Pagi itu Intan masuk ke ruangannya dengan menahan rasa kesal. Sebagai adik kandung, Rudy tentu bisa membaca ekspresi wajah sang kakak. Ia mengikuti Intan ke ruangannya."Mbak sedang marah? Kenapa wajah Mbak muram seperti itu?" tanya Rudy.Intan menghela nafas dan menatap mata Rudy."Hampir saja Mbak berhasil merayu dan membuat Mas Tommy menceraikan istrinya, tapi rencana itu harus tertunda atau mungkin gagal," jawab Intan."Memangnya kenapa, Mbak? Apa Mas Tommy sadar dan masih mencintai istrinya itu?""Silvy ternyata sedang hamil. Mas Tommy menghubungi Mbak untuk mengatakan bahwa dia gak bisa menceraikan istrinya dalam waktu dekat.""Sabar, Mbak, jangan terburu-buru! Aku yakin cepat atau lambat rumah tangga Mas Tommy itu akan hancur. Orang seperti Tommy dan istrinya gak akan bisa menikmati hidup yang tenang.""Mas Tommy meminta aku sabar dan menunggu sampai istrinya melahirkan. Ia mempertahankan rumah tangganya demi anak itu. Tentu keturunan sangat penting baginya sebagai ahli waris k
Malam itu sebuah acara besar untuk para pengusaha digelar di sebuah hotel berbintang lima. Sepasang kekasih baru yang sangat ideal berjalan bergandengan tangan. Semua mata tertuju pada mereka dan mengakui kalau keduanya sangat serasi.Alex menggandeng tangan Caroline yang memakai gaun panjang berwarna hitam nan elegan. Alex sangat perhatian dan sabar menyesuaikan langkah kaki Caroline yang memakai sepatu hak tinggi.Penampilan Caroline bak putri cantik nan mempesona. Alex yang berjalan di sisinya tak kalah mencuri perhatian. Dengan setelan jas berwarna hitam, kemeja, dan dasi, ia berjalan gagah. Alex laksana pangeran tampan yang sigap menjaga dan mendampingi sang putri."Kamu sangat cantik, Sayang," bisik Alex pada Intan. Intan tersipu, lalu kembali menatap ke depan. Pujian dari Alex itu terus terdengar di telinganya. Alex sangat terpesona pada penampilan Intan.Di sudut ruangan megah itu, Tommy hanya bisa menahan rasa kesal dan mengepalkan tangannya. Tak mungkin ia menunjukkan rasa
Intan terkejut karena Darren tiba-tiba masuk ke dalam kamar saat ia sedang menerima telepon dari Tommy. Ia langsung mematikan telepon itu dan meletakkannya di atas nakas.Intan sempat merasa cemas, takut jika Tommy akan curiga dan sempat mendengar suara Darren. Namun melihat wajah Darren memerah dan ia hampir menangis, Intan merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia tahu ada yang lebih penting saat ini. Darren membutuhkan pelukan dari mamanya.Intan sering dilanda rasa bersalah, karena tidak bisa selalu berada di sisi Darren. Selain harus bertumbuh tanpa sentuhan kasih seorang papa, Darren juga harus mengerti kalau sang mama harus membagi waktu untuk bekerja."Darren kenapa, Sayang? Mau bobok sama Mama?" Intan membuka kedua tangannya. Darren tertunduk lesu dalam pelukan Intan. Intan meraba kening Darren yang ternyata terasa panas."Kamu demam, Sayang. Ayo, Mama ukur dulu suhu badanmu!" Intan menggendong Darren menuju kamarnya. Ia mengambil termometer di lemari Darren. Ternyata suhu tub
Tommy mendengus kesal dan melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur. Sikap Caroline yang mengacuhkannya membuat Tommy semakin merasa penasaran."Siapa sebenarnya anak kecil yang memanggil Caroline dengan sebutan mama? Apa mungkin Caroline pernah menikah sebelumnya?" gumam Tommy pagi itu. Ia masih enggan beranjak dari tempat tidurnya.Silvy masuk ke kamar dan menatap Tommy dengan bingung."Mas, kamu gak ke kantor?" "Aku sengaja cuti hari ini untuk menemani kamu ke dokter kandungan," jawab Tommy.Silvy terkejut, matanya melotot dan mulutnya menganga. Ia tidak menyangka Tommy akan mengajaknya ke dokter secara mendadak pagi itu. Ia harus berpikir cepat agar rencananya tidak hancur berantakan."Gak perlu, Mas. Aku bisa melakukannya sendiri, kamu sangat sibuk, jadi gak perlu repot-repot mengantar aku," jawab Silvy."Kenapa? Biasanya wanita hamil selalu ingin ditemani oleh suaminya, bukan?" Tatapan Tommy yang tajam menyelidik membuat Silvy langsung mengalihkan pandangannya."Bukan begitu,
