Let's vote :)
Seorang gadis remaja muncul dari balik punggung Jelita. Dan si remaja yang rambutnya dikucir kuda itu tercengang menatap Bimo. Bimo menahan tawa, dia tahu sorot macam apa yang terpancar dalam bola mata gadis remaja yang sedang terpesona kepadanya itu. Gadis itu tinggi dan cantik juga, tapi Bimo bukan pedofil, sehingga diabaikannya sorot kekaguman yang terpancar dalam tatapan Laura yang nyaris tanpa kedip kepadanya. “Oke, have fun ya semuanya!” Bimo melambaikan tangan dan membiarkan Jelita pergi bersama para bocil itu. Dipandanginya Jelita yang semakin menjauh, sedangkan Laura tampak beberapa kali menoleh kepadanya, mencuri-curi pandang. Gadis itu seperti penasaran sekali terhadap dirinya. Iseng, Bimo melayangkan flying kiss saat Laura menoleh lagi. Remaja itupun tiba-tiba saja jatuh tersandung. Tapi kemudian dia cepat berdiri dan tak berani menoleh lagi kepada Bimo. Bimo seketika itu juga terbahak-bahak. Lucu sekali bocah cantik itu. *** Laura mengumpat dalam hati. Sungguh, di
Laura merasa ini adalah perlombaan terpenting dalam hidupnya. Bisa berkencan di dalam bioskop dengan cowok yang disukainya pernah terlintas dalam keinginannya, tetapi Laura tak mengira jika hal ini akan datang lebih cepat. Dia pikir akan mulai berkencan saat SMA nanti, siapa sangka cowok impiannya keburu datang sekarang? Jadi dia bertekad memenangkan perlombaan ini. Dia akan mengeluarkan seluruh upayanya untuk menang. Bimo bisa melihat upaya Laura yang tak main-main, gadis itu benar-benar ingin mengalahkan dirinya rupanya. Demi memenangkan taruhan nonton berdua saja. Cih, Bimo tentu tak akan membiarkan bocah itu menang. Apalagi ini kesempatannya untuk bisa lebih dekat lagi dengan Jelita. “Aaargh!” Laura menjerit marah karena akhirnya kalah juga dari Bimo, padahal dia sudah berusaha sekuat tenaga. Laura melirik Bimo yang senyum-senyum kepadanya. “Senang, Om akhirnya menang?” ocehnya sewot. Bimo terbahak-bahak. Laura tetap terlihat cantik walaupun sedang marah-marah begitu. Tetapi Bi
“Wow. How beautiful you are.” Laura yang mendengar pujian Bimo untuk Jelita jadi mendengkus sebal. Padahal dia mati-matian berdandan agar terlihat cantik di mata Bimo, tetapi saat melihatnya tadi, Bimo malah bertanya apa ada orang yang baru saja menamparnya? Lalu Laura sadar kalau blush on yang dia aplikasikan ke tulang pipinya tadi terlalu tebal. Sialan. Dia malu sekali dan cepat-cepat kabur ke kamar untuk memperbaiki dandanannya. Tetapi, Jelita yang sama sekali tak terlihat berdandan heboh, malah bisa begitu cantik. Sampai-sampai Bimo nyaris tak berkedip menatapnya. Laura manyun, setengah iri melihat kecantikan pembantu omnya. “Lama amat sih Kak Lita dandan gitu doang!” omelnya sambil menghentak marah menuju keluar rumah. Jelita mempercepat langkah mengikuti Laura yang menuju mobil Bimo yang sudah siap. Bimo terkekeh sambil membuka pintu mobilnya dengan remote di tangannya. “Dasar bocah pemarah,” gumamnya sambil geleng-geleng kepala. Bimo ingin menempatkan Jelita duduk bersamany
