“Berhenti di sini,” ucap Galvin, sontak membuat sopir menginjak rem di depan gerbang kompleks perumahan mewah. "Agar tidak menarik perhatian orang-orang, lebih baik aku turun di sini dan berjalan kaki menuju rumah," jelasnya. “Aku tidak ingin ada kenalanku yang tahu mengenai hubunganku dengan kemiliteran.”
Galvin membuka pintu mobil diikuti oleh sang sopir yang membukakan bagasi untuk mengeluarkan koper pria tersebut.
Setelah Galvin menerima kopernya, dia pun menghadap Javon. “Terima kasih atas tumpangannya, saudaraku,” ujarnya seraya berjalan pergi tanpa menunggu balasan pria di hadapan.
Javon terkejut melihat Galvin yang langsung berbalik pergi, dia pun langsung mengejar pria itu dan berkata, “Tuan Galvin!” Teriakannya berhasil menghentikan langkah Galvin. Javon pun menyodorkan kartu kecil ke arah sang dewa perang sembari membungkuk hormat. “Ini adalah kartu namaku, Tuan bisa menghubungiku jika membutuhkan bantuan, aku akan selalu siap membantu."
Saat dia menerima kartu nama itu, Galvin melihat jabatan Javon yang sebenarnya.
“Mayor Jenderal Javon Lloyd,” ucap Galvin membuat Javon langsung menegapkan tubuhnya dan memberi hormat kepada Galvin. “Senang berkenalan denganmu,” ujar pria itu sembari tersenyum sebelum akhirnya berbalik pergi. Dia melambaikan kartu nama Javon dan berkata, “Aku akan menghubungimu.”
Javon terus menatap punggung Galvin yang perlahan-lahan menghilang dari tatapan matanya. "Dewa perang Negara Leen, panglima pasukan elit Zero.” Bahkan, ketika menyebutkan identitas lengkap Galvin di dunia permiliteran, seluruh tubuh Javon bergidik ngeri. “Guncangan apa yang akan dia berikan setelah kembali menjadi seorang rakyat biasa?"
***
“Sepuluh tahun, tempat ini berubah banyak ….” gumam Galvin seraya menyusuri kompleks perumahan tempatnya berada. Pandangannya menyapu sekeliling, pada rumah-rumah di sekitar.
Area perumahan itu tidaklah asing lagi bagi Galvin, terlebih karena untuk dua puluh tiga tahun lamanya dia tinggal di sana. Bahkan, dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan, tidak tahu sudah berapa kali dia kembali ke sini di dalam mimpinya, kembali ke rumah kecil yang hangat kala itu.
Namun, ternyata sekarang semuanya jauh berbeda dari yang dia ingat.
Rumah-rumah yang dahulu sudah terkesan mewah, sekarang menjadi semakin megah dengan tinggi menjulang. Tidak hanya itu, tiap rumah dilengkapi dengan keamanan tingkat tinggi, dengan pos penjaga dan lebih dari dua pria bertubuh besar dengan seragam keamanan yang siap siaga. Tatapan mereka ketika menyadari keberadaan Galvin tidakklah bersahabat, melainkan waspada dan penuh intimidasi.
Salah seorang penjaga dari satu rumah besar melemparkan tatapan mematikan kepada Galvin secara terbuka, seakan memperingatinya dengan keras, “Macam-macam dan kamu akan mati!”
Galvin mendengus melihat prasangka orang-orang tersebut. Akan tetapi, dia sendiri paham alasannya mereka begitu waspada. Dengan pakaian sederhana dan tanpa kendaraan, dia—seseorang yang terlihat asing—tengah menyusuri kompleks perumahan elit tersebut, membuatnya terlihat berbeda dari mereka yang seharusnya tinggal di tempat itu.
Namun, bagaimana ya? Tidak akan masuk akal untuk seorang narapidana datang kembali ke rumahnya dengan menaiki mobil. Kalau ada yang melihatnya, lalu menyadari identitasnya, bukankah hal tersebut akan memancing perbincangan orang-orang? Oleh karena itu, berjalan kaki adalah pilihan yang tepat bagi Galvin untuk menyembunyikan masa lalu dari orang lain dan juga keluarganya.
Setelah cukup lama berjalan kaki sambil menyeret koper, Galvin berbelok ke arah blok rumahnya. Namun, begitu dia melihat tempat seharusnya gedung kediaman keluarganya berdiri kokoh, keningnya berkerut.
“Apa … ini?” gumam Galvin dengan ekspresi buruk.
