“Iya, Bu. Aku berencana membuka toko kelontong di pasar yang sama dengan Rara. Kalau perlu toko itu berhadapan dengan toko milik Rara. Toko itu menjual barang yang sama dengan barang yang Rara jual, bedanya harganya jauh lebih murah daripada barang di toko Rara,” Wati mengungkapkan rencananya.
“Dengan cara itu, lama kelamaan toko Rara tidak laku dan tutup karena bangkrut. Cerdik,” puji Bu Sultan.
“Bagus. Kamu pintar membuat strategi. Tak diragukan lagi kamu betul-betul anakku,” sahut Pak Sultan dengan senyum puas.
“Agar berhasil, aku perlu bantuan Ayah dan Ibu untuk membeli kios di pasar dan mengisinya dengan barang-barang sembako seperti isi toko Rara,” kata Wati seraya menunduk.
“Besok toko itu sudah akan kamu miliki. Apalagi yang kamu perlukan?” tanya Pak Sultan.
“Saya perlu dua orang pegawai yang tepercaya untu
Rara mendengar omongan para pegawainya, tetapidia tidak peduli. Rara merasa mereka sangat membutuhkan pekerjaan di tokonya, hingga mau menerima gaji dan perlakuan apa saja dari majikan."Terserah kalian mau ngomong apa. Memangnya kalian bisa apa tanpa aku?" cibir Rara di dalam hati.Setelah jam makan siang, kesibukan toko di depan toko milik Rara sudah berkurang. Kios itu sudah berisikan barang-barang yang tertata rapi. Rara sempat melirik sekilas ke arah toko itu, lalu mencibir ke arah sepasang lelaki dan wanita yang ditebaknya sebagai suami istri.Rara kembali sibuk melayani pembeli, hingga tak lagi sempat memerhatikan toko di seberang sana. Ia baru tertarik untuk kembali melirik ketika mendengar salah satu calon pembelinya berseru cukup keras.“Lihat, itu ada toko kelontong baru. Harganya kok murah-murah betul. Kita coba ke sana, yuk,” ajak ibu-ibu kepada teman di sebelahnya.
Para pegawai toko Rara meriung di belakang toko. Mereka merumpi dengan berbisik-bisik. Sebetulnya Dedy dapat mendengar obrolan para pegawainya, tetapimemilih diam dan tak menghiraukan. Dedy asyik mengkhayalkan Wati, berbuat apa saja semaunya bersama Wati di dalam lamunan. Begitulah Dedy bila sedang ingin, otaknya hanya mau memikirkan hal-hal mesum.“Mas, kok betah sih kerja di sini?” tanya Siti pelan kepada Wawan yang baru saja selesai menata barang di toko.“Bukan betah, sudah lama aku mau pindah, tetapibelum ada pekerjaan yang lebih baik. Aku enggakmungkin menganggur. Ada istri dan anak yang harus aku nafkahi,” jawab Wawan murung.“Kalau Mbak Sri, kok betah kerja di sini selama dua tahun?” bisik Siti kepada Sri, perempuan paling senior diantara para pegawai Rara.“Aku ini janda, Sit. Punya anak kecil dan ibuku sudah tua. Mereka perlu aku b
“Ehem! Bu, harap jangan membuat keributan di sini,” berat suara lelaki terdengar di belakang Rara.Rara berbalik. Ia melihat lelaki kekar berbadan besar yang menjadi pegawai toko berdiri tegak sambil bersedekap. Tatapan matanya tidak ramah, bahkan seolah mengancam Rara. Rara ciut juga melihat otot-otot besar si lelaki.Rara berbalik pergi tanpa basa-basi. Ia menyumpah-nyumpah di dalam hati.“Huft, untung saja,” desah Bu Diwo lega. Bu Diwo kembali mengambil dua kilo gula yang tadi sempat diletakkannya karena tak enak hati kepada Rara.“Bagaimana, Sayang?” sambut Dedy di depan toko.“Toko itu punya preman, Mas,” ujar Rara jengkel, bola matanya melirik dari sudut mata ke arah si lelaki kekar yang kini berdiri tegap di depan toko.“Kamu terlalu tegang. Sini aku pijiti,” kata Dedy seraya memijat lembut pu
Dedy lalu melompat ke kasur dengan penuh semangat, menemui Rara yang sudah siap menyambutnya dengan nafsu yang sama. Namun baru beberapa detik di kasur, Dedy mulai merasakan panas yang tak biasa. Semakin lama semakin terasa menyengat. Apalagi setelah Rara berkata,“Mas, kamu kok bau minyak kayu putih?” celetuk Rara seraya mengernyitkan hidung.Dedy memandang ke bawah perutnya seraya meringis kepanasan. Betul kata Rara, menguar bau minyak kayu putih yang kuat dari bawah tubuhnya.“Kamu salah ambil botol? Ceroboh!” marah Rara kesal.“Aku enggaksalah ambil botol, kok. Lihat!” Dedy turun dari kasur, lalu menunjukkan botol obat oles yang tadi dipakainya kepada Rara.Rara menyambar botol obat oles itu, lalu membuka tutupnya. Bau minyak kayu putih keluar dari dalamnya.“Ada yang sudah mengganti isi botol ini dengan min
