"Mbak, kenapa kamu jadi menyalahkan aku? Mbak Rosi gak ingat, bukankah dulu, Mbak Rosi juga ikut mendukung perselingkuhanku dengan Lastri? Apa Mbak Rosi sudah lupa?" tanyaku penuh penekanan.Aku tak terima jika Mbak Rosi hanya menyalahkan aku semata. Seolah hanya aku saja yang bersalah. Padahal jelas, ia dan Ibu juga terlibat dalam perselingkuhanku. Bahkan, Ibu dan Mbak Rosi yang menyuruhku untuk menceraikan Alma. Padahal sebenarnya, meskipun aku dulu selingkuh dengan Lastri, aku tak ada niat untuk menceraikan Alma.Karena Ibu dan Mbak Rosi selalu mengompor-ngomporiku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengusir dan menceraikan Alma. Meskipun penampilan Alma buruk rupa, tetapi aku masih memiliki perasaan padanya. Aku sebenarnya tak tega, sebab berkat Alma lah aku bisa sukses seperti sekarang ini.Jika membicarakan tentang karma, itu juga bukan sepenuhnya kesalahanku. Bisa jadi, karma itu datang karena ulah Mbak Rosi sendiri. Sebagai sesama wanita, harusnya Mbak Rossi tahu bagaimana
"Apa Ibu tahu Adit sial*n itu sekarang ada di mana?""Ibu gak tahu, tadi warga sekitar rumah kita sempat mengamankan dia. Ibu hanya fokus membawa Rossi ke rumah sakit karena kamu bisa lihat sendiri bagaimana kondisi Rossi saat ini," jelas Ibu."Ya sudah, Bu, kalau begitu aku mau pulang sekarang. Aku mau cari si Adit sampai dapat!" kataku kesal."Iya, Wijaya. Tapi sebelum kamu pulang, tolong kamu bayar dulu biaya administrasi rumah sakit. Ibu gak ada uang banyak," kata Ibu."Iya, Bu. Ya sudah, nanti aku mampir dulu ke kasir. Ibu bisa kan jagain Mbak Rossi sendirian? Kalau ada apa-apa, Ibu langsung hubungi aku saja," kataku."Iya, Ibu bisa kok.""Ya sudah, aku pulang dulu, Bu.""Iya, kamu hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setelah pamit pada Ibu, aku segera berjalan ke kasir untuk membayar biaya administrasi perawatan Mbak Rossi. Setelah selesai, aku segera menuju parkiran rumah sakit untuk pulang ke rumah.Isi kepala ini rasanya begitu panas, belum puas rasanya jika belum memberi pelajara
POV AlmaAku merasa iba dengan keadaan Mbak Rossi yang terlihat babak belur karena dipukuli Mas Adit. Aku tak menyangka, Mas Adit begitu tega melakukan itu pada istrinya sendiri. Sebab yang kutahu, Mas Adit tipe pria yang pendiam dan tak banyak bicara. Dan setahuku, Mas Adit juga termasuk pria baik yang tak pernah membuat ulah.Aku juga merasa terkejut, ketika mendengar kasak-kusuk dari warga sekitar yang membicarakan bahwa Mas Adit selingkuh. Aku tak tahu berita itu benar atau tidak, tapi yang jelas, aku sangat terkejut. Tak sangka, diam-diam Mas Adit berselingkuh di belakang Mbak Rossi. Entah aku harus merasa iba, atau malah justru sebaliknya. Aku merasa, ini adalah sebuah karma yang diterima oleh Mbak Rossi.Aku jadi teringat akan kejadian masa lalu, dimana Mbak Rossi dan mantan ibu mertua mendukung perselingkuhan Mas Wijaya dan Lastri. Hatiku sangat hancur dan terluka saat itu atas ulah mereka semua. Dan kini, Mbak Rossi juga merasakan bagaimana sakitnya diselingkuhi. Bedanya, Mas
"Mas Adit yang tadi pagi sempat mukuli istrinya loh, Na. Itu namanya Mas Adit, kalau istrinya namanya Mbak Rossi," jawabku."Oh, saya gak kenal kok, Bu.""Saya pikir, kamu kenal. Kasian ya, Na, Mbak Rossi sampai dipukuli dan dianiaya seperti itu. Kalau saya jadi Mbak Rossi, sudah pasti saya akan laporkan Mas Adit ke polisi. Biar dia dipenjara sekalian!" kataku dengan nada kesal."Di-dipenjara, Bu? Apa mungkin bisa?" tanya Nana seolah penasaran."Ya bisa dong, Na. Itukan udah masuk pasal KDRT dan penganiayaan. Mereka kan masih suami istri. Apalagi, saksinya juga banyak kan? Saya kesal deh, Na," jawabku."Apa kemungkinan besar Mas Adit akan dipenjara kalau sampai Mbak Rossi melaporkan Mas Adit ke polisi, Bu?""Tentu saja.""Lalu, bagaimana caranya supaya Mas Adit gak dipenjara, Bu?""Ya itu tergantung Mbak Rossi lah, Na. Kalau dia mau berdamai dengan Mas Adit dan tidak melaporkan kasus ini ke polisi, Mas Adit akan aman. Tapi saya gak yakin, Na, kalau Mbak Rossi mau berdamai. Apa lagi, M
