Share

BAB 3: Cabul

Siswa dan siswi SMAN 696 tergesa-gesa meninggalkan sekolah. Mereka masih syok. Belum pernah dalam sejarah sekolah terjadi kerasukan aneh semacam itu.   

Di trotoar depan sekolah Linda menunggu angkot yang ke arah rumahnya. Ia ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Matanya terasa perih, kering dan gatal. Di rumah mamanya bisa memperbaiki kacamatanya.

Tiba-tiba sebuah mobil BMW hitam berhenti di depan Linda. Gerung mesinnya berkata, “Milyarraann.” Aneh, mobil semewah itu berhenti di sini. Ini bukan sekolah anak-anak tajir. Ini SMAN 696. Satu kaca jendela pecah saja sebulan baru ganti.

Kaca jendela mobil itu perlahan turun. Di dalamnya tampak om-om gemuk berjas coklat, kemeja putih dan kancingnya terbuka hingga sedada. Usianya sekitar kepala empat. Ia meneguk sekaleng bir dan "Ahhh…"

Om-om itu mengangkat kacamata hitamnya. Bola matanya menelanjangi Linda dari atas hingga bawah. Ia mengangguk ke atas dan bertanya “Berapa neng sejam?”

Deg! Linda merasa tidak enak denga pertanyaan itu. Berapa? Apa maksudnya? Ia menghiraukan orang itu dan menengok ke ujung jalan, menanti angkotnya.

“Neng…neng… gue suka nih barang kayak gini, unik,” panggil om itu seraya tangannya menggapai, hendak menoel dada Linda.

“Apaan sih!” sergah Linda kaget seraya menjauh sambil terus menutupi matanya yang kering dengan tangan kiri, dan melipat tangan dengan kanan.

Pria itu mematikan mesin mobil, membuka pintu dan turun. Dari goyangan suspensi saat ia beranjak keluar, bobot orang ini kelas berat. Ia meluruskan tulang-tulangnya, hgghhh! Ketek! kretek! Lalu menggaruk selangkangannya yang gatal. 

Dia meneguk tetes bir terakhir, lalu melempar kalengnya sembarangan. “Klontang! klontang” bunyi aluminium mencumbu aspal. “Errrgh!” suara sendawa. Ia berjalan mendekati Linda.

Bau alkohol tercium keras.

“Bisa CIM, gak sayang?” tanya om itu mesum.

Cim? Apa sih cim cim cim?

Om-om itu mencoba membelai rambut Linda.

Linda menepis tangan orang itu. Ia semakin bete.

“Brrrrmmm!” suara motor Vixion berhenti di depan keduanya. Pengendaranya membuka helm. Ternyata itu Beni. Ia turun dari kuda besinya, sambil memegang helm, bergegas menghalangi pria itu. “Heh, mundur om. Jangan macam-macam di sini,” ujar Beni memperingati. Kepalanya harus mendongak untuk bisa bicara dengannya.

Pria itu menatap Beni. “Cuih! Minggir, bocah!” Telapak tangannya yang besar mendorong kepala Beni ke samping. Beni terhuyung-huyung, hampir jatuh.

Om itu mendekati Linda. Tanpa basa-basi tangan kirinya meremas bokong Linda.

Alis Linda mengernyit risih. “Apaan sih!” Ia dorong perut om-om itu sekuat tenaga. Eh, malah dia yang terdorong ke belakang.

“Ahahahaha, oooh… om suka yang seperti ini! Sedikit pedas dan melawan.” Ia merendahkan pinggangnya, kemudian melangkah maju, sambil menggerakkan pinggulnya maju mundur.

“Bajingan, jangan ganggu dia!” sergah Beni. Ia melompat maju lagi.

Saking fokusnya Linda menghindari om-om itu, tak sadar kakinya sudah berada di atas saluran got yang penutup betonnya hilang tiga buah. Ia kehilangan keseimbangan.

Beni membelalakkan mata. Tanpa berpikir panjang, ia timpuk helm miliknya ke om-om itu. “BLETAK!” Pria itu terhuyung-huyung, menabrak gerobak cilok. “Aduh dagangan saya!” Secepat kilat Beni melompat ke dalam got sebelum Linda tercebur.

JEBLUB! Kedua kakinya menancap ke lumpur hingga setengah betis. Air comberan kotor menciprat celananya.

