Morgan segera menjauh dari jendela. Dia membawa Felisia bersamanya. “Aku akan mengeluarkan peluru yang bersarang di bahumu. Bertahanlah,” katanya. Dia lalu mengaktifkan energi murninya dan memusatkannya di tangannya. Dengan fokus tinggi, dia membedah luka tembak itu dan memasukkan dua jarinya ke sana. Felisia berteriak kesakitan, tapi hanya sebentar saja. Tak sampai lima detik, Morgan sudah berhasil mengeluarkan peluru tersebut. Yang dilakukan Morgan kemudian adalah menghentikan pendarahan dan menutupi luka. Dia pun melakukannya dengan cepat. Kali ini Felisia hanya sedikit meringis. “Kau baik-baik saja?” tanya Morgan, setelah selesai menutupi luka tembaknya Felisia. Felisia mengangguk. Matanya memancarkan ketakjuban. Bagaimana tidak? Morgan baru saja melakukan sesuatu yang menurutnya mustahil. Bahkan dokter bedah berpengalaman lulusan luar negeri pun belum tentu bisa melakukannya secepat itu, seefisien itu. “Kau bisa berjalan? Kita sebaiknya keluar dari ruangan ini,” kata M
Morgan menatap pria yang tengah duduk di mejanya itu dalam diam. Setelah meneguk minuman dalam gelasnya, pria itu berdiri dan balas menatap Morgan sambil menyeringai. Morgan telah menghajar lebih dari lima puluh anak buahnya di ruang utama bar tadi, tapi pria ini seperti tak sedikit pun peduli pada hal tersebut. “Ya, akulah Berry Si Serigala. Kau datang untuk menantangku bertarung?” kata pria itu, berdiri dan menyeringai. Morgan malas menanggapi kata-katanya. Sekarang setelah memastikan kalau pria inilah memang yang dicarinya, dia tak perlu mengatakan apa pun lagi. Biar tinjunya yang bicara. “Kenapa? Kau belum mau memulai?” tanya Berry, memberi isyarat kepada Morgan untuk maju. Dari gestur yang ditunjukkannya, pria itu tampaknya meremehkan Morgan. Tak seperti anak-anak buahnya, Berry tak sedikit pun terlihat cemas atau ketakutan berhadapan dengan Morgan. “Kau tahu, anak-anak buahku yang kau ampuni itu mengatakan kalau kau sangat kuat. Tadinya kupikir mereka berlebihan, tapi se
Meski Berry adalah pemimpin Seriala Hitam di lapangan, dia bukanlah orang yang memiliki organisasi mafia tersebut.Pemimpin Seriga Hitam yang sesungguhnya adalah seorang purnawirawan jenderal bernama BImo. Oleh Berry dan anak-anak buahnya dia dipanggil Bos Besar.Dan kini, Bimo menatap Berry dengan amarah yang menggila. Pria besar itu tengah menyeretnya ke dalam konflik yang tak pernah diinginkannya.“Bos Besar… kenapa kau menembakku…?” protes Berry, sambil meringis menahan sakit.“Kau masih bertanya, hah? Kau pikir siapa orang yang sedang kau hadapi ini? Statusnya bahkan lebih tinggi dari presiden! Kau tahu itu, hah?!” tanggap Bimo.Berry sungguh terkejut mendengarnya.Status Morgan lebih tinggi dari presiden? Lantas dia siapa?Siapa memangnya orang yang berada di atas presiden dalam sebuah negara?Apakah dia raja? Tapi negeri ini berbentuk republik, bukan kerajaan.Apa yang dikatakan Bimo benar-benar tak masuk akal di mata Berry.“Bos Besar, jangan bercanda. Orang ini memang kekuata
Tangan kanan Berry terputus dan terlempar begitu saja.Darah membanjiri lantai di bawahnya.Pemandangan ini membuat ngeri ratusan mafia Serigala Hitam yang berada di ruangan itu.“Aaaaarghhhh….!!!” Kembali Berry berteriak.Jika saja bar ini tak terletak di bawah tanah, teriakannya itu pasti sudah didengar oleh orang-orang di luar bar.“Aku sudah melakukan apa yang kau minta. Sekarang saatnya kau penuhi janjimu. Lupakan apa yang telah dilakukan anak-anak buahku padamu,” kata Bimo, menatap Morgan.Katana yang dipegangnya itu masih mengucurkan darah. Bimo lantas mengeluarkan sapu tangan untuk membersikannya.“Oke. Untuk kali ini, akan kuanggap tak pernah terjadi apa pun,” kata Morgan.“Tapi kalau sampai suatu hari nanti kalian macam-macam lagi, tak akan ada lagi ampunan dariku. Kalian akan hancur sampai menjadi debu,” lanjutnya.Bimo dan Morgan saling menatap satu sama lain, seperti dua jenderal bertemu di medan perang.Lalu Morgan tersenyum miring, dan berjalan dengan santainya.Para ma
