Wati memang sengaja tidak melawan saat Rara menjambak rambutnya tadi. Wati bermaksud bermain halus. Ia tak akan terang-terangan memperlihatkan sikap memusuhi dan melawan Rara. Ia akan tetap bersikap sebagai madu yang tidak berdaya, sementara Wati menyusun rencana untuk menghancurkan Rara di belakangnya.
Wati lalu mengunci pintu kamarnya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya selama tinggal di rumah Rara. Setelah merasa yakin pintu kamarnya terkunci dengan baik, Wati mengeluarkan ponsel yang diberikan Bu Nara kepadanya tadi siang ketika ia berada di panti.
Wati merebahkan diri pada kasur tipis. Ia mengecek ponsel kecil yang kuno itu. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Bu Nara untuknya. Tak sabar, Wati membuka pesan dari Bu Nara dengan hati berdebar-debar.
“Ibu sudah menghubungi keluargamu, Ti. Mereka sangat senang mengetahui kamu sudah ditemukan. Mereka ingin bertemu kamu secepatnya. Mereka ingin menjemputmu besok sore. Kamu mau dijemput di rumah atau di panti?”
Wati berbunga-bunga membaca pesan dari Bu Nara. Harapannya akan kehidupan yang lebih baik bangkit kembali. Tak akan lagi ia diperlakukan seperti sampah di rumah ini. Ia memiliki keluarga sebagai sandaran.
Wati berpikir sejenak. Ia sangat ingin dijemput dari rumah ini. Terbayang di pelupuk mata Wati, pasti Rara dan Dedy akan ternganga apabila ia dijemput oleh keluarga yang selama ini tidak diketahui keberadaannya. Ia akan bisa melenggang penuh kemenangan di bawah tatapan tak percaya Dedy dan madunya. Nikmat sekali pasti rasanya.
Akan tetapi, Wati teringat bahwa kedua orang tuanya tidak mengetahui tentang kehidupan buruk yang dialaminya saat ini. Mereka mungkin akan bingung ketika mendapati dirinya yang diperlakukan sebagai babu di rumah Rara. Keadaan itu tidak sesuai dengan harapannya.
Tidak. Wati tidak akan minta dijemput di sini. Ia tidak boleh bertindak gegabah. Untuk membalas Rara, ia akan menyiapkan pembalasan dendam termanis.
“Biar saya yang datang ke panti besok sore, Bu. Keluargaku belum tahu apa-apa tentang aku dan masalahku. Jangan sampai mereka bingung nantinya. Tunggu aku ya, Bu,” Wati mengirim balasan pesan kepada Bu Nara.
Setelah mengirim pesan, Wati termenung memikirkan rencananya untuk membalas Rara dan Wati. Hal pertama yang dipikirkan oleh Wati adalah mengambil buku nikahnya agar dapat mengurus perceraian.
Di mana Dedy menyimpan buku nikah itu? Setelah menikah, Wati belum pernah lagi melihat bukti pernikahan mereka. Ia harus mengambil buku itu sebelum pergi menemui keluarganya besok.
“Mbak! Mbak Wati, keluar!” teriak Rara dari depan pintu kamar.
Wati terkejut. Cepat-cepat ia menyembunyikan ponsel yang sedari tadi masih dipegangnya ke balik baju. Wati tak mau meninggalkan ponsel itu di dalam kamarnya. Meskipun Rara tak pernah masuk ke kamarnya, tapi ia tak mau mengambil risiko kehilangan benda paling berharga dalam hidupnya saat ini.
Wati membuka pintu kamar. Ia melihat Rara meringis kesakitan sambil memegangi perutnya.
“Belikan aku minuman pelancar haid ke warung. Sekarang!” perintah Rara seraya menyerahkan selembar uang ke depan wajah Wati.
Wati menerima lembaran uang dari Rara dengan ekspresi datar. Rara lalu mengerang memegangi perutnya. Ia sempoyongan lalu bersandar pada dinding. Dedy datang menghampiri Rara dengan tergopoh-gopoh. Raut wajahnya terlihat amat khawatir.
“Sayang, lebih baik kamu istirahat saja di kamar. Kataku juga biar aku saja yang menyuruh Wati ke warung,” marah Dedy.
Rara membiarkan dirinya dibimbing oleh Dedy untuk masuk kembali ke dalam kamar. Langkahnya tertatih-tatih dan goyah. Wati mengamati bahwa Rara dalam kondisi yang lemah.