Linda jatuh ke dalam pelukan Beni. Pluk! Punggung dan kaki Linda menggantung di kedua lengan Beni yang kokoh.

Linda kaget mendapati dirinya dalam pelukan seorang cowok. Kedua bola mata mereka saling bertemu dalam batas jarak intim 50 cm. Bila ini adalah drakor, ini momen si cewek mulai merasakan getaran-getaran cinta.

Akan tetapi justru mata, bagian yang paling membuat Linda sangat insecure. Mood swing-nya menendang. Apalagi pandangan Beni sekilas melintas di area dadanya. Rasa malu berubah menjadi risih dan marah. Kontol!

Bukannya berterima kasih. “Plak!” Linda malah menghadiahkan sebuah tamparan pelak, mengejutkan sang pahlawan.

“Turunin gue, sekarang!” perintah Linda galak.

“I..iya,” jawab Beni agak syok. Ia letakkan Linda di trotoar. Lalu Linda bangkit berdiri.

Belum sempat Beni keluar dari got. Om tadi sudah maju dan menendang wajah Beni. “BAK!”  “Sialan… ganggu saja monyet ini!”

Om itu beralih ke Linda dan tersenyum. Ia meraih pinggang Linda dan menariknya ke dalam pelukannya. “Ayo sayang, bilang berapa hargamu. Om dobelin, deh. Hehe…”

Linda marah sekali diperlakukan seperti itu. “Cuih!” ia ludahi wajah om cabul itu. Tapi bukannya marah, orang itu malah mengelapnya dengan telapak tangannya, lalu menjilatnya.

“Woahahaha…. kinky banget kamu yah. Kalau gitu om bayar tiga kali lipat harga kamu! “HAHAHA!” Om-om itu tergelak terangsang. Batangnya mengeras.

Amarah Linda sudah sampai ke ubun-ubun. Ia akan habisi nyawa orang itu. Jemarinya mulai mengepal.  Akan tetapi belum sempat ia melaksanakan niatnya, terdengar suara dari belakang. “Lepasin dia!”

Bukan itu bukan Beni, melainkan seorang pedagang siomai. Tangannya memegang sebilah pisau. Ia tidak sendiri, melainkan bersama beberapa pedagang lain yang merasa terganggu. Ada yang bersenjatakan penggiling adonan, panci penggorengan, dan sebagainya.

“AHA…HA...HA!” Pria itu terbahak-bahak melihat mereka. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari balik jas, dan mengokangnya. Ceklek! Beceng G2 Elite kaliber 9 mm.

“Kyaaa!” jerit orang-orang terkaget. Tukang siomai langsung mereka jadikan tameng sambil mundur perlahan. Orang-orang di sekitar juga kocar-kacir mencari aman.

Namun Beni berbeda dengan yang lain. Ia keluar dari got dan dengan gagah menghadang beceng itu.

“Ayo shoot!” tantang Beni. Beni melirik Linda dan memberikan senyuman. Ia merasa keren sekali melakukan adegan ini di depannya. Serasa jadi superhero.

“Dah gila kamu, ya?” kata om itu.

Beni makin tidak waras. Kini ia tempelkan keningnya ke moncong laras.

“Ayo tembak…. atau masih kurang dekat?” Kali ini ia melahap ujung laras pistol. “Ayo!”

“Apa-apaan kau hah? Sudah tak sayang nyawa rupanya? Hancur kepala kau bila kubedil ini!” bentak om-om itu.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara yang berwibawa, “Hentikan!”

Perhatian Linda, Beni dan om mesum langsung teralih ke sumber suara. Ternyata itu Pak Juniadi. Ada murid yang melaporkan keributan di depan sekolah kepadanya.

Sepatu Pak Juniadi. Pantofel made in Cibaduyut. Sederhana dan terjangkau. Secepat kilat bersarang di perut Beni dengan keras. BUK!

Uhuk! Beni terbatuk, tersungkur duduk di trotoar memegang perutnya. Pak Juniadi sengaja melakukan itu agar muridnya terhindar dari bahaya.

Beceng om itu bergerak cepat, menodong kepala Pak Juniadi. “Anda jangan macam-macam,” ancamnya.

Pak Juniadi menatap orang itu dengan serius. Ia membetulkan kacamatanya dengan tangan kanannya. “Andalah yang jangan macam-macam.” Matanya memberi isyarat kepada om cabul itu untuk melihat ke bawah. Ternyata sebuah pistol sedang mengarah ke masa depan orang itu. Keduanya sedang bertaruh, siapa yang lebih berani kehilangan.