Tommy tiba di sebuah kafe yang cukup ramai. Menurut informasi dari anak buahnya, Silvy ada di kafe itu bersama beberapa teman arisannya. Melihat kedatangan Tommy, anak buahnya segera mendekat dan memberi kode dimana Silvy berada. Tommy mulai mendekati meja istrinya. Ia melihat Silvy seperti sedang melamun dan memikirkan sesuatu di tengah senda gurau para sahabatnya."Silvy, aku mau bicara." Tommy berdiri di hadapan istrinya.Sontak Silvy dan para wanita sosialita itu terkejut. Perbincangan dan canda ria itu langsung terhenti. Semuanya menatap Tommy dengan penuh tanya dan kebingungan."Mas, kenapa bisa kemari? Ada masalah apa?" tanya Silvy.Semua yang melihat wajah Tommy bisa merasakan emosi dan kemarahannya. Silvy menatapnya gemetar dan berdiri. Ia mencoba memegang lengan Tommy, namun pria itu mundur dan menghindar.Tommy mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya dan melemparkannya ke meja."Jelaskan apa ini!" teriak Tommy.Wajah Silvy pucat saat melihat amplop yang sangat ia kena
Sore itu Intan baru tiba di rumahnya. Ketika ia baru saja akan masuk ke rumah, Intan terkejut melihat mobil mewah berwarna hitam berhenti di halaman. Intan terkejut ketika melihat Alex turun dari mobil dan tersenyum padanya."Alex, kenapa datang kemari?" tanya Intan."Masa aku gak boleh datang ke rumah kekasihku sendiri? Aku sangat merindukan kamu, Caroline." Alex mendekat dan mencium kening Intan. Intan hanya bisa pasrah, namun ia berpikir dengan cepat. Jika Alex datang ke rumahnya dan melihat Darren, rahasianya sebagai Caroline mungkin akan terbongkar."Kita bicara di kafe saja." Intan menggandeng tangan Alex. Namun pria itu menghentikan langkahnya dan memegang lengan Intan. Ia menatap Intan dengan hangat dan tersenyum."Aku datang justru untuk bertemu dengan ibumu, Sayang. Aku ingin memperkenalkan diri dan menyatakan bahwa aku serius menjalin hubungan denganmu," katanya."Jangan!" Intan spontan menjawab.Alex terkejut, keningnya berkerut karena tidak menyangka Caroline, kekasihny
Silvy terduduk lemas di tempat tidurnya. Sejak kehamilan palsunya terbongkar, sikap Tommy benar-benar berubah. Jangankan menyentuh Silvy dengan cinta dan kehangatan seperti biasanya, menegur pun Tommy enggan."Kenapa nasibku jadi seperti ini? Aku gak tahan hidup seperti ini," keluh Silvy.Tommy masuk ke kamar dan mengacuhkan Silvy. Tommy menuju ke lemari pakaiannya dan membuka pintu. Ia mengambil kaus berlengan pendek dan memakainya sambil membelakangi Silvy.Silvy bisa melihat dengan jelas wajah suaminya yang lesu. Awalnya Silvy berpikir kalau Tommy masih marah karena kebohongannya. Ia berusaha semampunya untuk merayu dan melunakkan hati Tommy. Dahulu cara itu selalu berhasil membuat Tommy luluh walaupun sedang kesal padanya.Silvy memeluk Tommy dari belakang dan bersandar di punggungnya."Mas, maafkan aku. Aku menyadari kesalahanku dan sangat menyesal karena telah berbohong padamu. Kita mulai semua dari awal lagi, ya. Kamu mau kan, Mas?"Namun tanpa diduga, Tommy melepaskan tangan S
"Halo, Caroline, kamu pasti menghubungi aku karena menyesal, kan? Tenang saja, aku sudah memaafkan kamu. Kita bisa memulai semuanya kembali dari awal. Aku akan menceraikan istriku secepatnya. Sebaiknya kamu juga mulai menjauhi Alex dan memutuskan hubungan dengannya," kata Tommy dengan antusias saat menjawab panggilan telepon Silvy."Maaf, Tom, aku meneleponmu bukan karena itu. Tolong peringatkan istrimu untuk gak melakukan hal yang memalukan dan bodoh! Baru saja dia datang ke kantorku dan membuat keributan," tegas Intan.Tommy sangat terkejut mendengar cerita Intan. "Apa?! Silvy datang ke kantormu? Dari mana dia tahu tentang kamu?" "Aku gak peduli, Tom! Tolong ajari dia sopan santun dan bertindak seperti wanita berpendidikan. Dia mempermalukan aku di depan semua karyawan. Jangan libatkan aku dalam urusan rumah tangga kalian, karena aku dan kamu gak menjalin hubungan apapun!"""Maaf, Caroline, aku akan membuat Silvy menyesal karena sudah melakukan hal itu padamu," kata Tommy."Ingat,