“Ziva, ada apa?” tanya Raka sambil mengikuti langkahnya yang terburu-buru.Ziva tidak menjawab, hanya berlari mendekati barbershop. Ketika dia sampai di sana, dia melihat beberapa polisi menghalangi jalan masuk.“Tolong, saya harus masuk! Itu tempat paman saya bekerja!” teriak Ziva histeris.Seorang polisi mencoba menenangkannya. “Maaf, Nona. Ini tempat kejadian perkara. Anda tidak bisa masuk.”Namun, Ziva terus berontak dan akhirnya berhasil menerobos masuk. Dia terkejut melihat empat orang berpakaian seragam dengan logo beruang tergeletak bersimbah darah. Matanya kemudian tertuju pada seorang pria yang berpakaian kaos, yang dikenalnya sebagai teman Black D, juga terbaring tak bernyawa.Saat itulah pandangannya jatuh pada tubuh Black D yang tergeletak di lantai barbershop, dadanya penuh dengan lubang peluru. Ziva histeris, air matanya mengalir deras. Dia berlari ke arah Ziva, berlutut di samping tubuhnya yang tak bernyawa."Om! Om Bek!" teriak Ziva sambil mengguncang tubuh Black D. "
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela, tapi Ziva hanya merasa kehampaan. Suasana rumah terasa begitu sepi tanpa canda tawa Black D yang biasa mengisi setiap sudut ruangan. Setiap sudut rumah mengingatkan Ziva pada pamannya, dan itu membuat hatinya semakin berat.Ziva duduk di meja makan, melihat piring kosong di depannya. Air matanya kembali mengalir, mengenang saat-saat Black D selalu membuatkan sarapan untuknya. "Om Bek..." bisiknya lirih, seolah berharap pamannya bisa mendengarnya dari alam sana.Di tengah kesedihannya, Ziva teringat pada kunci yang ditemukan di tangan Black D. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan Black D darinya. Ziva kemudian mulai mencari gembok atau tempat lain di rumah yang mungkin cocok dengan kunci tersebut. Ia memeriksa setiap lemari, pintu, dan tempat tersembunyi yang mungkin ada, tapi tidak satupun yang cocok.Hari itu berlalu dengan Ziva yang terus berusaha mencocokkan kunci tersebut. Ia tidak menyerah, meskipun rasa frustasi mula
Beberapa hari kemudian, Ziva berusaha tegar menjalani hari-harinya. Meski duka masih menyelimuti hatinya, ia mencoba fokus pada pelajaran dan aktivitas di kampus. Leon dan Raka selalu menyemangati Ziva, memberikan dukungan agar ia bisa bangkit dari kesedihannya.Hari itu, kampus mengadakan seminar dengan tamu istimewa, yaitu ayahnya Raka, seorang pengusaha sukses di bidang tambang emas. Pak Rob, begitu ia dikenal, akan membagikan pengalamannya mengenai peran sosial seorang kaya dalam masyarakat.Aula kampus dipenuhi mahasiswa yang antusias mendengarkan Pak Rob. Ziva, Leon, dan Raka duduk di barisan depan. Pak Rob berdiri di atas panggung, wajahnya berseri-seri dengan karisma seorang pengusaha sukses."Selamat pagi, mahasiswa-mahasiswa hebat!" sapa Pak Rob, membuka pidatonya. "Saya merasa terhormat bisa berbagi pengalaman dengan kalian hari ini. Menjadi seorang pengusaha sukses bukan hanya soal meraih keuntungan, tetapi juga tentang memberikan kontribusi positif kepada masyarakat."Pak
Esok harinya, Ziva berusaha bersikap romantis pada Leon. Di kampus, ia memperlihatkan perhatian yang lebih dari biasanya. Saat mereka duduk di bangku taman, Ziva menatap Leon dengan mata penuh kasih sayang, meski dalam hatinya ia merasakan kebencian yang mendalam."Leon, kamu sudah makan?" tanya Ziva lembut, sembari memberikan sandwich yang ia bawa.Leon tersenyum, terkejut dengan perhatian Ziva. "Terima kasih, Ziva. Kamu sangat perhatian."Hari itu di kampus, mereka terlihat seperti pasangan bahagia. Ziva tertawa pada lelucon Leon, menggenggam tangannya saat mereka berjalan di koridor, dan tersenyum hangat setiap kali Leon berbicara. Semua orang yang melihat mereka berpikir bahwa mereka adalah pasangan yang sempurna.Malamnya, Leon mengajak Ziva makan di restoran mewah di kota. Saat Leon menjemputnya, Ziva tampil cantik dengan gaun hitam sederhana namun elegan. Leon, dengan setelan jas rapi, memandang Ziva dengan kagum."Kamu terlihat sangat cantik malam ini," kata Leon dengan nada t
