Dukung author dengan komentar dan vote kamu ya .... Happy reading :)
"Ugh. Kucing reseh, ... aku jadi kudu mandi lagi deh!" Jelita menggerutu sambil berdiri dan melilitkan lagi handuknya. Dia menoleh ke jendela dan berjalan ke sana sambil memegangi ujung handuk agar tak terlepas lagi dari tubuhnya. "Pasti kucing itu masuk lewat sini," gumamnya sambil menutup jendela. Saat sedang menggapai daun jendela, Jelita dikejutkan cahaya kilat yang memantul di kaca. Gadis itu terkesiap dan menengok ke arah langit, tapi langit kelihatan cerah dan tak ada tanda-tanda mau turun hujan. Juga tak terdengar suara gemuruh yang biasanya mengikuti cahaya kilat beberapa detik kemudian. Kening Jelita berkerut-kerut. "Terus, apa itu tadi ya?" pikirnya bingung. Melalui sudut matanya, tiba-tiba Jelita seperti melihat sesuatu dan dia cepat-cepat menoleh ke arah balkon rumah seberang, tapi tak tampak apa-apa. Namun entah kenapa dia seperti merasa sedang diawasi. Sementara itu di seberang sana, tubuh Bimo merosot lunglai di bawah jendela. "Njiir, ... hampir aja gue ketahuan!" o
Kerumunan orang asyik bergoyang di tengah suasana remang-remang dengan gelegar musik yang memenuhi ruangan yang disebut diskotek. Parfum bercampur keringat dan bau alkohol menjadi satu senyawa yang tidak bisa dihilangkan. Tubuh Bimo bergerak-gerak mengikuti irama musik yang mengentak keras. Jika duduk diam-diam saja malah membuat kepalanya jadi pusing. Toh gelegar sound system memang dibuat untuk memfasilitasi aktifitas motorik para pengunjung agar pas buat mengimbangi hentakan musik yang disajikan DJ. Bimo melantai di antara gadis-gadis yang juga haus hiburan malam sepertinya. Tubuh mereka bergerak bersama, berjoget mengikuti musik tak peduli enak ditonton atau tidak, yang penting asyik. "Bim ...!" panggil gadis bernama Windy di depannya. Bimo tersenyum, meskipun Windy belum tentu melihat senyumnya dalam keremangan cahaya. "Yup?" sahutnya sambil tetap berjoget, kemudian menahan tubuh berkeringat Windy yang tahu-tahu sudah menempel saja kepadanya. "Mau balik ke sofa?" tanya Bimo den
"Maaaju tak gentaar, menguuusir penyerang. Maaaju serentak hak kiiita diseraaang." Nyanyian Atika menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Menembus dinding. Menggetarkan ranjang Bimo yang sedang ingin tidur pulas. Bimo menggerutu sembari menarik guling menutupi kuping. Tapi nggak ngaruh! Suara Atika masih saja menembus gendang telinganya yang semalaman budeg oleh musik diskotek. "Ampuun dijaaaah," erangnya sambil menekan guling ke kupingnya kuat-kuat. Sudah suaranya fals banget, tapi orangnya sama sekali tak sadar diri. Lagunya ngajak perang banget pula. Tapi Bimo takut benjol kalau berani-beraninya menyuruh si kakak berhenti menyanyi. Sebab Atika tak bisa membedakan yang mana jidatnya Bimo dengan yang mana itu gong, suka main pentung seenaknya gitu loh! Alhasil jidatnya Bimo kerap bernasib sama seperti pentolan gong, alias benjol. Belum lagi nasib uang jajan tambahannya berada di tangan Atika. Buaya darat ini tak bisa eksis kalau fasilitas hidupnya di Jakarta sampai dibekukan sang ka
"Mau ke mana, Kak?" Bimo bertanya saat langkah Atika hampir mencapai ambang pintu ruang tamu. "Mau kasih ini buat tetangga depan." Mendengar tetangga depan disebut-sebut, Bimo langsung teringat Jelita. "Wait ...!" Bimo berjingkat mendekat dan buru-buru mengambil alih box kue dari tangan kakaknya. "Ini berat, kamu nggak akan kuat, biar aku saja," ujarnya menirukan logat Dilan. Atika mengerutkan kening melihat kejanggalan sikap si adik. 'Pasti nih anak lagi ada maunya,' pikirnya curiga. "Nggak ada tips atas bantuan elu kali ini ya." Atika berkata sambil bersedekap. "Jangan buruk sangka ke adik sendiri kenapa sih, sistah? Sumpah, gue ikhlas kok ini." Bimo mengedipkan sebelah matanya dan melenggang pergi menyeberangi jalan, menuju rumah tetangga mereka. "Cih, kesambet apa dia mendadak rajin gitu? Biasanya ngomel duluan kalau disuruh antar ini-itu buat tetangga," gumam Atika sambil geleng-geleng kepala. Tapi kemudian Atika mencebik begitu teringat wajah cantik tetangga depan rumahn
