“Apa ini semacam Ibu Peri dan Cinderella?” Sebelum masuk ke ruang ganti, Flora menoleh ke arah Abraham yang berdiri bersedekap dengan tampang tanpa minat.“Kamu mulai melantur.” Abraham menjawab dengan nada tak acuh.Flora berdecak masam. “Pasti di mata Bapak saya terlihat seperti upik abu kumal yang perlu sihir modern agar layak dilihat. Saya juga punya baju bagus di rumah, tidak perlu buang-buang uang seperti ini.”Mereka sedang ada di butik—tempat yang sama seperti saat Flora bereksperimen dengan melakukan kombinasi aneh terhadap pakaian Abraham, bahkan pegawai yang melayani mereka juga masih sama. Awalnya Flora berpikir ini semacam pembalasan dendam, namun dress yang diberikan padanya sekarang tampak sangat menawan.“Anggap saja sebagai investasi untuk setidaknya tiga tahun ke depan. Setiap kali saya butuh bantuan kamu lagi, pakai itu saja. Kamu mendapat baju baru, saya juga mendapat keuntungan karena jasa kamu. Kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.”Mulut Flora terbuka sepa
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
“Ini aku sedang bersiap-siap pulang, Flo. Sebentar lagi check out dari hotel.” Ponsel yang tertempel di telinga Sakha menyalurkan suara istrinya di seberang sana. Sesekali Sakha mengangguk—meski istrinya tidak bisa melihat gerakannya, dua-tiga kali menyahut pendek. “Hm? Tentu saja aku sudah membelikannya. Keripik belimbing dan puding nasi hitam—heuk.” Sakha tersentak kaget saat dasinya dinaikkan dengan kasar, seperti ingin mencekiknya. Dia meneguk saliva pelan, sebelum tangannya terangkat untuk mengusap rambut seseorang di depannya. Seseorang berambut sepunggung itu memutar kedua bola matanya, lantas menyentakkan tangannya dari dasi sembari mendorong dada Sakha pelan, mengurungkan niat untuk menyelesaikan ikatan dasi. Wajahnya tertekuk, sorot matanya sarat akan kekesalan. Situasi ini benar-benar terasa begitu menyebalkan baginya. “Bersabarlah sebentar lagi.” Sakha berucap tanpa suara, menatap memelas pada wanita di depannya, sementara istrinya di seberang sana masih bicara tentang
Tangan Sakha meraba dinding, mencari sakelar lampu setibanya di rumah. Sedetik, ruang tamu memperlihatkan wujudnya ketika lampu besar yang menggantung di langit-langit ruangan memancarkan sinarnya. Mata Sakha menyapu ke segala penjuru, kesunyian di rumah itu memberi kesan tidak adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Berapa kali pun dia memanggil nama istrinya, tetap tidak ada jawaban. Menyerah, menerka jika Flora sedang ada urusan di luar, Sakha dengan langkah gontai mulai menaiki anak tangga. Di lantai dua, sekali lagi Sakha menekan sakelar lampu. Byar! Ruangan terang seketika, juga Sakha yang terlonjak dari tempatnya berdiri, berseru tertahan. Lihatlah, di pojok ruangan, Flora berjongkok dengan kepala tertunduk dalam. Lengannya menopang kepalanya yang seakan tenggelam. Tidak bergerak, pun terlihat amat suram. “Flo ...? Hei, ada apa?” Perlahan Sakha mendekati istrinya, berusaha menyentuh pundaknya hingga sebuah pergerakan dari Flora membuatnya tersentak. Flora menghindari sentuhan
“Flo, ayo makan lebih banyak. Wajahmu pucat sekali.” Sakha menghela napas, menatap Flora khawatir. “Sudah seminggu kamu seperti ini. Sebenarnya bibimu mengatakan apa hingga membuatmu begini, Flo?” Pertanyaan Sakha sama sekali tidak mengalihkan pandangan Flora dari bubur ayam yang sejak tadi terus diaduknya tanpa minat. Sorot mata, raut wajah, semuanya terlihat hampa. Setengah nyawa Flora seperti dicerabut dengan paksa. “Apa ... eh, apa bibimu mengatakan yang tidak-tidak mengenai ayahmu? Atau ibumu?” Hati-hati Sakha melontarkan pertanyaan sensitif itu, khawatir menyinggung perasaan istrinya. Flora mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sakha tanpa ekspresi, lantas berucap, “Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit kurang enak badan.” Selain seperti kehilangan semangat, yang membuat Sakha semakin khawatir adalah perubahan sikap Flora yang menjadi dingin terhadapnya. “Ayo kita ke dokter kalau begitu.” “Kamu mau membawaku ke dokter terbaik?” Flora melemparkan pertanyaan disertai seringan tipis.
“Ikuti mobil itu, Pak.” Flora berucap pelan pada supir taksi ketika melihat mobil Sakha melintasi jalan keluar restoran. Sejak keluar dari rumah sakit setengah jam yang lalu, Flora langsung menghubungi sekretaris Sakha, Briana, untuk menanyakan keberadaan suaminya. Briana mengatakan Sakha sedang makan di sebuah restoran setelah seharian berkutat dengan dokumen dan berkas. Dan kini Flora yang telah sampai di restoran yang dimaksud Briana, melihat mobil Sakha yang tidak menuju kembali ke perusahaannya, melainkan berbelok ke arah yang berlawanan. “Jangan sampai kehilangan jejak, Pak. Saya akan bayar lebih.” “Siap, Mbak!” Supir taksi berseru bersemangat, semakin dalam menekan gas mobilnya. Meskipun terpaut tiga mobil dari mobil Sakha, ditambah jalanan yang merayap, supir taksi itu benar-benar bisa diandalkan. Lima puluh menit yang mendebarkan bagi Flora, mobil Sakha terlihat berbelok ke sebuah taman hiburan. Supir taksi ikut berbelok beberapa saat setelahnya, mencoba mengambil jarak a
“Flora! Astaga, aku menghubungimu puluhan kali.” Raut cemas Sakha menjadi pemandangan pertama Flora ketika pria itu menginjakkan kaki di rumah, masih dengan pakaian kerja. Dia buru-buru berjalan mendekat hingga tampak jelas wajah kusutnya. Flora menyunggingkan senyum tipis, sebelum berucap, “Maaf membuatmu khawatir. Aku tadi kurang enak badan sehingga pergi ke klinik terdekat.” “Eh, sekarang bagaimana? Masih sakit?” “Tidak, aku tidak apa-apa sekarang.” Flora menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dia tiba-tiba merasa mual. Tingkah Sakha, wajahnya, pun aroma parfumnya membuat Flora muak setengah mati. “Kamu kelihatan lelah, Mas. Ayo biar aku buatkan kopi.” “Ide bagus!” Melangkah menuju dapur, Flora menyembunyikan tangannya yang bergetar. Begitu pun saat dia mengambil gelas, menuangkan kopi, Flora mati-matian menjaga agar tangannya terlihat stabil sembari melemparkan pertanyaan, “Ah, Ayah bagaimana?” “Tidak parah. Dokter bilang dua-tiga hari lagi sudah boleh pulang.” Sakha memej