Mata Galvin memandang sebuah rumah dengan pekarangan luas dengan pagar besinya yang berkarat. Gedung kediaman itu sendiri terlihat dihiasi retakan dan lumut di sejumlah besar bagian, membuatnya terlihat mencolok karena kekumuhannya dibandingkan rumah-rumah lain yang ada di sekitar.
Satu pertanyaan terbesar Galvin adalah … di mana kediaman indah dan megah yang dahulu dia kenal?
Dengan jantung berdebar, Galvin melangkah mendekati gerbang rumah itu. Melihat gembok besar dan rantai yang menghalanginya masuk, pria itu mengangkat pandangan ke arah rumah. “Ada orang?” serunya dengan suara bariton tegas. Namun, tidak ada yang membalas.
Merasa ada yang tidak beres, Galvin menautkan alisnya erat. Dia menyapu pemandangan sekeliling untuk sesaat, lalu memutuskan untuk melemparkan koper kecilnya melewati pagar. Kemudian, dia pun melompati gerbang besi itu—sesuatu yang jelas tidak mudah untuk orang biasa mengingat bahwa gerbang itu tidak rendah.
Mendarat di rumput yang sudah begitu tinggi lantaran tidak dipangkas, Galvin berjalan masuk ke dalam rumah. Tempat itu seakan tidak berpenghuni.
‘Di mana semua orang?’ tanya pria tersebut dalam hati seiring dirinya mendorong pintu utama rumahnya terbuka dan melangkah ke dalam.
Debu tebal yang berkumpul di tangannya membuat Galvin menebak bahwa … tidak ada yang tinggal di tempat itu. Namun, bagaimana mungkin? Ke mana ayah dan ibunya? Bagaimana dengan adiknya?!
WHOOSH!
Suara angin yang terbelah kasar membuat Galvin menoleh cepat ke belakang. Netranya pun menatap sebuah tongkat kayu terarah ke wajahnya.
“Haaa!”
BUK! KRAKK!
Suara garing kayu bertemu dengan tubuh dan berakhir patah terdengar bergema di ruang utama kediaman Galvin. Hal itu diikuti dengan suara terkesiap seorang perempuan yang merupakan pelaku utama penyerangan.
“Ah!” Lenguhan kesakitan perempuan itu pun terdengar, terutama karena tangan Galvin telah berakhir mencengkeram kuat lehernya. “L-lepaskan … aku!” seru sosok ramping dengan manik cokelat membara penuh amarah itu sembari meronta.
Detik netra hitam Galvin bertemu dengan manik cokelat sang perempuan, pria itu terkejut dan langsung melepaskannya. “Lisa?” ucapnya dengan keraguan dan ketidakpercayaan.
Gadis muda berusia dua puluh lima tahun yang tersungkur di lantai sembari terbatuk-batuk itu mengangkat pandangan. Netra cokelatnya yang diselimuti amarah kini bercampur rasa bingung dan ketakutan, terutama saat menyadari lawannya memiliki kekuatan yang jauh lebih besar.
"Siapa kamu? Untuk apa kamu datang ke rumahku?!" Gadis itu berusaha menjauh selagi memandang Galvin dengan waspada. Dia merasa sangat asing dengan sosok pria yang berdiri di hadapan, tapi suara pria itu terdengar familier.
"Ini aku, Lisa.” Galvin mengambil satu langkah maju dan berjongkok di hadapan gadis tersebut. “Galvin,” ucapnya seraya mendaratkan tangannya di pundak Lisa.
Ketika mendengar ucapan Galvin, mata Lisa membesar. Namun, dia menepiskan tangan pria itu dengan cepat dan mengambil langkah mundur. “Omong kosong! Kakakku, Galvin Wijaya, adalah narapidana penjara terasingkan di Pulau Mata!” Senyuman sinis terpasang di wajahnya, mengira Galvin tengah berusaha menipunya. “Dengan hukuman penjara seumur hidup, bagaimana mungkin dia berdiri di hadapanku?!”
“Dengan hukuman penjara seumur hidup, bagaimana mungkin dia berdiri di hadapanku?!” Sekujur tubuh Galvin membeku, dia terdiam mendengar ucapan adiknya itu. Benaknya seakan dipaksa untuk menggali pecahan ingatan dari sepuluh tahun yang lalu, masa di mana dirinya hanyalah seorang pemuda bodoh berusia dua puluh tiga tahun yang tidak tahu bahwa manusia bisa lebih buruk dibandingkan binatang! Tercetak jelas di benak Galvin kejadian di malam sepuluh tahun yang lalu itu. Halaman rumah Keluarga Wijaya ramai oleh kedatangan sekelompok pria berseragam–polisi. "Tidak mungkin!” Teriakan seorang gadis bisa terdengar seiring dirinya terlihat ditahan dua polisi. “Kakakku tidak mungkin membunuh! Membunuh semut pun dia tidak tega, apalagi membunuh orang?!" Lisa–adik angkat Galvin–berteriak dengan histeris selagi air mata mengalir membasahi pipinya. Pria yang bertugas sebagai pemimpin penangkapan itu menatap Lisa dengan tatapan datar, terlihat tidak sedikit pun bersalah melihat gadis itu menangis.
