Pertama kalinya Jelita melayani William di meja makan, lelaki itu tak banyak bicara dan tak suka diajak bicara. Jelita salah tingkah kalau dekat-dekat dengannya. Entah kenapa William kerap menatapnya dengan sorot mata mengusir. Seakan tubuhnya penuh kuman dan virus yang sangat menular.
‘Beda banget dengan ibunya yang baik dan ramah. Mungkin dia menuruni sifat bapaknya,’ pikir Jelita cuma menerka-nerka, dia sendiri tak tahu seperti apa suami Nyonya Cindy sebab perempuan itu sudah lama sekali menjanda, dan tak ada satupun foto suaminya tampak terpajang di dinding rumahnya yang megah ini. Semua foto hanya menampilkan Nyonya Cindy beserta ketiga anaknya yang semua lelaki, William salah satunya.
‘Apa aku bakal betah serumah dengan manusia kutub ini?’ batin Jelita sambil geleng-geleng kepala memikirkan sikap William kepadanya. Tapi dibanding tinggal di kampung ini dengan keluarga besar yang membencinya, lebih baik ikut William ke Jakarta dan menjadi asisten rumah tangganya.
“Semua barang yang mau dibawa William sudah kamu siapkan?” Nyonya Cindy menegur saat Jelita sedang mencuci piring.
“Sudah, Nyonya.”
“Sudah kamu pastikan lagi ke William kalau memang cuma itu yang akan dia bawa?”
“B-belum, Nyonya.”
Nyonya Cindy geleng-geleng kepala. “Biasakan untuk selalu bertanya padanya, apakah tugas yang kamu lakukan itu sudah seperti yang dia inginkan atau belum. Jangan sampai dia yang menegurmu.”
“B-baik, Nyonya.”
Jelita sudah menerka jika William pasti orang yang cukup sulit untuk ditangani, tapi mau bagaimana lagi, Jelita butuh perkerjaan ini maka dia harus bisa menyesuaikan diri dengan sang tuan.
Jelita mendekati William yang sedang menatap layar laptopnya.
“Permisi ..., T-tuan?”
“Tuan? Menggelikan.”
Bahkan pria itu bicara tanpa menoleh sedikitpun kepada Jelita.
“Ma-maaf ..., maksud saya ... Pak,” Jelita menggigit bibir, dan dia cukup lega karena William tak bersuara lagi, artinya dia setuju dipanggil begitu. “Saya sudah selesai menyiapkan kopor dan barang-barang Bapak, ini ... listnya. Tolong dicek, khawatir ada yang terlewat.” Jelita meletakkan selembar kertas, berisi daftar barang yang sudah dia kemas.
Akhirnya William menoleh juga, tapi bukan kepada Jelita, pria itu menatap kertas tadi dan mengeceknya kemudian mengangguk-angguk dan beralih lagi ke layar laptopnya.
“Sudah semua, Pak?”
William mengangguk, masih tanpa menatapnya.
“Baik. Saya permisi, Pak.”
Jelita meninggalkan William tanpa menunggu sahutannya, toh dia yakin pria itu tak bakal menyahutinya.
‘Apa nyonya Cindy dulu ngidam es batu ya pas hamil dia? Dingin amat jadi orang.’ Jelita cuma bisa membatin, tapi dia sudah menyiapkan hatinya. Sebab dia bekerja dengan William bukan untuk satu atau dua minggu saja, tapi selama mungkin. Setidaknya sampai dia sanggup tinggal sendiri di Jakarta. Sebab dia sudah bertekad untuk tak lagi menginjakkan kakinya ke kampung ini. Tak ada harapan di sini. Ibu-bapaknya sudah sama-sama mati. Keluarga besar membencinya. Dan Jelita juga sudah terlalu lelah dipandang sebelah mata selama hidup di kampung ini karena kemiskinannya. Jelita ingin meninggalkan masa lalu kelamnya di sini, dan menyambut masa depan cerahnya di Jakarta.
‘Aku tak akan kembali ke sini, kalaupun aku harus kembali maka itu adalah saat di mana aku bisa seperti Nyonya Cindy, yang sukses dan dihormati. Bukan lagi dicaci dan dibenci.’
Dan hari ini seperti menjadi lembar sejarah baru bagi kehidupan Jelita, di mana dia akhirnya akan pergi meninggalkan kampung ini.
