Share

5. Keputusan

Belum sempat Wati menjawab lagi, Rara sudah berada di hadapan mereka berdua. 

Tatapan matanya terlihat tidak suka saat mendapati Wati berbicara di dekat Dedy. Wati mundur, memberikan tempat buat Rara untuk naik ke boncengan sepeda motor Dedy.

“Kami pergi sekarang. Jangan lupa antar makan siang buat kami dan pegawai,” ketus Rara.

Salah satu tugas Wati mengantarkan makan siang buat Dedi dan Rara, juga beberapa pekerja toko yang berbilang tak sampai lima orang. 

Rara memerintahkan Wati untuk memasak makan siang bagi para pegawainya, agar dia tak perlu memberi uang makan bagi para pekerja itu.

Dedy dan Rara pun berlalu—meninggalkan Wati yang menatap dua sejoli itu pergi. 

Sambil memandang kepulan asap dari sepeda motor Dedy yang meraung pergi, Wati menentukan sikap. Ia berbalik masuk kembali ke dalam rumah, lalu masuk ke dalam kamarnya.

Saat tadi Dedy menolak permintaannya untuk mengunjungi Bu Nara, Wati sudah tahu bahwa Dedy tak akan pernah mengizinkannya menemui Bu Nara. 

Untuk menemui Bu Nara, ia harus melakukannya sendiri secara diam-diam. Tekad Wati sudah bulat. 

“Aku harus menemu Bu Nara dan mengambil ijazah yang dulu kutitip,” lirih Wati. 

Ia akan melamar pekerjaan dengan ijazah itu. Pekerjaan apa saja yang penting ia punya penghasilan sendiri. Wati tak berkeberatan meskipun hanya menjadi pelayan di warung makan atau buruh pabrik yang hanya bertugas buang benang baju-baju produksi konfeksi. 

Dari tetangga di rumah gubuknya dulu Wati mengetahui, bahwa gaji pelayan warung makan dan buruh pabrik itu kecil, sementara jam kerjanya sangat panjang dan melelahkan. Mendengar itu, Wati tidak tertarik untuk menjadi buruh sama sekali. 

Akan tetapi, sekarang Wati tidak takut untuk bekerja keras. Paling tidak, ia digaji. 

Tidak seperti sekarang, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah, tetapi hanya diganjar makan sehari-hari. 

Suami pun harus berbagi, itu juga ia jarang mendapatkan jatah.

Wati tak ingin lagi dihina Rara karena tak punya uang dan tak punya pekerjaan. Kalau ia keluar dari rumah ini, Wati ingin pergi dalam keadaan mulia dan tak lagi terhina.

Satu-satunya hal yang masih mengganjal pikiran Wati hanyalah ia masih berstatus sebagai istri Dedy. 

Wati masih penasaran, apakah betul Dedy masih mencintainya? Buktinya, Dedy tak mau menceraikannya.

Tak bisa Wati pungkiri, ia masih mencintai Dedy. Hubungan mereka sudah terjalin lama. Cinta itu juga yang membuat Wati mau menikah dengan Dedy meskipun Dedy belum punya pekerjaan tetap. Sekarang baru terasa oleh Wati, betapa gegabahnya dulu keputusannya.

Apakah betul Dedy menikahi Rara agar mereka bisa hidup bahagia berdua? Betulkah Rara sakit parah dan akan segera meninggal? Wati diombang-ambingkan perasaan. Ia kebingungan.

“Arggh.” Kepala Wati serasa ingin pecah. 

Niat Wati untuk menemui Bu Nara semakin mantap. Ia harus meminta pendapat Bu Nara tentang banyak hal. Ia harus menemui Bu Nara.

Wati berlari masuk ke dalam rumah Rara kembali. Sebuah rencana mulai tersusun di kepalanya. 

*****

Wati mengambil tas kain jelek yang menjadi satu-satunya tas yang dimilikinya setelah menikah dengan Dedy. 

Ia memasukkan dompet ke dalam tas dan bersiap-siap untuk pergi pada waktu yang telah direncanakan. 

Sekarang, ia harus mengantarkan makan siang lebih dulu. Ia kenakan pakaiannya yang terbagus, meskipun itu pun warnanya sudah pudar dan terlihat lusuh.

Semua sudah Wati rencanakan matang-matang. 

*****

Tepat pukul satu siang. 

Setelah mengantarkan makan siang ke toko kelontong milik Rara, Wati melaksanakan aksi. 

Pada jam-jam begini, Dedi dan Rara sedang sibuk di toko. Mereka tidak akan pulang sampai sore menjelang malam. Wati bebas!

Wati keluar dari rumah dengan hati gembira. Harapan akan bertemu lagi dengan ibu pengurus panti yang baik membuat Wati bersemangat. Dengan bersenandung kecil, Wati berjalan menuju tepi jalan besar untuk menunggu angkutan kota.

Wati tidak bisa menggunakan ojek online untuk bepergian karena tidak punya ponsel. 

Rara juga tidak pernah mengizinkan Wati untuk memiliki alat komunikasi itu– meskipun ponsel dengan harga paling murah. 

Hanya Dedy yang diberi ponsel oleh Rara, setelah mereka resmi menikah.

Jarak antara rumah Rara dengan panti asuhan tempat dulu Wati dibesarkan tidak terlalu jauh. Wati bersyukur karena itu artinya ia tak perlu banyak menghabiskan waktu.

Tiga puluh menit di perjalanan, Wati sampai di depan rumah yatim piatu tempatnya dulu dibesarkan. Melihat bangunan itu saja sudah membuat hati Wati merasa senang.

Bangunannya masih seperti dua tahun yang lalu, saat ia meninggalkan rumah yatim itu untuk menikah dengan Dedy. Hanya cat temboknya saja sudah diperbaharui sehingga rumah itu terlihat lebih berseri.

“Permisiii,” seru Wati setelah mengetuk pintu utama rumah yatim piatu itu.

Tidak lama menunggu, Wati mendengar langkah-langkah kaki mendekati pintu. 

Saat pintu terbuka, Wati melihat ibu pengurus panti yang telah semakin tua terbelalak di hadapannya. “Wa—wati? Kamu Wati, kan?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei anjing, dungu kau melebihi wanita idiot wati. anjing aja lebih pintar dari kau
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status