu cuma buat main-main?”

“Ya iyalah! Ngapain serius-serius amat? Hidup itu kudu dinikmati. Udah ah, jangan bersikap kayak kamu itu suamiku betulan aja. Urusan antara kita kan udah kelar. Kamu udah penuhi janjimu bawa aku ke Jakarta. Aku ikut lega kamu berhasil nyairin warisan sehingga pamanmu aman nggak jadi dipenjara, bibimu tetap tinggal di rumahnya. Cukup. Aku nggak menuntut tanggung jawab apa-apa darimu kok. Sesuai janjiku dulu yang cuma minta dinikahi, soal duit aku bisa cari sendiri.”

“Kok ngomong gitu sih? Kata-katamu itu nggak enak di kupingku loh!”

“Apanya yang gak enak? Goblok kok dipelihara? Tuyul sana dipelihara biar kaya... Aku tuh sedang bebasin kamu, tahu nggak? Maksudku, kamu nggak usah mikir soal jagain akulah atau apalah sesuai permintaan emak dan bapakku. Itu kan cuma berlaku kalau kita suami-istri beneran.”

“Kan kita suami-istri beneran? Bagaimanapun kita sah di mata hukum dan agama loh, Ning. Nggak peduli kita nggak niat nikah betulan, tapi kita kadung terikat. Mestinya aku jagain kamu dunia-akhirat dan ngasih nafkah. Tapi... malah bikin kamu tampak menyedihkan kayak gitu. Aku ngerasa berdosa, tau!”

”Cih, sedih apanya... Justru kamu yang menyedihkan kalau kayak gini terus-terusan. Kamu kan punya otak yang pinter, dipake dong buat ngubah nasib. Kuliah sana!”

Jaka mau ngomong tapi Nuning buru-buru nutupin mulutnya pake tangan dan berkata, “Pokoknya kamu kudu sukses, biar ibumu bangga. Kalau udah sukses, suatu saat kamu pasti pede ngadepin si botak.” Jaka menyingkirkan tangan Nuning dari mulutnya lalu ngakak saat Nuning menyebut-nyebut bapaknya Erna yang kepalanya botak. “Terus kamu lamar si Erna dengan lantang! Bawain seserahan yang banyak, siapin emas kawin batangan 24 karat segede bata. Kalau ditolak, tinggal timpuk aja orangnya sampe lamaranmu diterima...”

“Itu mau ngelamar apa mau ngajak gelut sih, kok pake adegan nimpuk orang segala?” seloroh Jaka geli disela-sela tawanya.

“Tapi aku yakin kok, Erna tetap nyimpan perasaannya ke kamu.”

“Tau dari mana?”

“Gini-gini aku kan perempuan juga, Jak. Cuma seorang perempuan yang bisa memahami hati perempuan lain. Percaya deh, kamu pasti bisa dapetin Erna dan nikah sama dia suatu hari nanti.”

“Kok malah nyuruh aku nikah lagi sih? Seneng ya kalau dimadu?” ledek Jaka sambil mencubit hidung Nuning yang nggak pesek, tapi  juga nggak mancung.

Nuning balas menggigit sampai Jaka mengibaskan tangan kesakitan. Lalu gadis itu mengomel. “Siapa yang sudi dimadu?! Aku kan nyuruh kamu kawin sama Erna nanti, kalau kamu udah sukses. Pas kita udah cerai, kalau__ mmph...”

Nuning belum sempat menyelesaikan kata-katanya karena Jaka keburu menyumpal suara Nuning dengan mulutnya. Seketika Nuning menegang saat lidah Jaka yang nakal membelai-belai bibir perawannya. Perutnya bagai dicambuk desiran aneh yang melumpuhkan  sel-sel sarafnya, membuatnya lunglai tak berdaya dalam dekapan Jaka yang menguasainya utuh-utuh.

“Jaka! Tolong beliin___”

Pelukan Jaka terurai secepat cahaya saat Bu Lilis tiba-tiba menyergap masuk tanpa permisi. Dan secepat kilat pula Bu Lilis memalingkan mukanya yang merah padam karena jengah.

“Eh, a-a-anu...” mendadak emak-emak yang biasanya fasih mengomel itu menjadi gagu. “Kunci pintunya!” katanya sambil buru-buru menutup pintu dengan gugup. Segugup Jaka yang tiba-tiba kehilangan keberaniannya yang entah dari mana datangnya tadi. Refleks didorongnya Nuning hingga terjengkang lalu terguling ke lantai.

Jaka terkesiap dan mulai melipir panik menyadari kesalahannya. Sementara tanduk Nuning sudah mulai mencuat, siap memburunya. Lalu Jaka ngibrit muterin kamar sampai nabrak-nabrak tembok dan kejedot pintu. Ngos-ngosan dikejar Nuning yang tak kenal ampun. Kemarahan gadis gila itu menyerupai banteng lihat kain merah. Habislah Jaka diseruduknya meski udah menyerah kalah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status