Nyonya Cindy turut mengantar William dan Jelita sampai bandara Radin Inten.
“Lita, aku titip misi khusus padamu,” bisik Nyonya Cindy setelah tadi pura-pura minta ditemani ke toilet, agar bisa menjauh dulu dari William.
“Misi khusus?” Jelita terlihat bingung.Nyonya Cindy merapatkan diri pada Jelita dan membisikkan sesuatu yang sepertinya rahasia. “Aku ingin kamu jadi mata-mataku di sana. Aku penasaran tentang perempuan yang jadi pacar William. Dia belum menunjukkan lagi padaku seperti apa sosok pacarnya kali ini. Padahal aku perlu tahu bagaimana bibit, bebet, bobot perempuan yang akan jadi calon menantuku. William sudah cukup usia untuk menikah, jangan sampai dia salah pilih dan putus lagi. Kalau begitu terus, kapan dia mau nikahnya coba? Nah, kalau kamu tahu sesuatu tentang perempuan yang sedang dekat dengannya di Jakarta nanti, cepat beritahu aku, tapi hati-hati jangan sampai ketahuan. Dia bisa mengamuk nanti,” katanya mewanti-wanti.Jelita mengangguk-anguk dan Nyonya Cindy tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Jelita, seakan dia sedang meletakkan tugas itu di pundaknya.
Setelah itu mereka kembali menuju William.
Nyonya Cindy mencium kedua pipi William dan memeluknya saat puteranya itu berpamitan. “Oya. Will, jaga Jelita baik-baik, anggap saja adikmu sendiri. Kasihan dia. Jakarta tempat yang sangat asing baginya. Dia baru 19 tahun, tapi sudah banyak melalui hal berat dalam hidupnya,” pesannya sambil menepuk-nepuk lembut lengan sang putera.
William terkejut mengetahui usia Jelita yang masih muda. Sekilas gadis itu terlihat lebih dewasa dari usia yang sebenarnya. Mungkin karena gadis itu telah dikeraskan oleh hidup hingga membuatnya tampak lebih matang dibanding gadis-gadis seusianya.
Nyonya Cindy beralih memeluk Jelita seperti memeluk puterinya sendiri. “Baik-baik kamu di sana ya,” pesannya disertai senyum keibuan.
“Terima kasih, Nyonya.” Lalu Jelita menyalaminya dengan hormat.
Jelita kemudian mengikuti langkah William untuk melakukan check in, selanjutnya mereka menuju boarding room, ruang bagi penumpang untuk menunggu dipanggil menaiki pesawat. Jelita sejak tadi diam, tapi kepalanya sibuk menoleh ke mana-mana, mengamati suasana bandara yang baru pertama dikenalnya.
Saat panggilan boarding tiba, Jelita kembali membuntuti langkah William menuju kabin pesawat. Jantungnya berdebar hebat karena gugup. Gadis itu menyimak dengan serius arahan pramugari tentang keselamatan selama penerbangan. Baginya yang baru pertama naik pesawat, arahan itu seperti menyangkut hidup dan matinya.
Saat pesawat mulai lepas landas, tangan Jelita meremas-remas ujung bajunya yang menjuntai di lutut. Bibirnya komat-kamit bagai merapal mantra. Matanya yang terpejam perlahan mulai terbuka kala pesawat mengangkasa. “Aku terbang ...,” bisiknya seraya meletakkan keningnya ke kaca jendela. Sambil menyentuh kaca, gadis itu mengetuk-ngetukkan ujung jarinya membuat sebuah irama. Saat itulah William menyadari kalau jemari gadis itu amatlah cantik dan begitu lentik, dengan kukunya yang bersih terawat, padahal dia sering melakukan pekerjaan dapur dan pekerjaan rumah tangga lainnya yang merepotkan.
Senyum gadis itu mengembang menatap awan putih yang berderak di luar sana. Lalu menoleh pada William dengan mata berbinar senang. “Indah banget, ya?” ujarnya lirih disertai senyum paling murni yang pernah dilihat William.
Untuk sejenak, William tertegun. Kemudian pria itu membalas dengan segaris senyum kaku di bibirnya.
