Satu jam kemudian, keduanya berbaring telanjang di tengah tempat tidur. Dengan berbantal lengan Dirga, Davina mulai mengantuk dalam dekapan pria itu. Ya, bagaimana tidak. Setelah percintaan panas mereka, tenaganya benar-benar dikuras habis. Dan jika ia tidak memperingatkan Dirga tentang kehamilannya, bisa dipastikan mereka pasti masih bergulat di tempat tidur. Senyum tersamar di ujung bibir Davina. Masih ada sedikit kepedulian Dirga yang masih tersisa untuk anak dalam kandungannya. Dirga sedikit menundukkan wajahnya, mengamati wajah lelah Davina yang mulai bernapas denga teratur dan tubuh yang mulai ileks dalam pelukannya. Satu tangannya terulur, menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi pandangannya mencermati wajah mungil gadis itu. Meski mata Davina terpejam, tetap saja ia bisa melihat kebeningan kedua mata madu tersebut dalam pandangannya. Bulu mata yang panjang dan lentik, alis yang melengkung halus, hidungnya yang mancung, mungil dan lancip dan disempurnakan dengan bibir
Part 53 Jatuh Cintakah? Davina baru saja melepaskan kaosnya ketika pintu tiba-tiba dibuka dan ia memekik pelan melihat Dirga yang melangkah masuk. “Aku belum selesai, Dirga,” sergahnya. “Paman sialanmu.” Dirga mengulurkan ponselnya. Melihat kedua tangan Davina yang berusaha menutupi ketelanjangan dengan kaos yang sudah dilepas. Sekaligus kesulitan untuk mengulurkan tangan. Dirga pun maju, menangkap pinggang Davina dan memutar tubuh gadis itu hingga punggung menempel di dada. Sementara tangannya yang lain menempelkan ponsel di telinga kiri. “Bicaralah,” bisik Dirga di telinga kanan, mendaratkan kecupan di pundak. Davina terpaku, jantungnya berdegup kencang dengan kontak fisik tersebut. Wajahnya mulai memanas, tetapi segara menyadarkan diri ketika suara dari seberang memanggilnya. “Davina? Kau di sana?” “Y-ya, Paman.” Davina berhasil menghilangkan getaran dalam suaranya. “Kau baik-baik saja?” “Ya, tentu saja. Paman?” “Sama. David ingin bertemu denganmu.” Davina melirik ke samp
Tidak mungkin, bukan? Semua perasaan yang bergejolak di dadanya karena ia terbawa emosi karena kesensitifan atas kehamilan ini. Anak ini adalah anak Dirga. Tentu saja anak ini memiliki ikatan batin yang cukup kuat dengan sang ayah. Sementara janin ini bertahan hidup di tubuhnya. Sehingga semua reaksi aneh itu bermunculan di dadanya. Ya. Semua ini hanyalah salag satu dampak dari kehamilannya. Ia tak mungkin jatuh cinta dengan Dirga meski semua kecemburuan itu telah ia akui. Semua kecemburuan itu karena …. kepala Davina kembali pusing ketika menelaah lebih dalam perasaan macam apa yang sebenarnya tumbuh di dalam hatinya ini. Ia hanya merasa sangat senang. Dadanya begitu sesak oleh sesuatu yang menyenangkan tersebut. "Apa yang kau pikirkan?" Pertanyaan Dirga membangunkan lamunan Davina. Davina tersentak pelan dan menggeleng dengan cepat. Kerutan membentuk di kening Dirga akan respon Davina yang menggemaskan tersebut. Ujung bibirnya tersenyum tipis. Tangannya terulur mengusap ccokla
Kata sambutan Dirga membuat Davina terdiam. Tak yakin apakah itu pertanyaan atau pernyataan. Pandangannya berputar ke arah teras rumah sakit, yang memang terlihat jelas dari tempat mobil Dirga diparkir. Apakah pria itu mengamatinya sejak tadi. Ia menjawab dengan anggukan polosnya. “Dan kau tak menyangkal?” Salah satu alis Dirga terangkat. Kesal. Tentu saja. Cemburu. Ia tak akan menyangkalnya. Dengan jarak yang sejauh ini saja ia sudah bisa melihat dengan jelas gelagat Ega Carson terhadap Davina. Cara pandang pria itu jelas lebih dari yang dilihat oleh istrinya. Ya, istrinya. Davina Dirgantara. Istrinya. Tentu saja ia tak akan membiarkan pria mana pun melihat istrinya dengan tatapan rakus seperti itu. Menginginkan istrinya, miliknya lebih dari yang seharusnya. Seujung kuku pun. “Apakah aku harus menyangkalnya?” Davina tanya dengan kedua matanya yang membulat dengan cara yang polos. “B-bukankah kau bilang aku harus menjadi orang yang kau percaya?” Dirga menatap lekat kedua mata Davi
