"Aku ada di mana? Mengapa ini tempatnya gelap dan sunyi?" ucap Intan seraya mengedarkan pandangannya, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri. Saat itu, Intan yang merasa berada di tempat asing bahkan gelap dan menakutkan ia terus saja berjalan mencari jalan keluar. Karena merasa ketakutan, lalu Intan berteriak, "Tolong...Tolong aku....Tolong...! Aku di sini...!" ucap Intan berteriak. Ia berjalan sesekali melihat kebelakang bahkan sekali kali berlari."Ayah...Ibu...,""Kakekk...Angela....," Badannya terasa gemetar bahkan bulu kuduknya merinding, pasalnya Intan orangnya takut dengan kegelapan. Kemudian, setelah lama Intan berjalan, namun dia tidak menemukan ujung. Ia menangis. "Apa salahku Tuhan. Mengapa aku bisa berada di sini?" Ia duduk di atas batu di bawah pohon. "Hsss...hsss...," Pada saat itu, ia seperti berada di tengah hutan yang terbentang luas. Ia menatap langit-langit hanya ada kegelapan dan bulan di sana. Namun tiba-tiba, kegelapan berubah menjadi terang. Seolah ma
"Sayy...! Apa kamu lupa dengan tujuan kamu? Apa kamu lupa dengan Jessy? Apa kamu...," teriak Angela.Angela berbicara begitu geram, di kepalanya banyak pertanyaan, tanganya seolah ikut berbicara, matanya, semua anggota tubuhnya seolah sedang mengingatkan Intan. Ia berbicara seraya berdiri. Bahkan ia berbicara tak sadar telah membuka luka Intan."Jessy?" gumam Intan. Fikirannya melayang mengingat mendiang anaknya.Lalu, Intan yang mendengar menoleh. Awalnya dia acuh dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya. Namun semakin lama ia membuat Intan jengkel. Darahnya mulai naik, bahkan tangannya ikut mengepal.Kemudian, justru Intan merespon di luar dugaan, ia melotot. Ia menaikan nada suaranya. Seolah seperti orang kesurupan."Jangan sembarangan kamu...!" tekan Intan."Aku nggak sembarangan Intan? Kamu marah?" Angela menggelengkan kepalanya. Bola mata mereka saling berhadapan."Kamu sudah tidak beres! Otak kamu itu ada masalah...Ayo sadarlah Intan...!" teriak Angela. Saat ini Angela sedang
"Aku harus menyembunyikan hal ini dari Intan!" gumam Ardidiningrat, lalu dia menatap wajah cucunya yang saat ini sedang dinasehati oleh ustadz.Selanjutnya, Kakek Ardidiningrat melangkahkan kaki dengan wajah cemas bahkan wajah ditekuk menjauh dari Intan. Dia berjalan tampak serius setelah melihat ponsel.Sebelum pergi, Ardidiningrat membisikan sesuatu di telinga Intan."Intan. Sebentar, kamu di sini dulu ya!" Bisik dia seraya menepuk bahu Intan.Intan mengedarkan pandangannya ke arah kakeknya seraya mendengus. Bibirnya tampak sedikit roman wajah cemberut."Padahal aku sedikit tidak nyaman bersama orang asing, malah kakek tinggalin aku," gumam Intan. Karena kakek tampak buru-buru. Lalu ia dengan cepat menanyakan."Kakek mau kemana? Jangan lama-lama, Kek!""Tunggu kakek sebentar saja. Jangan pergi sebelum kakek datang kemari! Ada hal penting yang harus diurus,"Intan sedikit merasa heran. "Ada apa dengan kakek? Tidak biasanya dia bersikap seperti itu padaku?"Walaupun Intan baru tin
Lalu, mendengar dugaan Ardidiningrat ternyata benar.Ardidingrat segera menarik nafasnya pelan-pelan setelah itu, dia menghembuskannya."Alasan apa yang harus aku berikan pada cucuku, Oh Tuhan....! Kasihan sekali kamu cucuku," ucap Ardidingrat dengan wajah gelisah.Akhir-akhir ini, Ardidingrat tahu betul beban yang dipikul cucunya. Kehilangan putrinya setelah bercerai masih menyimpan luka yang dalam bukan? Lelaki tua itu lalu mengedarkan netranya ke arah cucunya."Apa Intan sanggup mendengar kejadian Angela yang sebenarnya, sekarang?" Ardidiningrat tampak menerka-nerka.Namun di sisi lain, Intan yang sedang membaca raut wajah kakeknya senyumnya mulai memudar."Ada apa dengan kakek? Sepertinya kakek memang ada masalah? Lah, sekarang aku minta anterin beli ciki sepertinya malah keberatan? Lihat saja. Kakek malah melamun! Aku jadi tidak tega kalau begini," batin Intan.Seketika Intan berfikir. Pasalnya, kakek orang yang tidak pelit, apalagi kepada cucunya. Dengan demikian, Intan memutu