“Sekarang lepaskan siswa dan siswi saya dan letakan pistol Anda di tanah.”

“Anda tidak akan menembak saya.”

“Silahkan dicoba, jika Anda berani,” tantang Pak Juniadi.

Om-om itu berpikir sejenak. Ditembak di kepala, kemungkinan mati cepat. Tapi kalau di bawah situ, apalagi kalau dibuat sedikit miss, mati juga sih, tapi sakitnya macam apa.

“Ok, ok…” Om itu memutuskan untuk melepaskan Linda, dan perlahan meletakkan pistolnya di tanah.

“Sekarang silahkan Anda pergi dari sini, dan jangan kembali lagi. Kalau tidak saya panggil polisi,” ancam Pak Juniadi.

Pria itu mundur pelan-pelan ke mobilnya. Dengan bersungut-sungut om itu masuk ke mobil, menyalakan mesinnya dan kemudian meninggalkan area sekolah.

“Siapa nama kamu?” tanya Pak Juniadi ke Beni, sambil memungut pistol yang ditinggalkan orang itu dari tanah.

“Beni.”

“Kamu tahu, yang telah kamu lakukan itu ceroboh, Ben,” kata Pak Juniadi, mengangkat pistol itu.

“Ah paling itu hanya airsoft gun, pak. Sekarang ini banyak yang bawa pistol mainan seperti itu. Buat nakut-nakutin. Kalau gak mana saya berani, pak seperti tadi,” kata Beni tersenyum.

Pak Juniadi menekan sebuah tombol kecil di gagang pistol. “Klak!” terdengar suara mekanik pelepas magazin. Isinya merosot di depan mata Beni. “Lihat, ini peluru asli. Peluru tajam. Bukan peluru airsoft yang bulat-bulat itu,” katanya.

Beni kaget.

Pak Juniadi menyimpan pistol orang itu di belakang pinggangnya. Setelah itu dia mengarahkan pistol miliknya ke paha Beni.

“Maafkan bapak.”

“Hah, maksudnya?”

“Duar!” Pistol Pak Juniadi meletus.

“AKKKH!” Beni berguling-guling di trotoar, menjerit kesakitan, memegangi kakinya. “AAkkhhh!”

Pak Juniadi berjongkok dan menonton Beni beberapa saat. Dengan santai ia berkata, “Hei, hei itu hanya pistol airsoft gun kosong. Kamu benar, memang ada orang yang cuma bawa pistol mainan, seperti saya. Masalahnya kamu tak bisa bedakan mana yang asli, mana yang mainan. Peluru airsoft gun pun, kalau ditembak di dalam mulut tetap bisa berbahaya, paham?”

Beni memeriksa kakinya ternyata benar,  kakinya tidak apa-apa.

“P...paham pak,” jawab Beni.

“Segeralah kalian berdua pulang, ke rumah. Jangan kelayapan. Bapak masih harus mengurus kejadian aneh hari ini,” kata Pak Juniadi sambil membetulkan kacamatanya.

“B...baik pak,” kata Beni.

“Kamu bisa antar Linda?” tanya Pak Juniadi agak mengkhawatirkan siswinya.

“Bi…bisa pak.”

“Ok, jalankan tugasmu sebagai laki-laki.”

Sehabis berpesan itu, Pak Juniadi kembali masuk ke dalam sekolah.

Beni mengambil helmnya dari tanah, lalu berjalan menghampiri Linda.

“Terima kasih,” ucap Linda pendek. Itu saja yang ingin diucapkannya. Ia tak mau banyak basa-basi.

“Sama-sama,” jawab Beni, “Mmm… gue antar pulang yuk.”

Linda menggeleng. Matanya langsung mencari-cari angkot. Ia ingin segera pulang agar tidak perlu ngobrol dengan Beni atau meladeni ajakannya.

“Ayolah. Lagipula matamu sepertinya harus mendapatkan penanganan segera. Takutnya di jalan banyak debu dan sebagainya. Bahaya kan. Dan akhir-akhir ini entah kenapa di sekitar sekolah banyak orang-orang seperti tadi. Dengar-dengar sudah ada beberapa siswi yang melaporkan hal itu.”

Linda dengan cepat menggeleng lagi.

Beni masih belum menyerah, “Ayolah, yuk.”

