“Ehem! Bu, harap jangan membuat keributan di sini,” berat suara lelaki terdengar di belakang Rara.
Rara berbalik. Ia melihat lelaki kekar berbadan besar yang menjadi pegawai toko berdiri tegak sambil bersedekap. Tatapan matanya tidak ramah, bahkan seolah mengancam Rara. Rara ciut juga melihat otot-otot besar si lelaki.
Rara berbalik pergi tanpa basa-basi. Ia menyumpah-nyumpah di dalam hati.
“Huft, untung saja,” desah Bu Diwo lega. Bu Diwo kembali mengambil dua kilo gula yang tadi sempat diletakkannya karena tak enak hati kepada Rara.
“Bagaimana, Sayang?” sambut Dedy di depan toko.
“Toko itu punya preman, Mas,” ujar Rara jengkel, bola matanya melirik dari sudut mata ke arah si lelaki kekar yang kini berdiri tegap di depan toko.
“Kamu terlalu tegang. Sini aku pijiti,” kata Dedy seraya memijat lembut pu
Dedy lalu melompat ke kasur dengan penuh semangat, menemui Rara yang sudah siap menyambutnya dengan nafsu yang sama. Namun baru beberapa detik di kasur, Dedy mulai merasakan panas yang tak biasa. Semakin lama semakin terasa menyengat. Apalagi setelah Rara berkata,“Mas, kamu kok bau minyak kayu putih?” celetuk Rara seraya mengernyitkan hidung.Dedy memandang ke bawah perutnya seraya meringis kepanasan. Betul kata Rara, menguar bau minyak kayu putih yang kuat dari bawah tubuhnya.“Kamu salah ambil botol? Ceroboh!” marah Rara kesal.“Aku enggaksalah ambil botol, kok. Lihat!” Dedy turun dari kasur, lalu menunjukkan botol obat oles yang tadi dipakainya kepada Rara.Rara menyambar botol obat oles itu, lalu membuka tutupnya. Bau minyak kayu putih keluar dari dalamnya.“Ada yang sudah mengganti isi botol ini dengan min
Rara menggelengkan kepala dengan tegas.“Aku kan yang punya toko, wajar kalau ongkang-ongkang kaki. Mas kan enggakpunya modal, jadi Mas yang kerja. Lagipula dulu Mas kan juga pegawai di sini, pasti bisa membereskan barang-barang ini dengan cepat,” kilah Rara.Sambil menggerutu di dalam hati, Dedy melaksanakan perintah Rara. Mengapa sekarang dia yang dijadikan babu oleh Rara? Apes.Selama menata barang-barang ke rak, Dedy merenungi nasibnya. Mengapa hidupnya jadi tak karuan setelah Wati pergi? Musibah datang silih berganti. Sekarang malah ia diperlakukan bak kacung oleh istrinya sendiri. Ada apakah ini? Dedy tak habis mengerti.Dedy mulai berpikir bahwa Wati adalah pembawa keberuntungan baginya. Setelah Wati pergi, kesialan datang tak henti-henti. Entah bagaimana nasibnya setelah ini.Sepanjang pagi hingga siang, belum ada satu pun pembeli di toko Rara. Semua pel
“Gila!” Lelaki kekar itu mencengkeram pundak Dedy, lalu membalikkan badan Dedy secara paksa. Kemudian lelaki itu mendorong kuat-kuat Dedy agar kembali ke tempatnya semula. Saking kerasnya mendorong, Dedy jatuh terjerembab ke air comberan yang tergenang di tanah hingga wajahnya kotor. Suara tawa kembali membahana. Wajah Dedy memerah karena malu dan marah. Seumur hidup baru kali inilah ia dipermalukan di depan umum seperti ini. Dedy bangkit dan melirik penuh dendam ke arah lelaki kekar yang tadi mendorongnya. Dedy kembali kepada Rara. Rara juga tengah memandang penuh amarah kepada orang-orang yang bergerombol di depan toko seberang. Tanpa bicara lagi, Rara masuk kembali ke dalam tokonya. Dedy mengikuti dari belakang. Tidak lama Wati atau Shelia berkunjung, ia pulang tak lama kemudian. Dengan diantarkan oleh semua pegawai di tokonya, Shelia pulang dengan mobil yang tadi mengantarnya datang. Dari