Saat Wati terbengong, tiba-tiba Rara menoleh ke belakang dan berkata garang,
“Cepat! Disuruh sekarang malah bengong!” bentak Rara. Ternyata meskipun sedang sakit, kegalakan Rara tidak berkurang.
Wati gelagapan. Lekas-lekas ia berjalan menuju pintu keluar. Masih sempat didengarnya suara Dedy sebelum ia melangkah keluar dari pintu.
“Yah, malam ini gagal deh kita main, Sayang.”
Wati mempercepat langkahnya menuju warung. Ia mendadak muak mendengar suara Dedy barusan. Usai membeli barang yang diminta oleh Rara, Wati lekas-lekas pulang. Ia tak mau lagi mendapat kemarahan dari Rara. Sekarang bukan karena takut lagi, tapi telinganya sakit rasanya mendengarkan suara sember seperti radio rusak itu.
Sampai di rumah, Wati langsung mencari Rara untuk memberikan barang pesanannya. Saat Wati bergerak menuju kamar Rara untuk memberikan jamu, ia berpapasan dengan Dedy yang hendak keluar dari kamar.
“Mas, ini jamu yang diminta Rara sudah aku belikan,” lapor Wati.
“Rara sedang tidur. Berikan saja jamu itu kepadaku,” sahut Dedy.
Wati mengulurkan tangan memberikan bungkusan berisi jamu, tapi Dedy tidak mengambil bungkusan itu. Dedy malah menarik tangan Wati hingga Wati terjatuh ke dalam pelukannya.
“Kamu milikku malam ini,” bisik Dedy di telinga Wati.
Dedy menciumi leher Wati, sementara tangannya bergerilya di tubuh Wati. Wati diam tak bereaksi. Wajahnya pun datar tanpa ekspresi. Sekarang dia sadar, Dedy hanya mendatanginya saat Rara tak bisa dijamah. Terbukti, saat Rara haid barulah Dedy menginginkannya.
Tempo hari pun demikian, saat Rara tertidur barulah Dedy memasuki kamarnya. Saat pagi tiba, Dedy langsung pindah ke kamar Rara. Jadi itulah arti dirinya bagi Dedy, hanya ban serep ketika Rara tidak ada.
“Jangan sekarang, Mas. Ini masih siang. Rara bisa bangun kapan saja,” cegah Wati saat tangan Dedy bergerak hendak membuka kancing bajunya.
Dedy tersadar dari nafsunya. Ia bahkan menggerayangi Wati di depan kamar Rara. Kesal dengan kenyataan ini, Dedy melepaskan tubuh Wati secara kasar.
“Nanti malam,” bisiknya dengan napas memburu.
Wati melepaskan diri dari Dedy dengan perasaan lega. Ia langsung kabur menuju kamar mandi. Di sana ia langsung mandi untuk menghilangkan bekas jamahan Dedy di tubuhnya. Jijik rasanya ia terhadap tubuh yang telah disentuh oleh Dedy.
Pada malam harinya, Dedy mendatangi kamar Wati diam-diam. Saat membuka gagang pintu, ia terkejut mendapati pintu kamar Wati yang terkunci. Selama menikah dengan Wati, belum pernah Dedy tak bisa masuk ke kamar Wati.
“Ti, Wati ...,” panggil Dedy pelan dari balik pintu.
Tak ada jawaban dari Wati. Dedy kebingungan. Apakah Wati tertidur? Jika memang iya, mengapa pintu kamarnya dikunci segala?
Sementara itu di dalam kamar, Wati yang belum tidur bergegas merebahkan diri di kasur. Ia bermaksud pura-pura tidur, biar Dedy tak berhasil melampiaskan nafsunya.
“Wati, Wati, buka pintu,” panggil Dedy sekali lagi.
Masih tak ada bunyi apapun dari dalam kamar. Dedy menjadi murka. Hasratnya sudah sampai ke ubun-ubun, ia ingin segera menyalurkannya. Dedy mendorong-dorong pintu kamar Wati. Ia dapati bahwa pintu hanya diselot saja dari dalam. Nekad karena nafsu, Dedy mendorong pintu sekuat tenaga.
Krak!
Selot pintu patah dan pintu terbuka.