Ziva membuka pintu rumahnya dengan lemas. Kehidupan tanpa Black D terasa semakin berat setiap harinya. Dia tidak pernah pandai memasak, dan tanpa kehadiran pamannya, tugas itu menjadi tantangan besar. Pagi ini, dia terpaksa memakan telur yang gosong karena dia kehabisan gas dan bahan makanan. Uang pesangon dari kematian Black D juga sudah hampir habis.Dengan tekad mencari solusi, Ziva pergi ke toko terdekat untuk membeli bahan makanan. Namun, ketika tiba di kasir, dia menyadari bahwa uangnya tidak cukup. Merasa malu dan putus asa, dia hampir meninggalkan barang-barangnya ketika seorang pria yang tidak dikenalnya datang dan membayar belanjaannya. Tanpa percakapan panjang, Ziva berterima kasih padanya.Pria itu sebenarnya adalah salah satu intel yang ditugaskan Raka untuk memperhatikan Ziva jika ia kesusahan, namun Ziva tidak menyadarinya. Dia sangat berterima kasih dan pulang dengan perasaan sedikit lega.Di dapur, Ziva kembali memasak. Namun, hasilnya tetap mengecewakan. Telur yang d
Ziva berjalan menyusuri jalanan kota dengan perasaan cemas. Ia memegang erat ijazah SMA-nya, berharap ada pekerjaan yang bisa mendukung kebutuhannya. Setelah berjam-jam mencari, ia akhirnya melihat sebuah toko roti kecil di sudut jalan. Papan nama toko itu berbunyi "Roti Surti".Ziva memasuki toko tersebut dan disambut oleh aroma roti yang baru saja dipanggang. Seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah berdiri di balik konter, terlihat sedang mengelap meja. Wanita itu tampak sudah memiliki anak, terlihat dari foto-foto keluarga yang terpasang di dinding."Selamat siang, Nak. Ada yang bisa dibantu?" tanya wanita itu dengan senyum hangat.Ziva mengangguk dan berkata, "Selamat siang, Bu. Nama saya Ziva. Saya sedang mencari pekerjaan. Saya ingin tahu apakah ibu membutuhkan bantuan di sini."Wanita itu memandang Ziva dengan perhatian. "Oh, tentu saja. Toko ini memang sepi akhir-akhir ini. Tapi, gajinya tidak seberapa, Nak."Ziva merasa lega mendengar tawaran itu. "Tidak apa-apa, Bu. Say
Beberapa hari setelah kunjungan Raka dan teman-temannya ke toko roti, bisnis Ibu Surti mulai menunjukkan peningkatan. Banyak pelanggan baru yang datang, tertarik oleh cerita tentang toko roti yang pernah dikunjungi oleh sekelompok pria muda yang ramah. Ziva bekerja keras membantu Ibu Surti, dan senyum lega sering terpancar dari wajah Ibu Surti melihat tokonya semakin ramai.Pagi itu, Ziva sedang sibuk di balik konter saat suara deru mobil mewah menarik perhatian semua orang. Leon turun dari mobilnya dengan elegan, mengenakan setelan yang rapi. Semua pengunjung toko roti terkesan dengan penampilannya.Leon masuk ke toko dengan senyum hangat. "Selamat pagi, Ziva. Ternyata kamu bekerja di sini," katanya sambil melihat sekeliling toko.Ziva tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaannya yang sebenarnya. "Selamat pagi, Leon. Iya, aku bekerja di sini sekarang."Tanpa basa-basi, Leon mengeluarkan kartu kreditnya. "Aku ingin membeli semua roti yang ada di toko ini," katanya dengan suara tegas
Di markas besar Bearpo, suasana mencekam memenuhi ruangan yang dipenuhi nuansa beruang. Patung-patung beruang dengan mata merah menyala menghiasi setiap sudut ruangan, sementara lampu redup memberikan kesan suram dan menakutkan. Di tengah ruangan, Brok Bearpo duduk di kursi besar dengan tongkatnya yang berlapis emas di tangan.Salah satu pengawal Brok masuk dengan cepat dan memberikan laporan. "Tuan, kami mendapat pesanan narkoba berjumlah besar yang akan dikirim ke Inggris," kata pengawal itu dengan suara tegas.Brok menghisap rokok mahalnya dan mengangguk. "Bagus. Siapkan semuanya dengan rapi. Panggil Leon sekarang."Leon dipanggil dan masuk dengan sedikit ragu. "Ada apa, Ayah?" tanyanya.Brok menatapnya tajam. "Leon, ada pengiriman besar narkoba ke Inggris. Kau yang akan mengantarnya."Leon terkejut dan mencoba menolak. "Tapi, Ayah, aku punya tugas skripsi yang harus diselesaikan. Aku tidak bisa pergi sekarang."Brok mengerutkan keningnya, tanda bahwa kesabarannya mulai habis. "Leo