***
William terpaksa menggandeng tangan Jelita setibanya di bandara Soekarno-Hatta. Khawatir kalau-kalau gadis itu tertinggal jauh di belakangnya lalu hilang karena kebanyakan menoleh seperti orang linglung. Kalau sampai hilang, bakal lebih merepotkan dan bikin pusing saja. Dia tak boleh lupa kalau yang dia bawa ini gadis kampung yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di bandara sebesar ini. Dua jam kemudian, mobil yang membawa mereka sampai di sebuah komplek perumahan. Jelita tertegun memandangi rumah-rumah besar di sekelilingnya. Mulutnya nyaris menganga sepanjang waktu. Ini memang bukan jenis komplek perumahan biasa, komplek ini ditinggali golongan orang-orang menengah atas, bahkan ada juga politisi dan artis ternama ibukota. “Masuk,” perintah William karena sejak tadi Jelita diam mematung saja memandangi rumahnya. Meskipun rumah William tak semegah rumah Nyonya Cindy di kampung, tetapi rumah ini terlihat cantik dan estetik. “Wah. Rumahnya Bapak bagus banget.” Rumah William me
Jelita menuruni tangga dan mencari-cari letak dapur. Tadi William sempat berpesan padanya agar tak sungkan untuk mempelajari isi rumah ini tanpa perlu izin dulu darinya. Dan gadis itu ternganga begitu menemukan ruang dapur yang sungguh apik. Beberapa perlengkapan memasak tergantung rapi dan terlihat masih seperti baru. Entah jarang dipakai atau memang karena terawat baik. Tapi ia rasa yang kedua. Jelita haus dan mengambil minum dari dalam kulkas yang pintunya dipenuhi magnet souvenir dari berbagai kota dan negara. Lalu duduk di kursi konter yang tinggi dengan bantalan empuknya yang berwarna merah. Jelita mengangguk hormat melihat William juga memasuki dapur. “Bapak suka warna merah, ya?” Jelita berkata untuk mengurai kecanggungan, sambil mengedarkan pandang mengamati aneka perabot dan furniture dapur yang didominasi warna merah, kemudian menyodori William segelas air dingin. “Silakan, Pak."William menerima dan meneguknya sampai habis, lalu meletakkan gelas kosongnya di meja sambi
Jelita merapikan peralatan makan dan mencuci piring, lalu membersihkan dapur. Sedangkan William keluar dari ruang makan dengan agak terburu-buru sambil menerima telepon. Kemudian pria itu berkutat di depan laptop dengan mimik tegang dan serius di sebuah meja. Jelita yang memperhatikannya membatin, ‘Dia sudah kembali menjadi William yang dingin dan kaku.’Dua jam kemudian, William memanggil. “Lita ..., tolong bikinin kopi.” Pria itu bicara tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop yang menampilkan aneka grafik yang rumit.“Iya, Bang.” Jelita menyahut sambil mengelap tangannya yang basah sehabis mengepel area dapur dan ruang makan. Gadis itu membuka-buka rak mencari kopi dan menemukannya dalam dua wadah tabung kaca yang berbeda. Dia tak tahu kopi mana yang diinginkan William. Jelita pun menghampiri William dan bertanya ingin kopi yang mana, dengan menunjukkan keduanya.William menoleh dengan kening yang dipenuhi kerut, dan menghela napas yang kedengarannya tidak enak. “Ini,” kata
William merenggangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal setelah tak terasa sekian jam duduk di kursi dan bergelut dengan pekerjaan. Pria itu menutup laptop setelah hari menjelang malam. Dia merasa penat dan butuh kopi panas. Mulutnya hampir saja menyerukan nama Jelita, tapi kemudian dia teringat kejadian tak mengenakkan soal kopi tadi. "Kubikin sendiri saja," gumamnya sambil beranjak ke dapur. Saat menyalakan kompor, keningnya berkerut dan mengecek gas. Kemudian dia baru teringat jika sepertinya tadi Jelita sempat membahas soal gas habis ketika menyela urusannya. William pun memakai ketel listrik untuk mendidihkan air. "Padahal tadi dia bisa pakai ini kalau gas habis." Tapi kemudian pria itu termenung dan memikirkan beberapa hal. William menghela napas setelah menyadari sesuatu. Bagaimanapun Jelita asisten rumah tangganya yang baru dan benar-benar baru datang dari kampung. Gadis itu masih dalam proses adaptasi dengan rumah ini dan pekerjaan barunya, bahkan William lupa tidak memberita