"Happy birthday to me. Happy birthday to me. Happy birthday, happy birthday. Happy birthday ... to me ...." Jelita menyanyi di depan blackforrest pemberian Atika yang sudah ditancapinya lilin berangka 20. Senyum merekah indah di wajahnya yang cantik. Jelita menutup mata dan memanjatkan doa dengan sepenuh harap dan segenap rasa syukur di hatinya. Lalu gadis itu meniup lilin. Kemudian dia mengiris sepotong kue dan meletakkannya ke piring kecil. "Selamat ulang tahun diriku sendiri. Semoga harapanmu menjadi kenyataan." Gadis itu tersenyum ceria dan menyendokkan sepotong kecil kue ke mulut. "Mhhh ..., enak!" katanya sambil menyendok lagi. Jelita lalu melirik sebungkus kado dari dirinya sendiri. Untuk sejenak dia merasa konyol, tapi apa salahnya menghadiahi diri sendiri? Sejak bekerja dengan William, dia jadi bisa menabung banyak. Dia tak perlu mengeluarkan biaya makan, tempat tinggal, listrik, dan sebagainya. Semua itu sudah ditanggung sang majikan. Jadi tak masalah baginya untuk s
Bimo duduk di kursi bar sambil melihat-lihat isi chat di dalam ponselnya. Sementara di sebelahnya, Stephan memesan dua botol bir lagi. Seorang gadis berambut pirang mendekat, menggigit bibirnya dan tersenyum centil kepada Stephan, cowok itupun mengangguk-angguk dan balas tersenyum sambil menyembunyikan rasa herannya, sebab biasanya dia bukanlah pria yang menjadi incaran para gadis seperti Bimo. Setelah bartender membuka dua botol bir dan menyorongkan kepada Stephan, barulah Stephan tahu apa arti senyuman si pirang, saat dia mengambil sebotol birnya tanpa berkata-kata. "Enak aja, punya gue ini." Baik si pirang dan Stephan sama-sama terkejut saat Bimo merampas botol itu secepat kilat dari tangan si pirang. "Ogah banget gue beliin bir buat cewek sembarangan. Elu juga sih, Step. Baik-baik jagain minuman elu bisa kagak sih?" omel Bimo setelah si pirang tadi pergi sambil cemberut karena gagal membius targetnya demi sebotol bir gratis. Tak lama kemudian seorang gadis cantik tinggi semamp
“Morning ....” "Rasanya enak. Coklatnya nggak pahit dan krimnya sangat lembut." Bimo mengerutkan kening saat Jelita menjawab sapaannya dengan kalimat seperti itu. 'Hah ...? Apanya yang enak? Ngomongin apaan sih?' Pikiran Bimo masih loading. "Ini pendapatku tentang blackforrest buatan Kak Tika, yang kamu bawain buatku kemarin." Jelita menjawab seakan bisa mendengar isi pikiran Bimo yang kebingungan. "Ooooh." Bimo tertawa panjang. "Kemarin kamu bilang, pengen tahu pendapatku soal kue itu kan?" Bimo garuk-garuk kepala. "Ah, ... iya-iya," katanya sambil mengangguk-angguk. "Sampaikan salamku buat Kak Tika, aku menyukai kue buatannya. Makasih ya. Ehm— aku cuma mau bilang itu aja kok,” kata Jelita, kemudian gadis itu tertawa lirih, suara tawanya itu bagai nyanyian yang mengalun merdu di telinga Bimo sehingga Bimo pun ikut tertawa senang mendengarnya. "Udah ya, Bim. Bye." "Wait ...! Ha-halo, Jelita? Halo ...??" Bimo terbengong-bengong karena Jelita menutup teleponnya. Pembicaraan ya
Bik Yuni akhirnya kembali setelah Jelita genap bekerja selama enam bulan di rumah William. Perempuan itu datang di pagi hari dengan sebuah kopor. Bik Yuni terkejut kala Jelita memperkenalkan dirinya sebagai pembantu di rumah itu usai membukakan pintu pagar untuknya tadi. Di mata Bik Yuni, sosok Jelita terlalu cantik sebagai pembantu bahkan bentuk fisiknya adalah body goal yang diimpikan kebanyakan para perempuan hingga mereka rela melakukan diet ketat dan gila fitnes, atau malah mengkonsumsi obat pelangsing. “Tuan mana, Mbak Lita?” tanya Bik Yuni sambil menyeret kopor saat memasuki rumah yang sudah dia kenal seluruh seluk beluknya ini. “Tuan?” Jelita mengerutkan kening, setahunya William pernah bilang ‘menggelikan’ saat dia dulu memanggilnya dengan sebutan tuan, tetapi kenapa William membiarkan Bik Yuni memanggilnya begitu? Melihat Jelita kebingungan, Bik Yuni melanjutkan ucapannya, “Tuan William.” “Ab—“ Jelita nyaris menyebutkan kata ‘abang’ tetapi entah kenapa sejak mendengar pem