Hanya berjarak tiga toko dari toko milik Wati dibakar, seorang ibu-ibu terbangun karena terbatuk-batuk.“Uhuk! Ya ampun, bau asap. Dari mana asap ini?” gumamnya seraya mengucek matanya yang masih mengantuk.Semalam, ia dan suaminya lembur untuk menghitung stok barang di tokonya. Kegiatan itu sudah biasa dilakukannya setiap menjelang akhir tahun. Akibat kemalaman, ia dan suaminya memutuskan untuk menginap di kios, alih-alih pulang ke rumah mereka seperti biasa.Ibu-ibu itu melihat ada cahaya terang dari luar kios, masuk melalui celah-celah papan penutup kios. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia mengintip melalui sela-sela papan yang renggang.“Ya, Allah! Kebakaran!” pekik ibu-ibu itu panik.Cepat ibu-ibu itu berbalik, lalu mengguncang keras-keras tubuh suaminya.“Pak, bangun! Ada kebakaran!” teriak ibu-ibu itu, gemetaran karena
Sebuah mobil panjang berbentuk rendah tetapisangat indah sudah menanti Wati dan Lily di depan gerbang. Warnanya cokelat dengan desain yang mewah dan glamor. Seorang lelaki berpakaian seragam tegak berdiri di dekat mobil. Belum pernah Wati melihat mobil seperti itu sebelumnya, baik di jalan raya maupun di teve yang sudah lama tak ditontonnya.“Mobilnya bagus sekali. Apakah ini milik ayahku?” tanya Wati kagum.“Mobil ini namanya Lamborghini Aventador, Nona. Salah satu dari mobil milik Nyonya. Kata Nyonya, mobil ini boleh Nona miliki,” jelas Lily lagi.“Wah, betulkah itu? Aku belum pernah menaiki mobil sebagus ini. Bahkan menyetir mobil saja aku enggakbisa,” ungkap Wati malu.Lily tersenyum maklum. Tidak ada pandangan menghina dari sorot matanya yang bening.“Tidak apa, Nona. Tuan dan Nyonya punya beberapa supir pribadi. Nona bis
“Kios itu sudah aku bakar. Besok pasti mereka tidak bisa lagi berjualan,” lapor Dedy kepada Rara pada saat dini hari. “Kamu yakin kan Mas, kios itu betul-betul terbakar? Jangan sampai ada bagian yang masih selamat,” tanya Rara untuk memastikan lagi. “Aku yakin. Keempat penjuru bangunannya sudah aku siram dengan bensin. Mustahil tidak terbakar habis,” tegas Dedy. Rara tersenyum puas. “Sekarang, kamu harus memberiku upah yang layak,” kata Dedy seraya menarik tubuh Rara ke dalam pelukannya. Malam itu, ranjang di kamar Rara berderit-derit oleh ulah dua manusia di atasnya. Dinding-dinding menjadi saksi bisu pergulatan mereka. Baik Rara maupun Dedy tak punya firasat sama sekali bahwa esok hari masalah yang lebih besar sudah menghadang mereka. *** Pasar sangat ramai. Bukan karena banyaknya pembeli yang menyerbu pedagang, teta
“Memang polisi sejak dini hari tadi sudah datang ke tempat kebakaran,” kata seseorang.“Oya? tetapipagi-pagi tadi enggakada polisi yang datang kemari kok,” sanggah suara lain.“Mereka sudah pulang. Mereka hanya sebentar di sini, berkeliling dan memungut-mungut apa aku enggaktahu. Saat pasar mulai ramai, mereka pergi,” jelas suara pertama.Rara semakin ciut mendengar obrolan itu. Ia melirik ke arah sumber suara, ternyata pedagang yang tadi mengobrol tengah menatap dirinya. Rara mempercepat langkah, agar tak lagi menjadi tontonan gratis seluruh warga pasar. Berdua dengan Pak Polisi, Rara melaju pulang ke rumahnya dengan sepeda motor milik Pak Polisi.Rara turun di depan rumah. Ia bergegas menarik gagang pintu, tetapiternyata pintu terkunci.“Sepertinya suami saya belum pulang, Pak. Lihat, pintu rumah saya masih terku
“Sudah jangan manja, Mas. Toh ini hanya sementara. Nanti kalau keadaan sudah aman, kita cari pembantu saja,” ujar Rara.“Ini semua gara-gara Wati kabur. Rumah jadi berantakan begini. Semua urusan enggakberes. Kok dia enggakbalik-balik, ya,” keluh Dedy.Rara mencebikkan bibir.“Kalau dia enggakbalik lagi, mungkin dia sudah mati di jalanan. enggakpunya uang, keterampilan, dan keluarga. Paling baik juga dia berakhir jadi PSK,” cetus Rara kesal. Ia tak suka Dedy masih mengungkit-ungkit Wati di depan dirinya.“Sudah, aku hampir terlambat ini. Aku tinggal dulu, Mas,” Rara menyudahi.“Lha, terus aku sarapan apa pagi ini? Tolong belikan aku bubur ayam gitu, Sayang,” rayu Dedy lagi.“Wah, aku enggaksempat. Makan mi saja dulu,” ulang Rara lagi, lalu ia menyandang tas b