"Ziva, bagaimana perasaanmu hari ini? Apakah tanganmu masih sakit?" Esok harinya di kampus, Ziva berjalan ke kelas dengan tangan yang masih diperban. Begitu memasuki kelas, dia langsung disambut oleh Leon yang sudah menunggunya di meja. Ziva sontak tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Leon. Terima kasih sudah membawaku ke rumah sakit kemarin." Leon terus memperhatikan Ziva sepanjang hari, memastikan dia tidak terlalu kesulitan dengan tangan yang diperban. Raka, yang biasanya selalu memperhatikan gerak-gerik Ziva, kini mulai merasa segan terhadap Leon setelah insiden di toilet kemarin. Namun, dia masih memantau dengan hati-hati, meskipun dari kejauhan. *** Saat pulang dari kampus, Ziva kesulitan menaiki sepeda karena tangannya yang masih terluka. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjalan kaki pulang. Leon yang melihat Ziva berjalan kaki, segera memarkir mobilnya di dekatnya dan memaksa untuk membawanya pulang. "Ziva, biarkan aku mengantarmu pulang. Kau tidak perlu berjalan kaki d
Hari berikutnya di kampus, suasana terasa lebih santai. Di kafetaria, Ziva duduk sendirian dengan segelas kopi di tangannya. Dia sedang merenung ketika Leon mendekatinya dengan senyum lebar."Ziva, aku punya sesuatu untukmu," kata Leon sambil duduk di sebelahnya. Dia mengeluarkan sebuah kartu undangan khusus dari sakunya dan memberikannya kepada Ziva.Ziva mengambil kartu itu dengan rasa penasaran. "Apa ini, Leon?""Besok adalah ulang tahunku, dan aku ingin mengundangmu ke pestaku. Akan ada banyak teman dan keluarga. Aku harap kau bisa datang," kata Leon dengan penuh harap.Ziva membuka kartu undangan itu dan membaca isinya. "Terima kasih, Leon. Aku akan mencoba datang."Leon tersenyum puas. "Aku senang mendengarnya. Aku akan memastikan ini menjadi malam yang tak terlupakan."Namun, di sudut lain kafetaria, Raka melihat obrolan antara Leon dan Ziva dengan tatapan penuh dendam. Dia merencanakan sesuatu untuk merusak pesta ulang tahun Leon, merasa bahwa ini adalah kesempatan sempurna u
Di sisi lain kampus, Raka berkumpul dengan Dom, seorang perempuan bernama Sari, dan seorang laki-laki bernama Ardi di sebuah kafe yang sepi. Mereka duduk di meja sudut, berbicara dengan suara rendah sambil menyusun rencana untuk merusak pesta ulang tahun Leon."Jadi, ini rencananya," kata Raka sambil membuka peta mansion Leon yang besar di atas meja. "Pesta akan diadakan di halaman belakang mansion. Kita harus mencari cara untuk masuk tanpa terdeteksi."Dom menyeringai, menambahkan, "Aku sudah mendapatkan beberapa alat untuk membuat kerusakan. Kita bisa merusak sistem suara dan lampu sehingga pestanya kacau. Aku juga siapkan asap buatan biar pesta itu menjadi ricuh seperti kebakaran."Sari, yang memiliki keterampilan dalam teknologi, berkata, "Aku bisa meng-hack sistem keamanan mereka. Begitu kita masuk, aku akan memastikan kamera pengawas tidak menangkap kita."Ardi, yang memiliki fisik kuat, menambahkan, "Dan kalau ada masalah, aku yang akan menangani keamanan. Kita akan memastikan t
Di sisi lain, Raka, Dom, Sari, dan Ardi sedang menyelinap ke area belakang mansion, membawa beberapa kaleng asap bohongan. Raka memberi isyarat kepada yang lain untuk bersiap. "Begitu kita menyalakan asap ini, pesta Leon akan hancur berantakan," bisik Raka dengan penuh dendam. Setelah Sari sudah melakukan tugasnya, Dom sudah menyabotase sistem suara, mereka lalu menyalakan kaleng-kaleng asap dan menyebarkannya di sekitar halaman belakang. Asap mulai memenuhi udara, membuat para tamu panik dan mulai berlarian mencari jalan keluar. Ditambah suara sirine yang langsung menggema di telinga seluruh tamu undangan. Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Asap yang semula hanya untuk membuat kekacauan, berubah menjadi api yang cepat menyebar. Pesta berubah menjadi kekacauan penuh, dengan para tamu berteriak dan berlari menyelamatkan diri. Ziva yang berada di tengah-tengah kerumunan, berusaha kabur dari kebakaran. Saat itu, dia melihat Leon yang sedang berusaha mengendalikan situasi, seme
