PT Prima Jaya Propertindo, Tbk merupakan sebuah perusahaan developer besar. William sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan CEO dari perusahaan developer milik keluarga Subrata itu. Kelak dialah yang akan mengemban tanggung jawab terbesar di perusahaan. Dia bakal memegang hampir semua area manajerial perusahaan, dan berperan menjembatani seluruh elemen perusahaan dengan para karyawannya. Juga bertanggung jawab membuat semua keputusan terkait perusahaan. Tak heran jika sejak sekarang dia sudah mulai digembleng dan diawasi ketat oleh dewan komisaris dan para eksekutif di perusahaan itu. Membuatnya berkubang dengan kesibukan sepanjang waktu.
William saat ini ditempa di bagian legal dan perencanaan. Dia bertanggung jawab memantau tim yang merencanakan suatu kawasan perumahan secara umum yang dilengkapi fasilitas penunjang. Bersama tim ahli, dia turut menganalisa kebutuhan perusahaan tentang lokasi, dan juga lingkungan di sekitar bangunan, kemudian berdiskusi dengan tim arsitek tentang desain bangunannya. Seringkali dia ditugaskan turun lapangan bersama timnya yang melakukan survei lingkungan dan lokasi tanah yang terletak di luar kota yang jauh dari Jakarta. Hal itu membuat Jelita terbiasa ditinggal pergi William untuk beberapa hari. Tapi gadis itu tak merasa takut saat sendirian di rumah William. Sebab rumah ini berada dalam sebuah komplek perumahan kelas atas yang keamanannya terjaga ketat dan cctv terpasang di mana-mana."Lita, aku pergi dulu. Titip rumah dan jaga dirimu baik-baik," kata William beberapa saat sebelum keberangkatannya ke Surabaya untuk mengurus sebuah proyek perumahan."Siap, Bang." Jelita mengangguk dan tersenyum. Ini bukan pertama kalinya dia ditinggal keluar kota oleh William, tetapi majikannya ini seperti masih saja belum yakin pada kemampuannya menjaga dan mengurus rumah. Maka iapun berkata, "Tenang, Bang. Saya tahu cara pakai tabung pemadam kebakaran dan punya nomor-nomor penting yang bisa dihubungi kalau terjadi gawat darurat.""Awas saja kamu ... kalau sampai rumahku terbakar," kata William sambil menjitak pelan kening Jelita.Jelita nyengir sambil mengikuti langkah William yang menyeret kopornya menuju halaman rumah, di mana taksi yang akan membawanya ke bandara sudah menunggu.Setelah taksi yang membawa William pergi, Jelita memasuki rumah. Ada banyak pekerjaan yang harus dia bereskan. Iapun mengaktifkan robot untuk menyapu dan mengepel. Sementara si robot bekerja, dia mengelap kaca jendela sambil mendengarkan musik. Kemudian memotong rumput di taman dan membersihkan kolam ikan. Istirahat sebentar, lalu lanjut menyeterika pakaian. Sama sekali tiada keluhan lelah dari bibirnya, sebab dia mengerjakan semua itu dengan gembira. Bekerja sebaik-baiknya adalah cara dia mensyukuri pekerjaan yang dia miliki.Dia harus pandai-pandai mengatur waktu agar cukup belajar untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi nanti. William sudah mendaftarkannya bimbingan belajar secara online sehingga Jelita tetap bisa mengerjakan tugasnya sebagai pembantu sambil belajar. Jelita memanfaatkan waktu diskusi dengan mentornya sebaik mungkin, sebab sudah lama vakum belajar. Banyak materi pelajaran yang mulai terlupakan dan harus dia ingat lagi dengan cepat. Untung saja dia suka membaca dan menghafal sehingga bisa mengejar ketertinggalannya."Hoaam ...." Jelita mengulet dan menutup laptop usai melakukan bimbingan belajar online. Lalu melirik jam dan ternyata sudah sore. Iapun ingin mandi berendam di dalam bathtub.Saat berendam, tubuh Jelita terasa rileks hingga membuatnya mengantuk. "Gawat. Bisa-bisa aku ketiduran di sini dan tenggelam," gumamnya sambil beranjak dari dalam bathtub. Jelita kemudian mengambil dua buah handuk, satu ia lilitkan di rambutnya yang basah dan satu lagi untuk tubuhnya.Dengan lotion wangi strawberry kesukaannya ia mengusapi setiap bagian tubuhnya dan tercekat memandangi bekas jahitan luka masa kecilnya