Rara menggelengkan kepala dengan tegas.“Aku kan yang punya toko, wajar kalau ongkang-ongkang kaki. Mas kan enggakpunya modal, jadi Mas yang kerja. Lagipula dulu Mas kan juga pegawai di sini, pasti bisa membereskan barang-barang ini dengan cepat,” kilah Rara.Sambil menggerutu di dalam hati, Dedy melaksanakan perintah Rara. Mengapa sekarang dia yang dijadikan babu oleh Rara? Apes.Selama menata barang-barang ke rak, Dedy merenungi nasibnya. Mengapa hidupnya jadi tak karuan setelah Wati pergi? Musibah datang silih berganti. Sekarang malah ia diperlakukan bak kacung oleh istrinya sendiri. Ada apakah ini? Dedy tak habis mengerti.Dedy mulai berpikir bahwa Wati adalah pembawa keberuntungan baginya. Setelah Wati pergi, kesialan datang tak henti-henti. Entah bagaimana nasibnya setelah ini.Sepanjang pagi hingga siang, belum ada satu pun pembeli di toko Rara. Semua pel
“Gila!” Lelaki kekar itu mencengkeram pundak Dedy, lalu membalikkan badan Dedy secara paksa. Kemudian lelaki itu mendorong kuat-kuat Dedy agar kembali ke tempatnya semula. Saking kerasnya mendorong, Dedy jatuh terjerembab ke air comberan yang tergenang di tanah hingga wajahnya kotor. Suara tawa kembali membahana. Wajah Dedy memerah karena malu dan marah. Seumur hidup baru kali inilah ia dipermalukan di depan umum seperti ini. Dedy bangkit dan melirik penuh dendam ke arah lelaki kekar yang tadi mendorongnya. Dedy kembali kepada Rara. Rara juga tengah memandang penuh amarah kepada orang-orang yang bergerombol di depan toko seberang. Tanpa bicara lagi, Rara masuk kembali ke dalam tokonya. Dedy mengikuti dari belakang. Tidak lama Wati atau Shelia berkunjung, ia pulang tak lama kemudian. Dengan diantarkan oleh semua pegawai di tokonya, Shelia pulang dengan mobil yang tadi mengantarnya datang. Dari
Hanya berjarak tiga toko dari toko milik Wati dibakar, seorang ibu-ibu terbangun karena terbatuk-batuk.“Uhuk! Ya ampun, bau asap. Dari mana asap ini?” gumamnya seraya mengucek matanya yang masih mengantuk.Semalam, ia dan suaminya lembur untuk menghitung stok barang di tokonya. Kegiatan itu sudah biasa dilakukannya setiap menjelang akhir tahun. Akibat kemalaman, ia dan suaminya memutuskan untuk menginap di kios, alih-alih pulang ke rumah mereka seperti biasa.Ibu-ibu itu melihat ada cahaya terang dari luar kios, masuk melalui celah-celah papan penutup kios. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia mengintip melalui sela-sela papan yang renggang.“Ya, Allah! Kebakaran!” pekik ibu-ibu itu panik.Cepat ibu-ibu itu berbalik, lalu mengguncang keras-keras tubuh suaminya.“Pak, bangun! Ada kebakaran!” teriak ibu-ibu itu, gemetaran karena
Sebuah mobil panjang berbentuk rendah tetapisangat indah sudah menanti Wati dan Lily di depan gerbang. Warnanya cokelat dengan desain yang mewah dan glamor. Seorang lelaki berpakaian seragam tegak berdiri di dekat mobil. Belum pernah Wati melihat mobil seperti itu sebelumnya, baik di jalan raya maupun di teve yang sudah lama tak ditontonnya.“Mobilnya bagus sekali. Apakah ini milik ayahku?” tanya Wati kagum.“Mobil ini namanya Lamborghini Aventador, Nona. Salah satu dari mobil milik Nyonya. Kata Nyonya, mobil ini boleh Nona miliki,” jelas Lily lagi.“Wah, betulkah itu? Aku belum pernah menaiki mobil sebagus ini. Bahkan menyetir mobil saja aku enggakbisa,” ungkap Wati malu.Lily tersenyum maklum. Tidak ada pandangan menghina dari sorot matanya yang bening.“Tidak apa, Nona. Tuan dan Nyonya punya beberapa supir pribadi. Nona bis