Bab 33) Tidak Menunda PekerjaanSok alim? Hanum hanya tersenyum tipis menahan rasa geli dengan ucapan wanita tua itu. Masa iya, orang mendahulukan shalat sebelum mengerjakan pekerjaan lain di anggap sok alim? Bukannya sudah seharusnya kita mementingkan shalat lebih dari apapun? Akan tetapi biarlah, tak perlu di tanggapi serius. Hanum langsung masuk ke dalam kamarnya, kemudian segera berwudhu. 15 menit kemudian, wanita itu sudah keluar dari kamarnya dan melangkah menuju dapur. Dilihatnya Diana tengah sibuk mencuci piring. Hanum berjongkok di samping Diana bermaksud mengambil spons untuk menyabuni piring-piring kotor itu. "Tidak usah. Kamu ajari saja si Reina," tolak Diana bernada ketus. Dia menjauhkan wadah berisi cairan sabun dari jangkauan tangan Hanum. "Kak, aku cuma mau membantu. Tadi aku benar-benar izin mau shalat, bukannya menolak disuruh cuci piring," jelas Hanum. "Sama saja. Jadi wanita itu harus rajin, Hanum. Tidak baik menunda-nunda pekerjaan. Nanti kamu akan dianggap p
Bab 34) Kamu Mengundangku, Hanum?Tubuhnya seketika gemetar. Hanum mundur beberapa langkah, mengamati setiap sudut ruang sempit ini. Dia pun sangat terkejut saat melihat meja pendek yang biasa ia gunakan untuk meletakkan alat pemipih adonan tampak berada di salah satu sudut. Demikian juga kompor, wajan penggorengan besar, baskom plastik besar tempat ia biasa mengaduk adonan serta beberapa alat yang lain. "Jadi Mama menyembunyikan barang-barangku di sini?" gumamnya. Di benaknya kembali terbayang peristiwa lebih dari sebulan yang lalu saat ia mendapati barang-barangnya tidak berada ditempatnya.Hanum tidak pernah menyangka jika ternyata Zainab pun terlibat. Buktinya benda-benda ini ada di rumah Zainab, di ruang penyimpanan.Tak ingin terlalu keras berpikir, akhirnya Hanum segera mengambil setumpuk piring, kemudian segera keluar dari ruangan itu seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tidak ingin terjadi keributan di momen lebaran ini. Hanum akan menunggu waktu yang tepat dan tetap bersabar u
Bab 35) Ada Yang Bisa Kakak Bantu?"Mana mungkin aku membiarkan tubuhmu kotor dan penuh lumpur sawah, Sayang?" Fahri membelai rambut istrinya yang sedikit lembab lantaran berkeringat usai percintaan panas barusan. "Sebagai lelaki, suamimu, aku tidak sekejam itu. Seorang lelaki yang baik akan memperlakukan istrinya dengan menyesuaikan kebiasaan dan cara hidup sang istri di masa gadisnya, di saat dia masih berada dalam pengasuhan kedua orang tuanya. Berhubung kamu memang tidak pernah ke sawah, ya sudah. Aku juga tidak akan menyuruhmu bekerja di sawah.""Hanya saja, Mama tidak bisa diajak kompromi, Sayang. Akan sangat sulit memberi pengertian Mama akan hal ini. Jadi mengertilah," tekan Fahri.Hanum menghela nafas berat. Dia menggenggam tangan sang suami, memainkan jemarinya yang terasa sedikit kasar. "Justru karena aku mengerti, jadi aku tidak pernah memusuhi Mama. Aku menyayangi Mama seperti aku menyayangi Mama Filza. Aku hanya minta sedikit saja pengertian Mama. Mulutnya itu loh, Kak.