“Papa meninggal karena kecelakaan dan Mama …,” Galvin menatap wanita paruh baya yang terlihat tak berdaya di kursi roda, “... kehilangan kewarasannya?” Matanya tampak terluka menatap sang ibu yang maniknya terlihat kosong dan tak bernyawa bak boneka “Ini … semua terjadi tidak lama setelah aku pergi?” Galvin menghampiri sang ibu yang dahulu telah begitu berbaik hati mengangkatnya, seorang anak panti asuhan, dan merawatnya layaknya putra kandung sendiri. Dia pun berlutut di hadapan sang ibu, lalu menyentuh wajah pucat wanita itu. ‘Dingin,’ batin Galvin dengan kening berkerut. Dia pun mengarahkan tangannya pada pergelangan tangan sang ibu, mengecek nadinya. ‘Ini–!’ Pandangan pria itu berubah dingin seiring dirinya berdiri. Benak Galvin memutar cerita yang dilontarkan oleh sang adik tadi. Setelah dirinya dinyatakan sebagai pembunuh ahli waris Keluarga Bintara dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Pulau Mata, perusahaan keluarga ayahnya terkena dampak penurunan saham. Namun, h
"A-Apa? Racun?!" Lisa terlihat begitu terkejut mendengar ucapan Galvin. Seluruh tubuhnya bergetar. Di saat mendapatkan cukup sampel, Galvin pun membalut jari ibunya. Di dalam hati, pria itu membatin, ‘Sepertinya, daftar hitamku bertambah panjang.’ Matanya memancarkan aura membunuh yang kuat. ‘Paman Anson, ya? Jadi dia–’ KRAK! Tepat ketika Galvin baru saja selesai membalut jari ibunya dan memikirkan tentang sang paman, suara dentuman keras dari ruang utama terdengar. Keributan tersebut pun membuat Galvin melihat Lisa berlari cepat ke luar kamar. Pria itu mengikuti dengan waspada lantaran sejumlah langkah kaki terdengar menghampiri. BRAK!Belum sempat Galvin dan Lisa mencapai pintu, pintu utama kediaman mereka ditendang terbuka. Seorang pria muda bertubuh kurus dalam balutan jas mewah dan celana hitam muncul bersama dengan sejumlah penjaganya. Kala dirinya mendaratkan pandangan pada Lisa, seringai sombong terlukis di wajah pria muda tersebut seraya dia mengumumkan, “Lisa Wijaya, ha
“Racun dalam tubuh Mama Anda akan sepenuhnya bersih dalam tiga jam,” ujar seorang dokter berpakaian seragam militer seraya memberikan laporan di tangannya kepada seorang suster. “Kondisi tubuhnya juga kian membaik, seharusnya dia akan sadar dalam waktu dekat,” imbuh pria tersebut sembari menatap Lisa dengan senyum sopan. Mendengar ucapan sang dokter, wajah Lisa berbinar. Dia tersenyum bahagia seraya berulang kali berucap, "Terima kasih banyak, Dok. Sungguh terima kasih!" "Tidak masalah, Nona,” balas sang dokter melihat reaksi Lisa. Karena tugasnya sudah selesai, dokter tersebut pun berkata, “Saya pamit undur diri terlebih dahulu. Jaga ibumu dengan baik, Nona." Pria itu mengangguk pamit sebelum membalikkan badan untuk pergi Bersama sang suster. Lisa mengantar kepergian sang dokter, lalu berhenti di depan pintu. Awalnya, dia ingin langsung kembali ke dalam ruangan, tapi di sudut matanya, gadis itu menangkap keberadaan sang kakak, Galvin. Dengan tangan terlipat di depan dada bidang pr
'Kakak pasti mengenal Javon setelah dia keluar dari Aberleen, yang berarti saat dirinya berada di penjara. Namun, bagaimana mungkin seorang narapidana bisa mengenal seorang pejabat tinggi militer?' Semuanya terasa begitu aneh bagi Lisa. Akan tetapi, teringat ucapan Galvin untuk mempercayainya, Lisa pun tidak lagi bertanya-tanya. Dia hanya sangat bersyukur Galvin telah kembali, terlebih karena dia yakin pria itu bisa melindungi mereka. "Kakak, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Lisa dengan bingung seraya menatap mata Galvin dalam-dalam. " Setelah Kakak mematahkan tangan Kevin, tidak mungkin paman akan diam saja!" Mengingat bagaimana pria itu bisa sekejam itu mencoba meracuni ibu mereka, Lisa yakin bahwa Anson akan mencoba menyakiti Galvin. Sehingga, mereka memutuskan untuk tidak kembali ke rumah. Wajah manis gadis itu berkerut memikirkan hal-hal yang mungkin dilakukan oleh sang paman. Mengingat bahwa sang paman telah berusaha meracuni ibu mereka, Lisa yakin bahwa Anson—pamannya—pasti
