Share

10. Siasat

Wati memang sengaja tidak melawan saat Rara menjambak rambutnya tadi. Wati bermaksud bermain halus. Ia tak akan terang-terangan memperlihatkan sikap memusuhi dan melawan Rara. Ia akan tetap bersikap sebagai madu yang tidak berdaya, sementara Wati menyusun rencana untuk menghancurkan Rara di belakangnya.

Wati lalu mengunci pintu kamarnya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya selama tinggal di rumah Rara. Setelah merasa yakin pintu kamarnya terkunci dengan baik, Wati mengeluarkan ponsel yang diberikan Bu Nara kepadanya tadi siang ketika ia berada di panti.

Wati merebahkan diri pada kasur tipis. Ia mengecek ponsel kecil yang kuno itu. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Bu Nara untuknya. Tak sabar, Wati membuka pesan dari Bu Nara dengan hati berdebar-debar.

“Ibu sudah menghubungi keluargamu, Ti. Mereka sangat senang mengetahui kamu sudah ditemukan. Mereka ingin bertemu kamu secepatnya. Mereka ingin menjemputmu besok sore. Kamu mau dijemput di rumah atau di panti?”

Wati berbunga-bunga membaca pesan dari Bu Nara. Harapannya akan kehidupan yang lebih baik bangkit kembali. Tak akan lagi ia diperlakukan seperti sampah di rumah ini. Ia memiliki keluarga sebagai sandaran.

Wati berpikir sejenak. Ia sangat ingin dijemput dari rumah ini. Terbayang di pelupuk mata Wati, pasti Rara dan Dedy akan ternganga apabila ia dijemput oleh keluarga yang selama ini tidak diketahui keberadaannya. Ia akan bisa melenggang penuh kemenangan di bawah tatapan tak percaya Dedy dan madunya. Nikmat sekali pasti rasanya.

Akan tetapi, Wati teringat bahwa kedua orang tuanya tidak mengetahui tentang kehidupan buruk yang dialaminya saat ini. Mereka mungkin akan bingung ketika mendapati dirinya yang diperlakukan sebagai babu di rumah Rara. Keadaan itu tidak sesuai dengan harapannya.

Tidak. Wati tidak akan minta dijemput di sini. Ia tidak boleh bertindak gegabah. Untuk membalas Rara, ia akan menyiapkan pembalasan dendam termanis.

 “Biar saya yang datang ke panti besok sore, Bu. Keluargaku belum tahu apa-apa tentang aku dan masalahku. Jangan sampai mereka bingung nantinya. Tunggu aku ya, Bu,” Wati mengirim balasan pesan kepada Bu Nara.

Setelah mengirim pesan, Wati termenung memikirkan rencananya untuk membalas Rara dan Wati. Hal pertama yang dipikirkan oleh Wati adalah mengambil buku nikahnya agar dapat mengurus perceraian.

Di mana Dedy menyimpan buku nikah itu? Setelah menikah, Wati belum pernah lagi melihat bukti pernikahan mereka. Ia harus mengambil buku itu sebelum pergi menemui keluarganya besok.

“Mbak! Mbak Wati, keluar!” teriak Rara dari depan pintu kamar.

Wati terkejut. Cepat-cepat ia menyembunyikan ponsel yang sedari tadi masih dipegangnya ke balik baju. Wati tak mau meninggalkan ponsel itu di dalam kamarnya. Meskipun Rara tak pernah masuk ke kamarnya, tapi ia tak mau mengambil risiko kehilangan benda paling berharga dalam hidupnya saat ini.

Wati membuka pintu kamar. Ia melihat Rara meringis kesakitan sambil memegangi perutnya.

“Belikan aku minuman pelancar haid ke warung. Sekarang!” perintah Rara seraya menyerahkan selembar uang ke depan wajah Wati.

Wati menerima lembaran uang dari Rara dengan ekspresi datar. Rara lalu mengerang memegangi perutnya. Ia sempoyongan lalu bersandar pada dinding. Dedy datang menghampiri Rara dengan tergopoh-gopoh. Raut wajahnya terlihat amat khawatir.

“Sayang, lebih baik kamu istirahat saja di kamar. Kataku juga biar aku saja yang menyuruh Wati ke warung,” marah Dedy.

