Enjoy reading. Klik vote, ya :)
"Mau ke mana, Kak?" Bimo bertanya saat langkah Atika hampir mencapai ambang pintu ruang tamu. "Mau kasih ini buat tetangga depan." Mendengar tetangga depan disebut-sebut, Bimo langsung teringat Jelita. "Wait ...!" Bimo berjingkat mendekat dan buru-buru mengambil alih box kue dari tangan kakaknya. "Ini berat, kamu nggak akan kuat, biar aku saja," ujarnya menirukan logat Dilan. Atika mengerutkan kening melihat kejanggalan sikap si adik. 'Pasti nih anak lagi ada maunya,' pikirnya curiga. "Nggak ada tips atas bantuan elu kali ini ya." Atika berkata sambil bersedekap. "Jangan buruk sangka ke adik sendiri kenapa sih, sistah? Sumpah, gue ikhlas kok ini." Bimo mengedipkan sebelah matanya dan melenggang pergi menyeberangi jalan, menuju rumah tetangga mereka. "Cih, kesambet apa dia mendadak rajin gitu? Biasanya ngomel duluan kalau disuruh antar ini-itu buat tetangga," gumam Atika sambil geleng-geleng kepala. Tapi kemudian Atika mencebik begitu teringat wajah cantik tetangga depan rumahn
"Happy birthday to me. Happy birthday to me. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday ... to me ...." Jelita menyanyi di depan blackforrest pemberian Atika yang sudah ditancapinya lilin berangka 20. Senyum merekah indah di wajahnya yang cantik. Jelita menutup mata dan memanjatkan doa dengan sepenuh harap dan segenap rasa syukur di hatinya. Lalu gadis itu meniup lilin. Kemudian dia mengiris sepotong kue dan meletakkannya ke piring kecil. "Selamat ulang tahun diriku sendiri. Semoga harapanmu menjadi kenyataan." Gadis itu tersenyum ceria dan menyendokkan sepotong kecil kue ke mulut. "Mhhh ..., enak!" katanya sambil menyendok lagi. Jelita lalu melirik sebungkus kado dari dirinya sendiri. Untuk sejenak dia merasa konyol, tapi apa salahnya menghadiahi diri sendiri? Sejak bekerja dengan William, dia jadi bisa menabung banyak. Dia tak perlu mengeluarkan biaya makan, tempat tinggal, listrik, dan sebagainya. Semua itu sudah ditanggung sang majikan. Jadi tak masalah baginya untuk s
Bimo duduk di kursi bar sambil melihat-lihat isi chat di dalam ponselnya. Sementara di sebelahnya, Stephan memesan dua botol bir lagi. Seorang gadis berambut pirang mendekat, menggigit bibirnya dan tersenyum centil kepada Stephan, cowok itupun mengangguk-angguk dan balas tersenyum sambil menyembunyikan rasa herannya, sebab biasanya dia bukanlah pria yang menjadi incaran para gadis seperti Bimo. Setelah bartender membuka dua botol bir dan menyorongkan kepada Stephan, barulah Stephan tahu apa arti senyuman si pirang, saat dia mengambil sebotol birnya tanpa berkata-kata. "Enak aja, punya gue ini." Baik si pirang dan Stephan sama-sama terkejut saat Bimo merampas botol itu secepat kilat dari tangan si pirang. "Ogah banget gue beliin bir buat cewek sembarangan. Elu juga sih, Step. Baik-baik jagain minuman elu bisa kagak sih?" omel Bimo setelah si pirang tadi pergi sambil cemberut karena gagal membius targetnya demi sebotol bir gratis. Tak lama kemudian seorang gadis cantik tinggi semamp
“Morning ....” "Rasanya enak. Coklatnya nggak pahit dan krimnya sangat lembut." Bimo mengerutkan kening saat Jelita menjawab sapaannya dengan kalimat seperti itu. 'Hah ...? Apanya yang enak? Ngomongin apaan sih?' Pikiran Bimo masih loading. "Ini pendapatku tentang blackforrest buatan Kak Tika, yang kamu bawain buatku kemarin." Jelita menjawab seakan bisa mendengar isi pikiran Bimo yang kebingungan. "Ooooh." Bimo tertawa panjang. "Kemarin kamu bilang, pengen tahu pendapatku soal kue itu kan?" Bimo garuk-garuk kepala. "Ah, ... iya-iya," katanya sambil mengangguk-angguk. "Sampaikan salamku buat Kak Tika, aku menyukai kue buatannya. Makasih ya. Ehm— aku cuma mau bilang itu aja kok,” kata Jelita, kemudian gadis itu tertawa lirih, suara tawanya itu bagai nyanyian yang mengalun merdu di telinga Bimo sehingga Bimo pun ikut tertawa senang mendengarnya. "Udah ya, Bim. Bye." "Wait ...! Ha-halo, Jelita? Halo ...??" Bimo terbengong-bengong karena Jelita menutup teleponnya. Pembicaraan ya