*Sepuluh tahun yang lalu*Malam itu, Keluarga Wijaya berkumpul untuk makan malam seperti biasanya.“Selamat atas keberhasilan proyeknya, Kak Galvin!” ujar Lisa seraya menaikkan gelas jusnya untuk bersulang demi mengucapkan selamat terhadap keberhasilan sang kakak dalam karirnya. “Bisa bekerja sama dengan perusahaan sebesar itu di usia yang begitu muda, memang kakakku yang paling jenius!” puji gadis tersebut dengan tawa bangga.Mendengar ucapan sang putri, ayah Galvin dan Lisa langsung berceletuk, “Itu karena Galvin anak Papa!” Pria itu mengangkat dagunya bangga. “Kakakmu memang pintar, ditambah didikan Papa, makanya dia jadi sehebat ini di usia yang begitu muda!”Ibu Galvin pun menyenggol sang suami. “Perasaan yang lebih sering ngehabisin waktu sama anak-anak Mama deh? Kok Papa doang yang ngaku-ngaku berjasa, hmm?” goda sang istri membuat sang suami meneguk ludah.“T-tapi ‘kan yang ajarin Galvin soal perusahaan Papa, Mama ajarinnya yang lain,” balas ayah Galvin, sukar mengalah. Namun,
Cinta buta yang mematikan, itulah dua kata yang pantas untuk mendeskripsikan keputusan Galvin kala itu. Karena cintanya kepada Elena, juga kesetiaannya terhadap janji yang diberikan kepada sang kakek, Galvin dengan bodohnya mengiyakan permintaan gadis tersebut.Siapa yang mengira bahwa alih-alih mencari cara untuk membuktikan kebenaran, gadis itu malah mengkhianatinya dengan lari dan menghapuskan ikatan antara mereka?“Apa Kakak tahu bahwa gadis yang Kakak mati-matian bela itu sekarang memutuskan pertunangan kalian, hah?” bentak Lisa saat mengunjungi Galvin di penjara Aberleen sebelum pria itu dikirimkan ke penjara di Pulau Mata yang terpencil. “Kakak mau tahu apa yang dia bilang?” Air mata menuruni wajah Lisa deras selagi kekecewaan terpancar kuat dari matanya. “Dia tidak ingin berurusan dengan seorang pembunuh!”Karena pria yang telah dibunuh oleh Elena adalah anak dari orang terkaya kedua di kota Aberleen, Galvin diberikan hukuman terberat, yakni hukuman seumur hidup penjara. Dia d
Elena tersentak, tahu bahwa Galvin tengah mengancamnya. Namun, dia tidak bergeming.Melihat pandangan yang diberikan Galvin kepada Elena, Peter pun langsung berkata dengan wajah tidak senang, “Hei, apa jangan-jangan kamu datang ke sini untuk mengejar Elena lagi?"Tatapan Elena menjadi jijik saat mendengar ucapan sepupunya. "Galvin, pergilah, jangan ganggu aku lagi! Aku sudah memiliki tunangan," ujarnya seraya mengambil Langkah mundur ke belakang sepupunya, seakan takut Galvin akan menyentuhnya. "Hubungan kita tidak bisa terus berlanjut."Galvin menyipitkan matanya. Dia jelas tahu Elena sudah bertunangan, tapi … bukankah dia sudah bertunangan sejak beberapa tahun yang lalu? Kenapa mereka masih belum menikah?Akhirnya, Galvin memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu.. “Sudah bertunangan?” ulangnya lagi. “Dengan siapa?”Pancaran mata Galvin membuat sudut hati Elena tertohok telak, tapi sadar bahwa wajah tampan itu tidak akan sebanding dengan kekayaan dan reputasi yang ditawarkan tunangan