Bab 36) Mana Setoran Untuk Hari Ini, Hanum?Hanum sangat beruntung lantaran dulu ia tidak mengambil uang hasil penjualan kue kering putri sembunyi. Jadi ketika ia mengantar jualannya kembali, Hanum langsung mendapatkan uang. Wajahnya sangat cerah melihat lembaran uang kertas aneka warna yang kini telah berpindah tempat ke dalam tas coklat bertali panjang miliknya.Setelah mampir ke sebuah toko untuk membeli bahan-bahan yang akan ia gunakan untuk membuat kue kering putri sembunyi selanjutnya, Hanum langsung tancap gas menuju rumah."Mana setoran untuk hari ini, Hanum?" Ismah langsung menadahkan tangan ketika Hanum baru saja menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah."Setoran? Setoran apa, Ma?" Hanum tergagap."Ingat, Hanum. Motor yang kamu pakai untuk mengantarkan dagangan itu sebenarnya adalah milik Mila. Memang motor itu sudah tidak terpakai lagi, karena Mila sudah mendapatkan motor matic yang lebih baru, tetapi tetap saja motor itu milik Mila. Lalu jangan lupa, kamu melakukan pekerja
Bab 37) Kurangnya Aku Tu Apalagi Sih, Ma?"Kamu pikir aku membual?" Wanita tua begitu gampang tersulut. Pengalaman pahit di masa muda membuat hatinya keras. Seperti dulu ia di perlakukan oleh mertuanya, nenek Fahri, seperti itulah sikap yang ia tunjukkan kepada Hanum. Bahkan kata-kata yang terlontar barusan adalah kata-kata yang dulu ia dengar dari ibu mertuanya untuk menekan dan membuatnya tunduk.Dia memang tidak bisa membalas perlakuan menyakitkan ibu mertuanya, tapi ia berjanji dalam hati, menantu-menantunya harus merasakan apa yang pernah ia rasakan dulu. Makanya ia tak suka Hanum berdagang. Hanum sudah mendapatkan uang hasil pernjualan gabah tahun ini tanpa sedikitpun menjejakkan kakinya di lumpur sawah, bahkan itu mengurangi jatahnya, yang seharusnya Ismah dapatkan seperti tahun-tahun yang lalu. Lha, sekarang Hanum berdagang pula. Penghasilannya menjadi double. Tetap dapat nafkah dari suami dan mendapatkan uang tambahan dari hasil jualan. Baginya ini tidak adil. Sebagai ist
Bab 38) Di Rumah Bunda Nia"Lho, kok cuma dua porsi? Harusnya kan empat. Buat Mama dan Mila mana?" Lelaki itu langsung protes saat mengeluarkan dua porsi nasi campur dari dalam kantong kresek."Emang cuma dua porsi, Kak," jawabnya sembari meringis. Dia membeli makanan itu cuma untuk coba-coba saja, testi rasa. Seharusnya Hanum memang memasak siang ini, tapi moodnya langsung hancur akibat ulah ibu mertuanya."Lauknya itu ukuran jumbo, Kak. Satu porsi untuk berdua. Gini aja deh. Gimana kalau aku bikin telur dadar buat variasi lauk? Kakak mau?" tawar Hanum sembari melangkah dengan sebuah mangkok besar di tangannya. Dia mengambil nasi dari magic jar, lalu meraih satu toples kerupuk udang."Boleh juga. Telor dadar kan cepat," ujar Fahri. Lelaki itu mengambil tiga buah gelas di rak, lalu mengisinya dengan air putih.Hanum membuka kulkas, mengambil dua butir telur dan daun bawang. Wanita itu memecahkan telur di sebuah mangkuk, membubuhinya dengan bubuk bawang putih, garam, penyedap rasa dan
Bab 39) Aku Bukan Intan, Bun Hanum menatap wajah tua di depannya dengan pandangan horor. "Darimana Bunda tahu soal kakekku?" Lagi-lagi tangan keriput itu mengusap kepala Hanum. "Apakah kamu lupa jika Bunda Nia ini berasal dari daerah dan kabupaten yang sama denganmu?" Wanita tua itu balas menatap Hanum. "Iya, Bun." Hanum tertunduk lemah. Wajahnya terlihat sedikit memerah. Warga kampung Bangun Jaya yang menjadi tempat tinggal Hanum sekarang, kebanyakan berasal dari kaum pendatang, termasuk bunda Nia dan keluarganya. Mereka terdiri berbagai daerah dan suku, membaur dengan indah, seiring sejalan dengan tetap merawat adat istiadat dari tempat asalnya masing-masing. "Siapa sih yang tidak mengenal almarhum kiai Hasan, sosok ulama sederhana yang tidak pernah mau menonjolkan diri? Kamu mewarisi sifat dari kakekmu, Nak," ujar wanita tua itu. Hanum merengkuh tangan keriput itu dan menciumnya kembali. "Tolong jaga rahasia ini baik-baik. Aku tidak mau ada yang tahu soal ini. Aku malu, Bun.
Bab 40) Perkara Amplop "Ustadzah Hanum...." Hanum menyalami ibu Murni yang menyambut kedatangannya di teras rumah, lalu mencium punggung tangan perempuan setengah tua itu. "Silahkan masuk, Ustadzah, Bu Ismah," ajaknya seraya menggandeng tangan Hanum masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan para wanita berkerudung. "Loh, ini ada acara apa, Bu Murni?" tanya Ismah. Dia kaget tatkala melihat sebuah bantal di letakkan di depan menghadap kerumunan ibu-ibu. "Memang ada sedikit tambahan acara, Bu. Hari ini yasinan dan pembacaan manaqib Sayyidah Khadijah Al Kubra. Kebetulan saya ada nazar. Ustadzah Hanum yang mengisi acaranya," jawabnya. "Hanum?" Langkah Ismah seketika tertahan. Dia menatap Hanum yang tersenyum samar balas menatapnya, tetapi hanya sekilas. Hanum kembali meneruskan langkah menuju depan dan duduk di tempat yang sudah disediakan di samping bunda Nia. "Bunda saja yang memimpin membaca surah Yasin. Aku kebagian membaca manaqib saja ya," tawar Hanum saat perempuan tua