Vinn turun dari mobil dan mengedarkan pandangan pada sekitar. Angin malam berhembus, menerpa kulitnya yang putih pucat. Beberapa saat yang lalu ia dan Daniel memasuki area gudang MXC Express. Dari tempatnya berdiri, hanya terlihat pepohonan rimbun. Menurut Vinn, Tuan Ray memilih lokasi yang cukup aneh untuk sebuah gudang. Atap gudang tampak menyembul di antara pucuk-pucuk pohon.Dari satu arah, Daniel muncul dengan jaket dan topi biru, persis dengan yang Vinn pakai. Dua pria itu sedang memakai seragam pekerja di gudang milik Tuan Ray. "Karyawan yang menjaga saat malam ternyata cukup banyak. Di luar gudang saya melihat ada lebih dari sepuluh orang dan sebagian dari mereka membawa senjata," ujar Daniel memberi informasi. "Apa masih jauh?" Vinn bertanya usai menyimpan pistol pada bagian dalam jaket. Senjata itu sengaja dibawa untuk perlindungan diri. "Tujuh ratus meter dari sini, Tuan.""Baiklah, kita jalan kaki saja melewati pepohonan."Mobil hitam itu mereka tinggakan di tepi jalan
Dengan bantuan Anna, Clara berhasil kembali ke kamarnya tanpa membuat Martin maupun Tuan Ronald curiga. Mereka keluar dari ruang tengah setelah perbincangan antara tiga generasi itu selesai. "Nona? Kenapa Anda menangis?" tanya Anna saat mereka telah sampai di kamar Clara. Clara mengusap bulir bening yang telah berlinang di pipi. Ia bahkan tidak sadar jika sedang menangis. Hatinya memang sedih, tapi rasa khawatirnya jauh lebih besar. Ia tahu pasti nyawa Vinn sedang terancam. "Aku baik-baik saja," jawab wanita dengan dress maroon tersebut. "Nona? Apakah tadi yang Tuan Ronald katakan benar? Kenapa tadi itu seperti percakapan dalam film?"Sama seperti Clara, Anna juga mendengar isi dari pertemuan itu dengan jelas. Tapi saat ini Clara tak tahu harus menjawab bagaimana. Ia terduduk di sofa, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Saya akan mengantar makan malam sesaat lagi. Permisi, Nona."Clara hanya mengangguk kecil dan membiarkan pelayan itu pergi. Baru saja ia bangkit dan hendak berpi
Pintu keluar bagian belakang gudang masih dijaga oleh Gandhi dan Roma. Dua pria itu saling pandang ketika menyadari dua 'anak baru' ingin keluar lagi. "Mau ke mana lagi kalian ini?" tanya Roma. Daniel mendekatinya hanya untuk mengembalikan satu kotak rokok yang masih utuh. Ia juga membisikkan sesuatu. "Kerja yang giat."Roma menatap kotak rokok dan Daniel secara bergantian, bingung. Tapi Daniel tak ingin membuat Vinn menunggu. Ia segera mengimbangi langkah Vinn yang telah berjalan mendahului. Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar keributan. Roma dan Gandhi serempak menoleh. Tiga pekerja lain tengah berlari ke arah mereka. Salah satunya meneriakkan beberapa kata dengan suara lantang."Dua orang itu penyusup! Tangkap mereka!"Sementara Vinn dan Daniel telah memasuki rimbunnya pepohonan. Dua orang itu berlari. Mereka tahu saat ini para penjaga gudang itu sedang mengejar. Dor!Terdengar bunyi tembakan belasan meter di belakang mereka. Vinn mengeluarkan pistol dan Daniel melakukan h
Vinn dalam perjalanan ke kantor pusat kala pamannya, Tuan Bara menelepon dan memintanya untuk datang ke rumah sakit saat itu juga. "Kita ke rumah sakit sekarang," titahnya pada Daniel yang langsung mengangguk patuh. Si tuan muda duduk termenung di kursi belakang mobil, mengingat kejadian semalam. Ia dan Daniel hampir saja tertangkap oleh para pekerja Tuan Ray. Beruntungnya mereka berhasil lolos. "Apa kau sudah melakukan apa yang kuminta?" Vinn memberi pertanyaan berkaitan hasil temuannya dari salah satu guci di gudang milik Tuan Ray. "Sudah dan perkiraan Anda benar, Tuan. Itu adalah obat-obatan terlarang sejenis opium yang bahkan lebih murah dari heroin."Vinn telah banyak mendengar zat adiktif dari Rusia tersebut. Sebenarnya pembuatannya telah lama dihentikan. Efeknya lebih kuat dari morfin. Tak hanya itu, secara fisik, obat berbahaya tersebut bisa membuat bagian tubuh pemakai lepas dengan sendirinya. Tak ubahnya seperti zombie. "Efeknya begitu mengerikan. Saya juga curiga jika