di sekitar paha. Seketika ia teringat bagaimana si emak pernah memukulinya tanpa ampun saat dirinya masih enam tahun, dengan kayu yang diambil serampangan dari pagar. Puas memukul, emaknya panik melihat darah merembes dari balik rok Jelita kecil yang sobek. Rupanya ada paku menempel pada kayu yang dipakai si emak buat memukulinya tadi.Sekecil itu, ia terpaksa berperang melawan perih yang menancapkan rasa sakitnya hingga ke tulang saat kulitnya harus dibersihkan, disuntik, lalu dijahit. Nyerinya minta ampun. Tapi ia tak berani menangis, melihat betapa seramnya wajah si emak yang memandanginya dengan tatapan marah alih-alih menyesal.Dokter Puskesmas yang menangani Jelita kecil memberi teguran keras pada emaknya, "Bisa-bisanya Ibu memukuli anak sendiri sampai seperti ini? Bagaimana kalau anak ini sampai lumpuh? Tolong kendalikan diri kalau marah!" Suara si dokter terdengar meninggi, ada nada marah teramat jelas di dalamnya.Tapi si emak malah balik membentak,"Memangnya saya gila mencelakai anak sendiri?! Sudah saya bilang nggak sengaja ya nggak sengaja, ... Pak Dokter masih nuduh aja! Mana saya tahu ada paku nempel di sana?!" omelnya ramai. Membuat para perawat dan bidan tergopoh-gopoh mengeluarkan si emak dari ruang tindakan sebelum keributan itu menjadi panjang dan memanas.Si dokter geleng-geleng kepala kemudian menatap Jelita dengan iba. "Kalau ibumu menggila lagi, pergilah menjauh dan cari tempat aman dan perlindungan, sampai emosi ibumu itu reda. Kamu harus belajar melindungi dirimu sendiri sejak sekarang, oke?" pesannya sambil menepuk-nepuk lembut pipi Jelita yang membisu. "Menangislah ..., nggak apa-apa, karena ini memang sakit, kamu bebas menangis di sini," ucapnya trenyuh melihat Jelita ketakutan bahkan hanya untuk menangis. Dan si dokter mengangguk-angguk seraya tersenyum miris begitu tangis Jelita langsung meledak di depannya.Jelita menghela napas panjang ketika semua ingatan itu melintas di kepalanya seperti potongan-potongan film. Masih ada rasa sedih yang terasa menggigit, tapi tak sekuat dulu. Waktu seakan membantu menyembuhkan luka batinnya semasa kecil. "Aku baik-baik saja sekarang." Dia berbisik seraya mengusap-usap bekas luka jahitnya.'Meow ...!'Jelita kaget mendengar suara kucing di balik pintu kamarnya yang tertutup. “Jangan-jangan itu si oren yang suka pup di rumput taman. Sekarang lancang ya dia masuk-masuk rumah!”Buru-buru dia ke luar kamar, ingin mengusir kucing itu, masih dengan handuk yang melilit di tubuhnya."Nah, benar kan dia! Husss. Husss. Pergi sana, kucing bandel ...!" omel Jelita karena kucing itu justru melompat ke sana-sini seperti sengaja meledeknya. Jelita was-was, takut kucing itu menyengol vas kemudian pecah."Aawh!" Jelita terpeleset genangan air yang ternyata pipis si kucing. "Kucing sialaaan!" jeritnya teramat kesal.“Meow!”Kucing itupun kabur melompati jendela begitu mendengar teriakan Jelita yang melengking marah.Sementara itu, William yang berada di Surabaya sedang beristirahat di sebuah hotel usai melakukan pekerjaannya di sana. Dia baru saja mandi dan duduk di sofa sambil menyelonjorkan kaki, membiarkan televisi menyala bukan untuk ditonton, tapi untuk membunuh keheningan belaka. Pria itu membuka-buka isi ponselnya dan membalas beberapa chat dan juga email, setelah itu mengakses rekaman cctv rumahnya. Sekonyong-konyong jantungnya bak dikejut listrik begitu mengecek area lantai atas di mana Jelita sedang menghambur ke luar dari dalam kamarnya dengan tubuh hanya berlilitkan handuk. Handuk itu terlalu minim, hanya sanggup menutupi pangkal pahanya. Gadis itu mengejar kucing lalu terpeleset di lantai dan handuk itu terlepas dari tubuhnya."Apa-apaan—"William menutup mata, tetapi ... dia telanjur melihatnya!***Enjoy reading & vote :)