Di kediaman Keluarga Wistara…Menjelang makan malam, empat anggota Keluarga Wistara berkumpul di teras belakang.Mereka adalah Henry, Robert, Joseph dan Melisa.“Aku tak mengerti. Bagaimana bisa proposal kita ditolak begitu cepat? Tidakkah mereka mempelajarinya terlebih dulu?” keluh Henry.Mereka tengah membahas proposal tender yang mereka ajukan ke Charta Group. Tadi siang, tiba-tiba saja, mereka dikabari pihak Charta Group bahwa proposal mereka ditolak.Dan tak ada penjelasan mendetail tentang penolakan tersebut. Itulah yang membuat Henry geram.Saking geramnya, dia sampai meminta Joseph yang tengah bertugas untuk pulang. Rapat keluarga jauh lebih penting ketimbang tugasnya sebagai aparat kepolisian.“Aku curiga ada sesuatu di balik ini semua, Pa. Proposal yang kubuat itu sudah sangat oke. Mestinya Wistara Group terpilih sebagai salah satu perusahaan yang boleh ikut serta dalam lelang proyek prestisius yang akan dilangsungkan Charta Group,” kata Robert.Memang Robertlah yang menyusu
Agnes terkejut dengan kemunculan Morgan.Bukankah tadi Morgan pergi untuk urusan pekerjaan? Apakah dia sudah selesai bekerja secepat ini?Melisa lebih terkejut lagi. Dan seiring terus mendekatnya Morgan, dia memosisikan dirinya di hadapan Agnes, sebagai perisai.“Apa yang baru saja kau lakukan di depan sana, Sialan?! Kau berulah lagi di area pribadi orang, hah?!” serang Robert, maju untuk mengadang Morgan.Berbeda dengannya, Joseph justru mundur. Dia lantas masuk ke dalam rumah.Sepuluh tamparan dari Morgan tempo hari masih membuatnya trauma. Dan dia ingat, dia masih utang 90 tamparan lagi.Morgan tidak ada urusan dengan Robert. Dia datang untuk bicara dengan istrinya.Tapi, tanpa menyingkirkan Robert, dia tak akan bisa melakukannya.Lalu harusah dia mematahkan tangan Robert seperti dia mematahkan tangan s
Sekitar jam delapan malam, di kediaman Keluarga Wistara…Orang-orang berkumpul di meja makan. Hidangan-hidangan mewah tersaji di hadapan mereka.Tapi belum seorang pun boleh menyantapnya. Mereka tengah menunggu kedatangan Arman Wiryaguna, tamu kehormatan mereka.Tadi Joseph telah menghubungi Arman via chat untuk memberitahukan soal Agnes yang telah pulih.Awalnya tak ada respons dari Arman, tapi setelah Joseph mengirimkan juga foto dan video yang menunjukkan sosok Agnes saat ini, barulah respons itu datang.Arman sempat bertanya apakah sosok itu sungguh-sungguh Agnes atau bukan, sebab bahkan sejauh yang dia ingat Agnes tak pernah terlihat secantik dan semenawan itu.Arman juga sempat mengancam akan memutus total hubungannya dengan Keluarga Wistara jika foto dan video itu hasil editan, sebelum akhirnya dia percaya dan bersedia datang memenuhi undangan Keluarga Wistara.Bagi Keluarga Wistara, khususnya Henry dan Joseph, kedatangan Arman malam ini sungguh penting.Henry membutuhkan Arman
"Agnes, jaga bicaramu! Jangan membuatku malu!" hardik Henry, yang kini juga berdiri. Kalau saja tak ada Arman bersama mereka, dia sudah menghampiri putrinya itu dan menamparnya. "Aku sudah muak, Papa! Aku sudah muak dijadikan alat oleh kalian! Aku sudah muak dipaksa berkorban untuk kepentingan kalian! Ini hidupku! Aku yang memutuskan apa yang kuinginkan!" bantah Agnes. Pembangkangan Agnes ini sungguh mengejutkan Keluarga Wistara. Terlebih lagi, dia berani mengutarakan protesnya kepada Henry langsung, di hadapan semua orang. Agnes tak pernah seperti ini sebelumnya. Dia adalah anak pemalu yang lebih memilih memendam ketidaknyamanannya ketimbang mengungkapkannya. Apa yang terjadi padanya, sampai-sampai dia memberontak seterang-terangan ini? "Agnes, aku minta kau menghormati tamu kehormatan kita. Dia menyempatkan diri ke sini, memenuhi undangan kita. Perbaiki sikapmu!" tegas Henry. Wajahnya memerah karena amarah. Rasa-rasanya dia tak pernah semarah ini sebelumnya kepada putrinya it