Bik Yuni akhirnya kembali setelah Jelita genap bekerja selama enam bulan di rumah William. Perempuan itu datang di pagi hari dengan sebuah kopor. Bik Yuni terkejut kala Jelita memperkenalkan dirinya sebagai pembantu di rumah itu usai membukakan pintu pagar untuknya tadi. Di mata Bik Yuni, sosok Jelita terlalu cantik sebagai pembantu bahkan bentuk fisiknya adalah body goal yang diimpikan kebanyakan para perempuan hingga mereka rela melakukan diet ketat dan gila fitnes, atau malah mengkonsumsi obat pelangsing. “Tuan mana, Mbak Lita?” tanya Bik Yuni sambil menyeret kopor saat memasuki rumah yang sudah dia kenal seluruh seluk beluknya ini. “Tuan?” Jelita mengerutkan kening, setahunya William pernah bilang ‘menggelikan’ saat dia dulu memanggilnya dengan sebutan tuan, tetapi kenapa William membiarkan Bik Yuni memanggilnya begitu? Melihat Jelita kebingungan, Bik Yuni melanjutkan ucapannya, “Tuan William.” “Ab—“ Jelita nyaris menyebutkan kata ‘abang’ tetapi entah kenapa sejak mendengar pem
Setahu Jelita, biasanya William pergi kongkow dengan teman-temannya saat weekend. Tetapi pada Sabtu pagi ini, majikannya itu terlihat santai di rumah saja. "Mau ke mana, Ta?" tanya William saat Jelita bersiap pergi berbelanja pergi berbelanja kebutuhan dapur dan rumah tangga saat Jelita pamit berangkat. "Ke supermarket." "Oh, ayo sekalian saja kuantar." Jelita pikir William hanya akan mengantarnya sampai depan swalayan saja lalu langsung pergi, tetapi ternyata si majikan malah melajukan mobilnya memasuki tempat parkir dan benar-benar ingin menemani Jelita berbelanja ke dalam gedung. “Eh, tapi saya biasanya kalau belanja lama.” Jelita merasa sungkan. “It’s oke, aku nggak buru-buru kok,” sahut William santai. “Beneran Tuan nggak apa-apa kalau kelamaan di dalam?” Detik itu juga William terbahak-bahak, membuat Jelita menoleh dengan kerut yang memenuhi keningnya. Dan gadis itu meringis karena Wiliam menjitak keningnya. “Aw—“ “Panggil saja, Bang. Aku geli mendengarmu memanggilku, Tu
Jelita dibuat ternganga melihat kemegahan dan keindahan mall Central Park yang baru pertama kali dikunjunginya. William menggandeng Jelita agar tak tertinggal di belakangnya karena sibuk mengedarkan pandangannya sambil mengagumi tempat ini. William mengulum senyum melihat mata Jelita yang berbinar cantik. Keriangan gadis itu membuatnya ikut senang. William baru terpikir ingin mengajak Jelita jalan-jalan setelah mendengar keluhan samar Jelita saat sedang belanja tadi, bahwa pembantu kesayangannya itu kadang merasa jenuh di rumah terus. Langkah mereka kemudian berakhir di sebuah restoran. William memesan tempat yang terletak di balkon yang menyuguhkan pemandangan gedung-gedung menjulang tinggi di sekitar mereka. Jelita menatap taman luas di bawah sana, yang berhiaskan kerlap-kerlip lampu yang mempercantik pemandangan, di mana pengunjung yang membawa anak-anak kecil asyik bermain-main di tepi kolam memberi makan ikan koi dan kura-kura, atau sekadar duduk-duduk santai seraya berswafoto s
“Ta, aku mau berangkat ke kantor sekarang.” Jelita yang sedang mencuci piring lekas menghentikan kegiatannya dan buru-buru mengambil kotak bekal makan siang yang sudah dia siapkan untuk sang majikan. “Tesmu minggu depan kan, Ta?” William bertanya saat berjalan beriringan dengan Jelita menuju mobil. Dia sudah mendaftarkan Jelita di sebuah perguruan tinggi swasta berakreditasi A. “Iya, Tuan.” “Bik Yuni nggak bakal dengar.” “Eh ...?“ Jelita bingung untuk sejenak. Tapi kemudian dia lekas mengerti apa yang dimaksud setelah melihat senyum terkulum di bibir sang tuan. “I-iya, Bang. Tesnya minggu depan.” “Tanggal berapa?” “Tanggal 12.” “Hari apa itu? Ingatkan aku lagi nanti ya.” Jelita mengangguk-angguk. William pun tersenyum menatapnya sebelum memasuki mobil. William membuka kaca jendela dan berkata pada Jelita, “Aku berangkat.” “Hati-hati di jalan, T—, Bang.” William mengangguk dan tersenyum sambil memundurkan mobil. Jelita balas tersenyum. Dipandanginya mobil William yang sedan