“Gak! Terima kasih,” tolak Linda dengan pedas dan jutek. Lalu dengan sengaja menutup hidung untuk memberikan sinyal-sinyal agar cowok itu merasa tak nyaman.

Beni melirik celananya yang basah dan menetes air got. Saat itu ia memang semerbak bau comberan. Beni menunjukkan wajah tidak enak. “Ya baiklah,” ucap Beni tak bersemangat. Lalu ia menaiki motornya, memakai helmnya, memutar gas dan pergi meninggalkannya.

15 menit kemudian Angkot M105 akhirnya tiba. Linda naik masuk ke dalamnya, duduk di paling belakang. Matanya terasa sangat tidak nyaman. Ia naikan cap hoodienya dan menutupi wajah dengan rambut untuk mengurangi cahaya yang menyiksa bola matanya.

Angkot baru saja jalan, tapi sudah mengerem lagi. Masih ada penumpang mau naik. Lalu terdengar orang tertawa-tawa, entah kenapa. Linda tidak peduli. Yang jelas orang yang baru naik itu duduk di sebelahnya. Saat dia duduk, Linda terasa terjepit di pojok. Wanita tapi kok gede banget?

30 menit perjalanan, Linda sampai di tujuan. Ia berdiri dari kursinya hendak keluar, mengantri sebentar di belakang pantat orang. Ketika Linda menyerahkan uangnya, supir itu berkata, “Sudah dibayar neng.”

“Hah, dibayar siapa?” tanya Linda, mengira ia salah dengar.

Supir itu menunjuk orang yang dimaksud dengan anggukan kepala.

Orang itu sudah berdiri di luar membelakangi angkot. Linda turun tepat di belakangnya.

Sepatu Linda secepat kilat menempel di pantat wanita itu dan mendorongnya hingga wanita tersebut terjungkang.

“Eh, alamak!” pekik wanita itu, tersungkur di tanah. 

Linda langsung menyodorkan pengganti uang ongkos angkot kepadanya.

“Ambil, gue gak mau dibayarin, Ben.”

Ternyata wanita itu adalah… Beni.

“Gak apa-apa, Linda.”

“Gak perlu gue dibayarin!” Linda menimpuk uang itu ke dada Beni dengan kasar. “Ngapain lo pakai baju perempuan?”

Beni berdiri sambil menepuk-nepuk dress-nya. “Seragam gue kan kotor dan bau. Sementara toko baju dekat sekolah adanya Toko Sherly. Toko itu hanya menjual baju wanita. Bagaimana menurut lo apakah dress ini cocok buat gue?”

Linda hanya menatap Beni jutek.

“Buat apa lo beli baju cewek segala, kurang kerjaan!”

“Ya, supaya lo gak ke-bau-an. Supaya bisa nganterin lo.”

Linda bete dengan kegigihan Beni.

“Dah gue bilang kan, gue bisa pulang sendiri.”

“Iya, gue jaga-jaga saja, kalau ada apa-apa,” jawab Beni sekenanya. Ia melihat ke sekeliling. “Rumah lo yang mana?”

“Masih harus jalan.”

“Ya sudah, ayuk, tunggu apa lagi,” kata Beni.

“Lo pulang saja,” potong Linda cepat. “Gue bisa sendiri.”

“Ya, gue yakin, lo bisa. Tapi….”

Belum Beni menyelesaikan kalimatnya, Linda memotong, "Reseh amat sih. Cowok tolol gak ngerti Bahasa Indonesia. Goblok!" Linda memaki dengan kasar dan suara meninggi. Dia sudah tidak mau berpanjang lebar. Setelah itu dia pergi meninggalkan cowok itu.

Beni terdiam di belakang Linda, sebelum dia memanggil, “Linda, mengapa kamu menutup diri?”

Langkah kaki Linda terhenti. Alis Linda mengernyit. Kalimat Beni seperti sudah melanggar privasinya. Lalu ia membalikkan badannya. “Lo siapa sih?” bentak Linda. “Kita baru kenal hari ini. Gak perlu sok dekat, sok baik sama gue. Risih tahu!”

Linda berbalik dan lanjut melangkah meniggalkan Beni yang terbengong. Beni berdiri mematung mendapatkan omelan Linda. Tapi kemudian dia tersenyum penuh arti. Jari tangan kanannya membentuk pistol, terangkat mengarah  ke Linda. Lalu dia mengedipkan matanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status