Air liur Davina seperti sudah memenuhi mulutnya dengan aroma daging tumis yang dibalur bumbu yang begitu harum Entah karena rasa lapar atau memang selera makannya yang meningkat akhir-akhir ini, semua makanan yang terhampar di meja membuat air liurnya menetes. Atau mungkin keduanya. Dirga memang tahu bagaimana memenuhi perutnya.Suapan itu sudah ada di depan mulutnya yang terbuka ketika tiba-tiba tangannya ditampar dan sendok di tangannya jatuh ke karpet. Mulutnya menganga menatap nasi dan potongan daging tersebut berhamburan di karpet.“Ada apa?” tanya Davina tak mengerti ketika tangannya tiba-tiba ditarik dan dibawa ke arah meja kerja. Mendudukkannya di kursi lalu berjalan tiga langkah menjauh.“Siapa?” Bibir Dirga menipis keras, kemarahan bergolak di dadanya. Dan begitu mendengarkan siapa pelakunya, wajahnya mengeras dengan kepalan di tangan kirinya. “Dapatkan dia,” perintahnya mengakhiri panggilan dan menurunkan ponselnya. Kemudian mendekati meja kerjanya dan menangkap wajah Davin
Davina kembali menengok keluar di sekitar mobil. Menatap pintu utama gedung tinggi dan Dirga masih juga tidak muncul dari sana. Entah sudah berapa lama ketika Dirga memarkirkan mobil di depan halaman gedung dan meninggalkannya bersama beberapa pengawal yang sudah menunggu sejak mereka datang. Ada dua masing-masing di depan dan belakang mobil dengan sikap siaga. Davina mengedarkan pandangannya, sejak tadi yang ia ketahui dari bangunan tinggi ini adalah sebuah gedung apartemen di kawasan elit. Glory Apartment. Urusan apa dan berapa lama lagi ia harus menunggu, Dirga sama sekali tak memberitahunya. Pria itu hanya menyuruhnya menunggu dan menghabiskan makanan yang tadi dibeli di restoran dalam perjalanan ke tempat ini. Tapi sekarang perutnya sudah kenyang dan kandung kemihnya sudah penuh. Ia buruh ke toilet. Melihat tak ada tanda-tanda kemunculan Dirga dalam waktu dekat, Davina pun melangkah turun. “Nyonya?” Salah satu pengawal bergerak mendekat. “Anda tidak boleh …” “Aku ingin ke to
PrologDavina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tanpa emosi. Davina bangkit berdiri sambil menjatuhkan penutup toilet. “Sepertinya ada yang salah dengan p
"Jadi kau masih hidup?" Seringai Jimi naik lebih tinggi. Kelicikan dan kebengisan berkilat jadi satu di kedua matanya yang bengkak dengan luka lebam di sebelah kiri. Ujung bibir pria itu juga robek dan Dirga yakin luka di tubuh Jimi lebih banyak dari yang terlihat di wajah.Saga benar-benar memberi pria itu penderitaan yang lembuy. Perlahan dan menyiksa. Tetapi semua penyiksaan itu tak membuat kesombongan seorang Jimi Riley runtuh."Ya, jika pengkhianat sepertimu masih bisa bernapaa, kenapa aku tidak?"Jimi terkekeh lalu mendenguskan balasan. "Wanita Ganuo yang menyelamatkanmu, aku hampir melemparnya dari atas gedung. Nyaris. Seharusnya aku menembaknya sebelum Ganuo datang. Untuk merayakan tragedi yang sama."Wajah Dirga seketika menggelap, hanya untuk sejenak. Di detik berikutnya, ialah yang membalik posisi. Tangannya merogoh selembar foto dari saku kemeja dan menunjukkannya pada Jimi. "Dia memiliki mata yang sama denganmu. Lemah dan haus kasih sayang."Seringai Dirga naik lebih ting