Clara membuka mata dan merasakan tangan dan kakinya terikat. Mengerjap beberapa kali, ia baru menyadari jika saat ini ia telah berada di kamarnya. Kamar mewah yang lebih tepat disebut sebagai penjara. "Sudah bangun?" Martin bersuara dari sofa yang hanya berjarak tak lebih dari dari tiga meter di samping ranjang. "Martin, lepaskan aku!!" ujar Clara sambil meronta. Tapi ikatan scraft pada kedua tangannya terlalu kuat. "Melepaskanmu? Tidak, tidak. Kali ini aku tidak akan menjadi orang yang bisa kau bodohi. Pagi tadi saja kau hampir saja kabur." Si tuan muda Hazard bangkit dan menghampiri tepian ranjang. Clara menatap Martin dengan was-was. Pria itu tersenyum aneh, membuatnya merasa tidak aman. Semua tentang Martin membuatnya muak, baik sosok maupun auranya. Ditambah saat ini ia dalam keadaan terikat. "Kenapa aku diikat? Kamu mau apa sebenarnya?" tanya Clara. Pergelangan tangannya terus bergerak berharap ikatan bisa melonggar. Namun yang terjadi justru timbul lecet pada kulitnya. "S
Suasana ruangan bernuansa abu dan putih itu menjadi sedikit tegang. Kakek Richard masih menunggu kalimat selanjutnya, ingin mengetahui apa yang sebenarnya Tuan Ray inginkan dengan menyebut cucunya sebagai penyusup. "Aku tahu cucu Anda adalah orang yang jujur, lurus, dan bisa diandalkan. Tapi bukan berarti dia tak mempunyai sisi buruk. Aku bisa menjamin Vincent dan satu orang lain bawahanmu melukai dua pekerjaku. Aku bisa saja membuat laporan atas tindakan kriminal.""Aku sangat mengenal Vinn. Dia takkan melakukan sesuatu yang tidak beralasan. Vinn, katakan apa tujuanmu datang ke gudang milik Tuan Ray?" Pria renta kembali beralih pada cucunya. Ia menatap Vinn dengan keyakinan. Vinn bungkam. Tentu saja ia tak mungkin jujur tentang penyelidikannya. Tapi ia bisa menangkap maksud mencurigakan dari cara Tuan Ray menatapnya. "Begini saja, ijinkan mereka mengambil kembali barangku dan kuanggap masalah ini selesai. Bagaimana?" Si kolektor dengan topi fedora tersenyum miring. "Cukup sebutka
Clara membuka netranya dengan berat. Cahaya dari lampu kamar sejenak membuatnya terpejam kembali. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya tapi ia merasa ada yang aneh. Tubuhnya terasa remuk, terutama dari bagian pinggang ke bawah. Semula ia tak mengingat apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. Hingga saat ia menoleh ke arah samping, wajahnya langsung berhadapan dengan wajah milik seorang pria.'Martin? Kenapa dia di sini?!' batin Clara. Jantungnya mulai berdegup kencang. Ia hendak bangun. Namun ternyata satu tangan pria itu tengah memeluk perutnya. Tak hanya itu, saat menyingkap selimut Clara baru menyadari jika mereka sama-sama tidak berpakaian. Barulah ingatan Clara tentang peristiwa itu kembali sepenuhnya. Dalam suasana senyap di kamar luas, ia menggigit bibirnya kuat agar air matanya tidak keluar. Perlahan tangannya memindah tangan Martin agar tidak terbangun. Setelah berhasil, ia bangkit dan masuk ke kamar mandi. Hal pertama yang Clara lakukan adalah melihat pantulannya pada cer
Dengan langkah gontai, Vinn menjejaki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Semangatnya yang nyaris penuh kini memudar usai sang kakek mengakhiri percakapan mereka malam itu. Beberapa saat yang lalu, Vinn mengira ia akan menemukan jawaban. Namun nyatanya kakek beserta pamannya justru kembali bermain teka-teki. Kali ini ditambah satu petuah yang sekilas terasa janggal. "Kau dan Martin adalah keluarga. Aku tidak akan melarangmu tetap berinteraksi. Tapi lebih baik kalian tidak perlu membahas tentang masa lalu. Biarkan masa lalu tetap tersimpan. Masalah ini tentang aku dan Ronald."Itu adalah kata-kata Tuan Richard Alfredo sebelum menutup percakapan. Ketika Vinn memandang pamannya untuk menemukan jawaban yang lebih memuaskan, pria itu justru bangkit seraya menelepon seseorang. Vinn sudah hampir sampai di tujuannya, ruang kerja sang kakek. Tapi mendadak, netranya menangkap sebuah foto keluarga yang terpajang dengan bingkai emas. Foto pernikahan kedua orang tuanya. Ibunya yang jel