William buru-buru menutup akses cctv di ponselnya. Pria itu mengusapi wajahnya yang memerah karena jengah. Astaga. Dia melihat tubuh polos Jelita dengan teramat jelas tadi. Dan semakin dia ingin melupakan, tubuh itu justru makin tergambar jelas dalam ingatannya. "Ah. Sial." William mendesah sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut pusing. Sesuatu dalam dirinya mulai terasa tak nyaman dan tubuhnya seketika jadi panas dingin. Sebenarnya sudah sejak lama Jelita diam-diam membuatnya gelisah. Pertama kali melihatnya,William seperti melihat sosok Dina, teman semasa kuliah yang sempat menjadi gebetannya. Kebetulan wajah mantan gebetannya itu mirip dengan Jelita. William teramat kaget saat Nyonya Cindy memperkenalkan Jelita kepadanya dulu. Pertemuan pertamanya dengan Jelita itu membuat hatinya kembali terkoyak marah. Karena itulah sikapnya kepada Jelita menjadi dingin dan tak ramah kala itu. William memijiti keningnya kala teringat kembali pada momen kebersamaannya dengan Dina sewa
"Ugh. Kucing reseh, ... aku jadi kudu mandi lagi deh!" Jelita menggerutu sambil berdiri dan melilitkan lagi handuknya. Dia menoleh ke jendela dan berjalan ke sana sambil memegangi ujung handuk agar tak terlepas lagi dari tubuhnya. "Pasti kucing itu masuk lewat sini," gumamnya sambil menutup jendela. Saat sedang menggapai daun jendela, Jelita dikejutkan cahaya kilat yang memantul di kaca. Gadis itu terkesiap dan menengok ke arah langit, tapi langit kelihatan cerah dan tak ada tanda-tanda mau turun hujan. Juga tak terdengar suara gemuruh yang biasanya mengikuti cahaya kilat beberapa detik kemudian. Kening Jelita berkerut-kerut. "Terus, apa itu tadi ya?" pikirnya bingung. Melalui sudut matanya, tiba-tiba Jelita seperti melihat sesuatu dan dia cepat-cepat menoleh ke arah balkon rumah seberang, tapi tak tampak apa-apa. Namun entah kenapa dia seperti merasa sedang diawasi. Sementara itu di seberang sana, tubuh Bimo merosot lunglai di bawah jendela. "Njiir, ... hampir aja gue ketahuan!" o
Kerumunan orang asyik bergoyang di tengah suasana remang-remang dengan gelegar musik yang memenuhi ruangan yang disebut diskotek. Parfum bercampur keringat dan bau alkohol menjadi satu senyawa yang tidak bisa dihilangkan. Tubuh Bimo bergerak-gerak mengikuti irama musik yang mengentak keras. Jika duduk diam-diam saja malah membuat kepalanya jadi pusing. Toh gelegar sound system memang dibuat untuk memfasilitasi aktifitas motorik para pengunjung agar pas buat mengimbangi hentakan musik yang disajikan DJ. Bimo melantai di antara gadis-gadis yang juga haus hiburan malam sepertinya. Tubuh mereka bergerak bersama, berjoget mengikuti musik tak peduli enak ditonton atau tidak, yang penting asyik. "Bim ...!" panggil gadis bernama Windy di depannya. Bimo tersenyum, meskipun Windy belum tentu melihat senyumnya dalam keremangan cahaya. "Yup?" sahutnya sambil tetap berjoget, kemudian menahan tubuh berkeringat Windy yang tahu-tahu sudah menempel saja kepadanya. "Mau balik ke sofa?" tanya Bimo den
"Maaaju tak gentaar, menguuusir penyerang. Maaaju serentak hak kiiita diseraaang." Nyanyian Atika menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Menembus dinding. Menggetarkan ranjang Bimo yang sedang ingin tidur pulas. Bimo menggerutu sembari menarik guling menutupi kuping. Tapi nggak ngaruh! Suara Atika masih saja menembus gendang telinganya yang semalaman budeg oleh musik diskotek. "Ampuun dijaaaah," erangnya sambil menekan guling ke kupingnya kuat-kuat. Sudah suaranya fals banget, tapi orangnya sama sekali tak sadar diri. Lagunya ngajak perang banget pula. Tapi Bimo takut benjol kalau berani-beraninya menyuruh si kakak berhenti menyanyi. Sebab Atika tak bisa membedakan yang mana jidatnya Bimo dengan yang mana itu gong, suka main pentung seenaknya gitu loh! Alhasil jidatnya Bimo kerap bernasib sama seperti pentolan gong, alias benjol. Belum lagi nasib uang jajan tambahannya berada di tangan Atika. Buaya darat ini tak bisa eksis kalau fasilitas hidupnya di Jakarta sampai dibekukan sang ka