Dedy terdorong ke dalam kamar. Ia melihat Wati bergulung di dalam selimut sampai ke kepala. Jadi betul, Wati ternyata tertidur. Melihat lekuk tubuh Wati yang membentuk di balik selimut, hasrat Dedy semakin memuncak.Dedy menutupkan kembali daun pintu, lalu melangkah mendekati Wati dengan jakun naik turun.Wati yang mendengar pintu berhasil didobrak oleh Dedy, terkesiap di balik selimut. Jantungnya berdebar kencang. Ia takut disentuh Dedy lagi. Sementara langkah-langkah kaki Dedy mendekatinya, Wati berpikir keras cara menggagalkan niat mesum Dedy.Dedy menerkam Wati di tempat tidur.“Aaa!” Wati berpura-pura terkejut dan berteriak keras.Hal itu dilakukannya agar Rara yang mungkin sudah tidur dapat terbangun. Wati sengaja berteriak sekencang-kencangnya. Namun, teriakannya yang baru setengah jalan sudah langsung dipotong oleh Dedy.Dedy menutup mulut Wati dengan mulutnya. Dedy langsung menyerang Wati tanpa basa-basi lagi. Wati gelagapan. Ia panik dan ketakutan. Wati tak mau disentuh lagi
Sambil tertegun, Wati menduga-duga sendiri. Mungkinkah itu nama mantan suami Rara sebelum menikah dengan Dedy? Bukankah Rara itu janda ketika melamar Dedy.Wati tak sempat berpikir jauh-jauh. Ia ingat harus segera mencari buku nikahnya, sebelum Dedy dan Rara kembali. Wati menyingkirkan map berisi sertifikat rumah, lalu melanjutkan membuka map ketiga."Nah, ini dia!" seru Wati senang.Ternyata betul dugaannya. Pada map ketiga tersimpan empat buah buku nikah. Cepat-cepat Wati mengecek buku-buku tersebut. Betul, dua diantara buku nikah itu merupakan miliknya dan Dedy. Wati mengambil kedua buku tersebut."Eh, apa ini?" Wati mengernyitkan dahi.Dua buah buku nikah lain menarik perhatian Wati. Wati melihat sekilas isinya dan mendapati foto Dedy dan Rara di dalam buku-buku itu. Jadi Dedy telah membuat buku nikah lain selain buku nikahnya dengan Wati."Ha
Wati melindungi kepalanya dengan tangan.“Sudah, sudah, Sayang!” lerai Dedy yang baru turun dari sepeda motornya.“Jangan sampai dia sakit, nanti kamu sendiri yang repot,” bujuk Dedy lagi.Padahal di dalam hati Dedy, dia memiliki maksud yang lain. Apabila Wati sakit, pasti tidak bisa melayaninya di kasur dengan maksimal.“Bandel betul dia, Mas! Sudah kubilang nggak boleh keluar rumah. Sekarang mau kemana lagi, dia. Mungkin kabur!” sembur Rara.“Ssst! Sudah, malu dilihat orang,” kata Dedy sambil melirik kiri dan kanan. Beberapa orang sudah mulai memerhatikan drama keluarga mereka.“Ayo kita pulang, Wati,” kata Dedy lembut. Lebih tepatnya, Dedy sengaja berlembut-lembut agar orang-orang yang mulai memerhatikan dan memandangnya tidak curiga.Dedy membantu Wati duduk dari posisi rebah
Selang setengah jam kenudian, Rara mulai merasakan efek obat yang dimasukkan Wati sebelumnya. Rara bangkit dari tidur, lalu mengeluh, “Aduh, peutku sakit sekali,” Rara meringis akibat lambungnya bergejolak. Rara lari ke kamar mandi. Baru saja selesai mengenakan celana lagi, perutnya sudah sakit lagi. Beberapa kali ia mengalami hal itu sampai Rara kelelahan sendiri. “Ada apa ini kok perutku begini,” keluh Rara bingung. “Mungkin kamu kebanyakan makan yang pedas,” celetuk Dedy. “Nggak! Makanku biasa saja,” tangkis Rara. “Lalu kenapa, dong?” tanya Dedy bingung. “Ya, makanya aku juga bingung,” sahut Rara kesal. Baru selesai bicara, Rara kembali merasa perutnya sakit. Ia kembali berlari ke kamar mandi. “Ya, ampun. Sampai capek aku bolak-balik ke kamar mandi,” gerutu Rara yang merasa lelah. “Astaga, hausnya,” ujar Rara lagi. Rara melangkah keluar kamar untuk mengambil air minum. Saat itulah ia melihat pintu kamar Wati yang terbuka lebar. Matanya melotot melihat kamar yang telah kos