Namun, Mbah Kirono malah diam dengan tatapan seram. Bahkan, seolah dia seperti orang yang sedang marah. Kemudian, Mbah Kirono beranjak berdiri dan membelakangi Franz.Sebelumnya, Mbah Kirono marah sampai memukul meja dengan keras. Tapi saat ini malah diam seribu bahasa, seolah orang bisu. Satu jam sudah berlalu. Satu jam masih juga diam? Siapa yang kuat? Kalau tidak butuh pasti saja memilih pulang bukan?Oleh sebab itu, melihat kelakuan Mbah Kirono sekarang, tentu saja membuat Franz bingung, mau marah tidak bisa, diam hanya seperti pecundang. Apalah daya yang hanya bisa bengong saja?"Mbah Kirono kok ngga jawab, ya? Apa aku salah ngomong?" batin Franz bertanya-tanya.Kemudian, Mbah Kirono mulai berkata,"Aku tidak bisa membantumu lagi wahai anak muda!"Franz yang sedari tadi memperhatikan mbah Kirono, bahkan dia mendongakan wajahnya, netranya terus saja mengawasi setiap gerak ternyata tidak ada hasil...Jika dia bukan orang pintar, tentu saja Franz sudah membunuhnya!Sebenarnya Franz
"Angela..,"Bibir Kakek tua itu berucap di hati. Ia merasa sungguh sedih.Sewaktu Kakek melihat keadaan Angela di rumah sakit, ia sungguh sangat memprihatinkan.Ingatannya masih membekas jelas.Luka parah karena kecelakaan mobil menabrak pohon membuat dia koma, Intan, "Apa kamu sanggup melihatnya?" gumam Kakek Ardidingrat.Namun tiba-tiba, alis lelaki tua paruh baya itu mengkerut, seolah teringat kembali keadaan Angela."Mengapa bisa Angela koma tapi mulut terbuka seperti itu?"Lalu Kakek tua itu menghela nafasnya."Mungkin karena saraf tebaknya,"Hari ini Intan kedatangan seorang tamu lelaki.Menggunakan mobil dan barang-barang mahal membuat Kakek Ardidiningrat merasa senang, apalagi saat ini Intan sedang membutuhkan seorang teman."Assalamualaikum,""Waalaikumsalam,""Perkenalkan, saya Glenn temannya, Intan. Apakah Intannya ada?"Mendengar penuturan dari lelaki yang kelihatannya anak baik-baik membuat Kakek Ardidiningrat mengizinkannya untuk bertemu Intan.Pria muda itu memakai keme
Demi Intan bisa sembuh, ia rela menjalankan ritual selama 99 hari.Apakah aku bisa melewatinya? Bola mata Intan menerawang dengan ragu.Hari demi hari berlalu, awal-awal ia gagal, ia ulang kembali, banyak perjuangan yang dia lakukan untuk bisa mandi persis jam dua belas malam.Menangis, mengeluh, merengek, putus asa, males, capek.Kadangkala kelewatan karena kesiangan, kadang ada rasa takut, berbagai godaan hinggap di kepalanya, untung saja kakek selalu saja memberi semangat.Seolah seperti sebuah perlombaan, di sanalah Kakek terus berteriak dan bertepuk tangan memberi Intan semangat!Selama menjalankan ritual pun dia selalu seringkali mengantuk sebelum shubuh ia sudah tertidur, sekali-kali ia berhenti lalu mencuci mata, habis itu ia melanjutkan dzikir atau membaca Alquran dan beribadah kepada Allah. Dalam ritual ini diharuskan. Oleh karena itu, jika gagal harus diulang kembali.Intan mengeluh? Intan menangis? Intan ingin menyerah? Hingga pada akhirnya, tepat tujuh bulan Kemudian ia
"Membuka lembaran baru, Kek?" Kakek bisa melihat sebuah luka yang masih membekas di hati cucunya. Oleh karena itu, dia hari ini mengajak cucunya ke sebuah perusahaan.KORAAAN....,Saat itu, keluarga Ardidingrat sedang sarapan pagi. "Bi, korannya, yang terbaru tolong simpan di atas meja ruang tamu, aku nanti mau baca!" ujar Kakek Ardidingrat melihat bibi membawa sebuah koran ke meja yang ada di kolam ikan memang biasanya Kakek Ardidingrat akan membaca di sana, tapi kali tampak berbeda, dia sudah terlihat rapi untuk menemani cucunya agar lebih semangat bekerja.Sambil menunggu Kakek bersiap-siap, Intan yang melihat sebuah koranpun ikut penasaran."Ada berita apa hari ini?" batin Intan seraya meraih koran dan duduk dengan menaikan kaki menyenderkan tubuhnya di sofa.Intan kali ini tampil berbeda, ia memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri. Ia tidak perlu menyamar menjadi Dewi. Untuk apa?"Ini koran terbaru kan? Hmm, benar sekali. Clara...?"Intan bola matanya terbelalak melihat nama C