"Mau ke mana, Kak?" Bimo bertanya saat langkah Atika hampir mencapai ambang pintu ruang tamu. "Mau kasih ini buat tetangga depan." Mendengar tetangga depan disebut-sebut, Bimo langsung teringat Jelita. "Wait ...!" Bimo berjingkat mendekat dan buru-buru mengambil alih box kue dari tangan kakaknya. "Ini berat, kamu nggak akan kuat, biar aku saja," ujarnya menirukan logat Dilan. Atika mengerutkan kening melihat kejanggalan sikap si adik. 'Pasti nih anak lagi ada maunya,' pikirnya curiga. "Nggak ada tips atas bantuan elu kali ini ya." Atika berkata sambil bersedekap. "Jangan buruk sangka ke adik sendiri kenapa sih, sistah? Sumpah, gue ikhlas kok ini." Bimo mengedipkan sebelah matanya dan melenggang pergi menyeberangi jalan, menuju rumah tetangga mereka. "Cih, kesambet apa dia mendadak rajin gitu? Biasanya ngomel duluan kalau disuruh antar ini-itu buat tetangga," gumam Atika sambil geleng-geleng kepala. Tapi kemudian Atika mencebik begitu teringat wajah cantik tetangga depan rumahn
"Happy birthday to me. Happy birthday to me. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday ... to me ...." Jelita menyanyi di depan blackforrest pemberian Atika yang sudah ditancapinya lilin berangka 20. Senyum merekah indah di wajahnya yang cantik. Jelita menutup mata dan memanjatkan doa dengan sepenuh harap dan segenap rasa syukur di hatinya. Lalu gadis itu meniup lilin. Kemudian dia mengiris sepotong kue dan meletakkannya ke piring kecil. "Selamat ulang tahun diriku sendiri. Semoga harapanmu menjadi kenyataan." Gadis itu tersenyum ceria dan menyendokkan sepotong kecil kue ke mulut. "Mhhh ..., enak!" katanya sambil menyendok lagi. Jelita lalu melirik sebungkus kado dari dirinya sendiri. Untuk sejenak dia merasa konyol, tapi apa salahnya menghadiahi diri sendiri? Sejak bekerja dengan William, dia jadi bisa menabung banyak. Dia tak perlu mengeluarkan biaya makan, tempat tinggal, listrik, dan sebagainya. Semua itu sudah ditanggung sang majikan. Jadi tak masalah baginya untuk s
Bimo duduk di kursi bar sambil melihat-lihat isi chat di dalam ponselnya. Sementara di sebelahnya, Stephan memesan dua botol bir lagi. Seorang gadis berambut pirang mendekat, menggigit bibirnya dan tersenyum centil kepada Stephan, cowok itupun mengangguk-angguk dan balas tersenyum sambil menyembunyikan rasa herannya, sebab biasanya dia bukanlah pria yang menjadi incaran para gadis seperti Bimo. Setelah bartender membuka dua botol bir dan menyorongkan kepada Stephan, barulah Stephan tahu apa arti senyuman si pirang, saat dia mengambil sebotol birnya tanpa berkata-kata. "Enak aja, punya gue ini." Baik si pirang dan Stephan sama-sama terkejut saat Bimo merampas botol itu secepat kilat dari tangan si pirang. "Ogah banget gue beliin bir buat cewek sembarangan. Elu juga sih, Step. Baik-baik jagain minuman elu bisa kagak sih?" omel Bimo setelah si pirang tadi pergi sambil cemberut karena gagal membius targetnya demi sebotol bir gratis. Tak lama kemudian seorang gadis cantik tinggi semamp
“Morning ....” "Rasanya enak. Coklatnya nggak pahit dan krimnya sangat lembut." Bimo mengerutkan kening saat Jelita menjawab sapaannya dengan kalimat seperti itu. 'Hah ...? Apanya yang enak? Ngomongin apaan sih?' Pikiran Bimo masih loading. "Ini pendapatku tentang blackforrest buatan Kak Tika, yang kamu bawain buatku kemarin." Jelita menjawab seakan bisa mendengar isi pikiran Bimo yang kebingungan. "Ooooh." Bimo tertawa panjang. "Kemarin kamu bilang, pengen tahu pendapatku soal kue itu kan?" Bimo garuk-garuk kepala. "Ah, ... iya-iya," katanya sambil mengangguk-angguk. "Sampaikan salamku buat Kak Tika, aku menyukai kue buatannya. Makasih ya. Ehm— aku cuma mau bilang itu aja kok,” kata Jelita, kemudian gadis itu tertawa lirih, suara tawanya itu bagai nyanyian yang mengalun merdu di telinga Bimo sehingga Bimo pun ikut tertawa senang mendengarnya. "Udah ya, Bim. Bye." "Wait ...! Ha-halo, Jelita? Halo ...??" Bimo terbengong-bengong karena Jelita menutup teleponnya. Pembicaraan ya