"Leon! Hentikan!" teriak Ziva, berusaha menarik perhatian Leon.Leon menoleh sejenak, cukup untuk membuat Raka memanfaatkan kesempatan itu. Raka melompat ke arah Leon dan berhasil menjatuhkannya ke tanah. Mereka bergulat dengan keras, debu beterbangan di sekitar mereka.Anak buah Leon mencoba menarik Raka, tapi Ziva menerobos mereka dengan kekuatan dan tekad yang tak terbendung. "Berhenti! Ini tidak akan menyelesaikan apa-apa!" teriaknya dengan suara yang penuh dengan kepanikan.Melihat Ziva menerobos masuk, tanpa aba-aba salah satu pria dengan tubuh kekar itu memukul bagian perut Ziva lantas mendorongnya hingga tersungkur ke atas tanah.Sontak, seluruh pandangan tertuju pada Ziva."Ziva!" teriak Leon panik. Ia segera melepas cengkeramannya pada leher Raka. Raka yang setengah sadar itu melihat dengan lemah dengan luka lebam di sekujur tubuhnya. Ia juga tersungkur di atas tanah.Leon bangkit lalu memberi satu pukulan mentah pada anak buahnya saat setelah ia membantu Ziva berdiri. Ia la
Hari Valentine tiba, dan suasana di kampus dipenuhi oleh nuansa romantis. Bunga mawar dan kartu ucapan bertebaran di mana-mana. Di kafetaria, Ziva duduk sendiri, tenggelam dalam buku catatannya, menulis sesuatu dengan penuh konsentrasi.Raka, yang sudah lama menyukai Ziva, mendekatinya dengan hadiah Valentine di tangannya. Dia tampak gugup namun bertekad. Namun, saat dia hampir sampai di meja Ziva, dia melihat Leon sudah berada di sana. Leon memberi Ziva sebuah kotak kecil yang berisi kalung perak berukir indah.Ziva terlihat terkejut dan tersenyum kecil. "Terima kasih, Leon. Ini sangat cantik."Leon duduk di depan Ziva, mengobrol dengan penuh perhatian. Mereka tertawa bersama, dan Raka yang melihat itu merasakan kemarahan dan kekecewaan meluap dalam dirinya.Tanpa berkata apa-apa, Raka berbalik dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Di sana, dia hendak membuang hadiah Valentine yang ia persiapkan untuk Ziva. Namun, saat dia masuk, dia mendengar suara pertengkaran dari salah satu bili
Pagi itu, Dom dan Celine berangkat ke desa dengan mobil. Perjalanan panjang itu diselimuti keheningan, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Dom mencoba menenangkan Celine, meski dirinya sendiri merasa gugup. "Tenang saja, Celine. Semua akan baik-baik saja," ujar Dom sambil menatap jalanan di depannya. Setelah perjalanan yang cukup jauh, mereka akhirnya sampai di desa. Karena mobil tidak bisa masuk ke jalan kecil menuju klinik, mereka harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Matahari sudah mulai tinggi, membuat mereka berdua merasa panas dan lelah. "Aku haus, Dom," keluh Celine dengan suara lemah. Dom mengangguk dan melihat ke sekeliling. Dia melihat sebuah kios kecil yang menjual jus buah. "Tunggu sebentar, aku akan membelikanmu jus." Dom mendekati kios itu dan memesan dua gelas jus naga. Penjualnya, seorang wanita tua dengan senyum ramah, mulai memblender jus tersebut. "Jus naga dua, Bu," kata Dom sambil mengeluarkan beberapa lembar uang. "Segera, Nak," jawab penju
Beberapa hari setelah kejadian di rumah Raka, Ziva sedang bersiap-siap pergi ke kampus. Saat hendak keluar rumah, ia melihat sebuah hadiah yang tergeletak di dekat pot bunga. Ziva memungutnya dan membuka surat yang terikat rapi di atasnya. **Surat dari Raka:** *Untuk Ziva Determine, Ziva, sejak pandangan pertama, kau sangat cantik secantik bunga ini. Maaf aku tidak bisa memberikannya secara langsung. Selamat valentine Ziva. Raka.* Ziva tersenyum kecil membaca surat itu. Ada rasa hangat di hatinya, namun ia cepat-cepat menyadari bahwa ia tidak boleh larut dalam perasaannya. Ia memasukkan surat itu ke dalam tasnya dan melanjutkan perjalanan ke kampus. Pagi itu, kota tampak sibuk seperti biasa. Orang-orang bergegas dengan aktivitasnya masing-masing. Ziva berjalan melewati trotoar yang dipenuhi dengan pedagang kaki lima, lalu lintas yang padat, dan hiruk-pikuk kota yang tak pernah sepi. Sepanjang hari, Ziva mengikuti kuliahnya dengan tekun. Ia duduk di kelas, mencatat dengan saksam