"Nah, aku akan memberi training singkat padamu. Kuharap kamu cepat belajar, aku terlalu sibuk kalau harus mengajarimu lagi besok-besok.” William meluangkan waktu di hari libur terakhirnya ini untuk memberikan training pada Jelita. Dia menjelaskan banyak hal terkait pekerjaan yang perlu dilakukan Jelita dirumahnya. Juga mengajari gadis itu cara memakai beragam peralatan rumah tangga. 'Canggih banget,' pikir Jelita takjub saat William mengajarinya cara menggunakan remote untuk menyalakan fungsi robot buat menyapu, memvakum, dan mengepel lantai. "Oya. Kalau ini namanya diffuser, alat untuk aromaterapi. Ini gunanya bisa buat terapi pernapasan, peningkatan mood, relaksasi, pemurnian udara, dan banyak lagi, tergantung dari essential oil yang digunakan." William menjelaskan sambil menunjukkan stok essential oil yang dia miliki dan menerangkan masing-masing manfaatnya. "Tolong dinyalakan saat aku pulang kerja, selama 30 menit atau sampai satu jam saja, biar aroma ruangan jadi nyaman dan bi
Sudah genap sebulan Jelita menjadi asisten rumah tangga William. Jelita mulai bertanya-tanya apakah William sudah mendapatkan calon majikan baru buatnya. Tapi Jelita tak berani membuka percakapan untuk membahasnya karena William terlihat sangat sibuk. William berangkat ke kantor pagi-pagi dan pulang setelah larut malam. Bahkan sampai begadang di depan laptop, sambil berkutat dengan tumpukan kertas di meja kerjanya. Jelita tak berani mengusiknya kalau sudah begitu. Jelita akhirnya pilih sabar menunggu, William pasti akan memberitahunya sendiri cepat atau lambat. Dan pagi ini, Jelita melihat William sudah berpenampilan rapi untuk berangkat kerja. Pria itu baru saja memasuki ruang makan, menuju meja di mana Jelita sedang menyajikan sarapan berupa roti panggang, alpukat, dan telur rebus. "Avocado toast?" William menoleh kepada Jelita sambil menarik sebuah kursi untuk didudukinya. Jelita menuangkan air minum ke gelas William seraya berkata, "Proses pembuatannya tanpa penggorengan sehingg
Jelita bekerja rajin dan disiplin. Dia tak suka menunda-nunda pekerjaaan sekecil apapun. Rumah William jadi tampak lebih bersih dan rapi sejak Jelita menjadi pembantu di rumah itu. Jelita juga punya selera yang baik tentang makanan, sehingga William nyaris tak pernah melewatkan makanan apapun yang dimasak olehnya. Hal itu membuat Nyonya Cindy jadi tenang karena putera bungsu kesayangannya itu tak pernah melewatkan waktu sarapan. William punya riwayat sakit lambung, karena itulah Nyonya Cindy selalu menyarankan pembantu yang pintar masak buat William agar makanan buat puteranya itu terurus baik. Jelita pun memang bertekad ingin menunjukkan kepada William bahwa dia memang layak dipekerjakan bukan hanya atas dasar iba semata. Agar jika nanti William harus memilih antara dirinya atau Bik Yuni, maka pria itu akan memilih dirinya karena dia memang layak dipilih karena kemampuannya bekerja yang baik daripada Bik Yuni. Karena Jelita gesit, maka pekerjaannya jadi lebih cepat selesai. Itu mem
PT Prima Jaya Propertindo, Tbk merupakan sebuah perusahaan developer besar. William sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan CEO dari perusahaan developer milik keluarga Subrata itu. Kelak dialah yang akan mengemban tanggung jawab terbesar di perusahaan. Dia bakal memegang hampir semua area manajerial perusahaan, dan berperan menjembatani seluruh elemen perusahaan dengan para karyawannya. Juga bertanggung jawab membuat semua keputusan terkait perusahaan. Tak heran jika sejak sekarang dia sudah mulai digembleng dan diawasi ketat oleh dewan komisaris dan para eksekutif di perusahaan itu. Membuatnya berkubang dengan kesibukan sepanjang waktu. William saat ini ditempa di bagian legal dan perencanaan. Dia bertanggung jawab memantau tim yang merencanakan suatu kawasan perumahan secara umum yang dilengkapi fasilitas penunjang. Bersama tim ahli, dia turut menganalisa kebutuhan perusahaan tentang lokasi, dan juga lingkungan di sekitar bangunan, kemudian berdiskusi dengan tim arsitek tentang