Rara membiarkan dirinya dibimbing oleh Dedy untuk masuk kembali ke dalam kamar. Langkahnya tertatih-tatih dan goyah. Wati mengamati bahwa Rara dalam kondisi yang lemah.

Saat Wati terbengong, tiba-tiba Rara menoleh ke belakang dan berkata garang,

“Cepat! Disuruh sekarang malah bengong!” bentak Rara. Ternyata meskipun sedang sakit, kegalakan Rara tidak berkurang.

Wati gelagapan. Lekas-lekas ia berjalan menuju pintu keluar. Masih sempat didengarnya suara Dedy sebelum ia melangkah keluar dari pintu.

“Yah, malam ini gagal deh kita main, Sayang.”

Wati mempercepat langkahnya menuju warung. Ia mendadak muak mendengar suara Dedy barusan. Usai membeli barang yang diminta oleh Rara, Wati lekas-lekas pulang. Ia tak mau lagi mendapat kemarahan dari Rara. Sekarang bukan karena takut lagi, tapi telinganya sakit rasanya mendengarkan suara sember seperti radio rusak itu.

Sampai di rumah, Wati langsung mencari Rara untuk memberikan barang pesanannya. Saat Wati bergerak menuju kamar Rara untuk memberikan jamu, ia berpapasan dengan Dedy yang hendak keluar dari kamar.

“Mas, ini jamu yang diminta Rara sudah aku belikan,” lapor Wati.

“Rara sedang tidur. Berikan saja jamu itu kepadaku,” sahut Dedy.

Wati mengulurkan tangan memberikan bungkusan berisi jamu, tapi Dedy tidak mengambil bungkusan itu. Dedy malah menarik tangan Wati hingga Wati terjatuh ke dalam pelukannya.

“Kamu milikku malam ini,” bisik Dedy di telinga Wati.

Dedy menciumi leher Wati, sementara tangannya bergerilya di tubuh Wati. Wati diam tak bereaksi. Wajahnya pun datar tanpa ekspresi. Sekarang dia sadar, Dedy hanya mendatanginya saat Rara tak bisa dijamah. Terbukti, saat Rara haid barulah Dedy menginginkannya.

Tempo hari pun demikian, saat Rara tertidur barulah Dedy memasuki kamarnya. Saat pagi tiba, Dedy langsung pindah ke kamar Rara. Jadi itulah arti dirinya bagi Dedy, hanya ban serep ketika Rara tidak ada.

“Jangan sekarang, Mas. Ini masih siang. Rara bisa bangun kapan saja,” cegah Wati saat tangan Dedy bergerak hendak membuka kancing bajunya.

Dedy tersadar dari nafsunya. Ia bahkan menggerayangi Wati di depan kamar Rara. Kesal dengan kenyataan ini, Dedy melepaskan tubuh Wati secara kasar.

“Nanti malam,” bisiknya dengan napas memburu.

Wati melepaskan diri dari Dedy dengan perasaan lega. Ia langsung kabur menuju kamar mandi. Di sana ia langsung mandi untuk menghilangkan bekas jamahan Dedy di tubuhnya. Jijik rasanya ia terhadap tubuh yang telah disentuh oleh Dedy.

Pada malam harinya, Dedy mendatangi kamar Wati diam-diam. Saat membuka gagang pintu, ia terkejut mendapati pintu kamar Wati yang terkunci. Selama menikah dengan Wati, belum pernah Dedy tak bisa masuk ke kamar Wati.

“Ti, Wati ...,” panggil Dedy pelan dari balik pintu.

Tak ada jawaban dari Wati. Dedy kebingungan. Apakah Wati tertidur? Jika memang iya, mengapa pintu kamarnya dikunci segala?

Sementara itu di dalam kamar, Wati yang belum tidur bergegas merebahkan diri di kasur. Ia bermaksud pura-pura tidur, biar Dedy tak berhasil melampiaskan nafsunya.

“Wati, Wati, buka pintu,” panggil Dedy sekali lagi.

Masih tak ada bunyi apapun dari dalam kamar. Dedy menjadi murka. Hasratnya sudah sampai ke ubun-ubun, ia ingin segera menyalurkannya. Dedy mendorong-dorong pintu kamar Wati. Ia dapati bahwa pintu hanya diselot saja dari dalam. Nekad karena nafsu, Dedy mendorong pintu sekuat tenaga.

Krak!

Selot pintu patah dan pintu terbuka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status