Bu Nara menepuk dahi.“Ya, ampun, Wati. Kebangetan sekali memang si Dedy. Sudah nggak kasih makan, nggak kasih rumah, juga nggak kasih pakaian. Huh!” Bu Nara mengomel.“Ya sudah, kamu mandi dulu. Setelah ini ikut Ibu ke pasar. Kita beli baju baru buatmu. Biar murah asal baru dan pantas untuk dikenakan,” kata Bu Nara seraya mendorong Wati untuk segera memasuki kamar mandi.Usai mandi, Wati dan Bu Nara pergi ke pasar besar yang buka sampai sore hari. Bu Nara langsung mengajak Wati ke bagian toko pakaian jadi yang berada di pinggir pasar.“Pilih saja tiga baju yang kamu suka. Nanti, kamu bisa membeli baju baru yang bagus di toko khusus pakaian jadi. Sementara ini cukuplah tiga baju, ya,” ujar Bu Nara seraya mengajak Wati memasuki sebuah toko yang cukup besar.Lantaran jarang ke pasar untuk membeli baju, Wati kebingungan memilih pakaian yang
“Tidak, Pak. Jangan lakukan itu,” pinta Wati mengiba.“Kenapa? Apa kamu kasihan kepadanya? Kamu masih cinta kepadanya?” cecar Pak Sultan dengan suara yang semakin lama semakin tinggi karena emosi.“Iya, Wati. Kenapa kamu tidak mengizinkan? Ibu kira kamu mau menggugat cerai si Dedy,” timpal Bu Nara tak terima.Tiba-tiba Wati tersenyum, membuat bingung Pak Sultan dan Bu Sultan. Sementara Bu Nara melihat hal yang lain dari senyum Wati.“Atau kamu punya rencana sendiri untuk membalas Dedy dan Rara?” tanya Bu Nara curiga.“Iya, Bu. Aku punya rencana sendiri. Pembalasan yang akan membuat Dedy dan Rara lebih sakit daripada sekedar dihajar,” ujar Wati tenang.“Apa rencanamu?” tanya Bu Sultan ingin tahu.“Aku ingin membuat usaha Rara bangkrut, agar dia merasakan sakitnya
“Iya, Bu. Aku berencana membuka toko kelontong di pasar yang sama dengan Rara. Kalau perlu toko itu berhadapan dengan toko milik Rara. Toko itu menjual barang yang sama dengan barang yang Rara jual, bedanya harganya jauh lebih murah daripada barang di toko Rara,” Wati mengungkapkan rencananya.“Dengan cara itu, lama kelamaan toko Rara tidak laku dan tutup karena bangkrut. Cerdik,” puji Bu Sultan.“Bagus. Kamu pintar membuat strategi. Tak diragukan lagi kamu betul-betul anakku,” sahut Pak Sultan dengan senyum puas.“Agar berhasil, aku perlu bantuan Ayah dan Ibu untuk membeli kios di pasar dan mengisinya dengan barang-barang sembako seperti isi toko Rara,” kata Wati seraya menunduk.“Besok toko itu sudah akan kamu miliki. Apalagi yang kamu perlukan?” tanya Pak Sultan.“Saya perlu dua orang pegawai yang tepercaya untu
Rara mendengar omongan para pegawainya, tetapidia tidak peduli. Rara merasa mereka sangat membutuhkan pekerjaan di tokonya, hingga mau menerima gaji dan perlakuan apa saja dari majikan."Terserah kalian mau ngomong apa. Memangnya kalian bisa apa tanpa aku?" cibir Rara di dalam hati.Setelah jam makan siang, kesibukan toko di depan toko milik Rara sudah berkurang. Kios itu sudah berisikan barang-barang yang tertata rapi. Rara sempat melirik sekilas ke arah toko itu, lalu mencibir ke arah sepasang lelaki dan wanita yang ditebaknya sebagai suami istri.Rara kembali sibuk melayani pembeli, hingga tak lagi sempat memerhatikan toko di seberang sana. Ia baru tertarik untuk kembali melirik ketika mendengar salah satu calon pembelinya berseru cukup keras.“Lihat, itu ada toko kelontong baru. Harganya kok murah-murah betul. Kita coba ke sana, yuk,” ajak ibu-ibu kepada teman di sebelahnya.