Aku segera berjalan ke depan toko ketika Nana telah masuk ke dalam rumah. Dan duduk di kursi yang berada di depan toko. Dari sini, aku bisa memantau dan melihat Nana saat keluar dari rumahku nanti. Setelah memastikan Nana keluar dari rumah, barulah aku akan mengikutinya. Lima belas menit kemudian, Nana terlihat keluar dari pagar rumahku. Nana terlihat sudah rapi menggunakan celana jeans panjang yang dipadukan dengan kaos berwarna putih dengan sweater tipis berwarna pink cerah. Aku berpura-pura bermain ponsel, seolah tak memperhatikan Nana. Setelah Nana mulai berjalan, barulah aku segera masuk untuk menutup toko dengan cepat.Setelah itu, aku segera menyambar kontak mobilku dan berjalan dengan tergesa ke luar rumah. Aku harus bisa keluar secepat mungkin agar tak kehilangan jejak Nana. Setelah mengunci pintu rumah dan pintu pagar, barulah aku segera mengendarai mobil yang kini sudah berada di depan rumahku. Tepat saat mobilku tiba di ujung gang arah rumahku, Nana terlihat baru masuk ke
"Permisi, Bu," ucapku pada pemilik warung yang sedang menata jajanan di depan warungnya. Pemilik warung itu seorang ibu-ibu paruh baya yang wajahnya terlihat teduh."Oh, iya, ada apa ya, Mbak?" tanyanya ramah."Maaf, saya mau tanya, apa Ibu tahu rumah Pak RT?" tanyaku sopan."Oh iya, Mbak, kebetulan ini rumah Pak RT. Saya istrinya. Tapi ngomong-ngomong, ada perlu apa ya, Mbak? Sepertinya, Mbak ini bukan warga sekitar sini?" tanyanya bingung."Iya, Bu. Saya memang bukan warga sini. Perkenalkan, saya Alma. Saya ingin tanya, apa Ibu tahu rumah kecil bercat biru itu milik siapa?" tanyaku sambil menunjuk rumah yang di dalamnya dihuni oleh Mas Adit dan Nana. Jarak dari sini ke rumah itu hanya berselang tiga rumah saja."Oh iya, Mbak, kebetulan rumah itu milik saya dan suami saya. Dan sekarang lagi dikontrakkan. Dan yang menempati rumah itu namanya Mas Adit, Mbak," jawab Bu RT.Benar dugaanku, pria itu memanglah Mas Adit. Tetapi, untuk apa ia mengontrak di rumah itu? Apa itu salah satu tempa
"Kamu yakin mau kembali ke sana lagi, Nduk?" Ibu bertanya dengan ragu.Aku menutup mataku, mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan. Kembali membuka mata dan menatap wajah Ibu. Kami berdua saat ini sedang duduk di gubuk pinggir sawah, menikmati makan siang yang sengaja aku bawa untuk Ibu."Yakinlah, Bu. Masa lalu itu terbayang-bayang terus. Rasanya belum lega dan ikhlas kalau belum bisa memberikan pembalasan pada mereka semua," jawabku penuh keyakinan.Ibu mendesah panjang. "Ibu udah gak bisa lagi mencegah kamu. Ibu harap, kamu gak melakukan sesuatu yang ujungnya bisa membahayakan diri kamu sendiri, Nduk. Ibu takut, kamu malah yang nantinya bisa dalam bahaya kalau mereka sadar dengan niat buruk kamu.""Ibu tenang saja, aku gak mungkin bertindak gegabah. Aku sudah siapkan banyak rencana. Semua sudah aku susun dengan rapi dan cantik. Jadi, Ibu gak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri, Bu.""Iya, Nduk. Ibu hanya bisa mendoakan kamu. Semoga, Allah melindungi setiap lang
"Kok kamu malah jadi marahin aku sih, Mas!" Lastri bicara dengan nada tinggi. Wajahnya merah, mungkin ia merasa malu sekaligus marah.Wanita mana yang tak malu diperlakukan kasar seperti itu oleh suaminya sendiri? Dan yang lebih menyakitkan, di depan mantan istri suaminya yaitu diriku. Aku tetap berusaha setenang mungkin menyaksikan drama ini."Lastri! Kamu ini apa-apaan sih? Sama suami kok gak ada sopan-sopannya. Ngomong pakai teriak-teriak. Gak malu kamu!" Kini giliran mantan Ibu mertua yang memarahi Lastri. Bertambah merah padam saja wajah Lastri saat ini. Apalagi, mantan Ibu mertua bicara dengan nada ketus."Kok Ibu malah jadi ikut-ikutan Mas Wijaya sih? Ibu gak ingat, bukankah, Ibu dulu sangat membenci Alma?!""Jaga mulut kamu ya, Lastri! Jadi perempuan kok bawel banget. Suka-suka Ibu dong. Sana masuk!" Ibu berkata dengan marah dan malah mengusir Lastri untuk masuk ke dalam rumah."Keterlaluan! Kenapa kalian jadi bersikap begini hanya gara-gara kedatangan wanita tak tahu malu ini