“Bimo orangnya baik kok, Bang. Laura juga terlihat nyaman berteman dengannya. Dia nggak seurakan yang Abang lihat.” “Bagaimana bisa kamu dan Laura berteman dengannya?” Kemudian Jelita menceritakan tentang lomba renang dan taruhan yang dilakukan Laura dengan Bimo. Dia meyakinkan William jika Bimo bisa dijadikan teman yang baik baginya dan juga Laura. Bahkan Bimo bisa memotivasi Laura sampai-sampai gadis itu bertekad ingin rutin olahraga mulai hari ini gara-gara kalah renang dari Bimo. “Jadi kalian di mall Taman Anggrek?” “Iya, Bang.” “Kebetulan, posisiku dekat situ. Nanti aku susul kalian. Kita pulang bareng.” “Tapi, Bang. Nggak enak sama Bimo, masa berangkat bareng dia tapi pulangnya sama Abang? Rasanya kok agak gimana gitu. Apalagi kami kan memang sepakat sejak awal untuk berangkat dan pulang bareng-bareng.” William menghela napas panjang. Dia sebenarnya paham tanpa perlu dijelaskan lagi oleh Jelita, tetapi ada rasa menusuk dalam hatinya hanya karena Jelita bersama pria selain
Jelita mengembangkan jarak sehingga tangan William terlepas dari pinggangnya. “Ya ampun, lihat deh Laura. Masih semangat aja dia.” Jelita geleng-geleng melihat Laura masih asyik berselancur didampingi Bimo. Diam-diam Jelita mengagumi Bimo yang juga terlihat lincah mengimbangi permainan Laura. Gerakan keduanya sungguh indah. “Ayo, kita tunggu mereka sambil nonton,” ajak William tiba-tiba. “Pasti setelah ini Laura akan merengek-rengek minta makan di KFC, mereka tak akan ke mana-mana, nanti kita langsung susul mereka ke sana,” katanya sambil menggandeng Jelita menuju bioskop. Mereka tak repot-repot memilih judul film, bahkan asal-asalan memilih. Toh tujuan mereka bukan benar-benar untuk menonton, tetapi untuk mengisi kekosongan waktu daripada berlama-lama menunggu Laura dan Bimo. “Mau popcorn, Ta?” William menawari saat mereka akan memasuki bioskop, tetapi Jelita menggeleng karena perutnya sudah kenyang. “Minum?” tanyanya lagi, dan Jelita menggeleng lagi. Bioskop tidak terlalu penu
Jadwal tes ujian masuk perguruan tingga tinggal hitungan hari. Tetapi si kecil Aldi tiba-tiba saja demam. Jelita buru-buru memisahkan Aldi dari Andre saat tidur agar tak tertular. Membiarkan Laura mengomel karena harus berbagi kamar dengan adiknya yang paling reseh. Syukurlah sekarang Laura sudah lebih jinak dan mau mendengar arahan Jelita. “Ini demi kesehatan kita bersama ya, Kak. Cukup Aldi saja yang sakit, kalian jangan.” Begitu Jelita bilang tadi sehingga Laura mau berdamai dengan keadaan. Aldi rewel sekali karena sakit, dia tak mau ditinggal sendirian saat tidur sehingga Jelita harus memeluknya terus sambil menepuk-nepuk sayang hingga anak itu tertidur. Jelita rutin mengecek suhu tubuhnya beberapa jam sekali dan memberi obat penurun demam sesuai arahan dokter pribadi keluarga Subrata yang tadi datang memeriksa Aldi. Praktis hal itu membuat Jelita kurang tidur. Meskipun begitu dia memaksakan diri tetap belajar mengerjakan soal-soal latihan, sampai mengantuk dan tertidur di sisi Al
Mobil Bimo berhenti tepat di depan rumah William. “Besok mobilku ready di sini jam 6 ya, kita berangkat pagi biar nggak kena macet.” “Makasih banget ya, Bim.” “My pleasure.” Jelita menuruni mobil dan menutup pintunya, kemudian melambaikan tangan sebelum memasuki gerbang rumah William. Dilihatnya ada mobil yang bukan punya William. “Siapa ya, apa tamunya Abang?” gumamnya sambil memasuki rumah. Baru selangkah masuk, dia langsung bertemu tatap dengan perempuan berusia sekitar lima puluhan. Dilihat dari penampilannya yang elegan, Jelita langsung tahu kalau dia bukan tamu biasa. “Siapa kamu?” tegur perempuan itu sambil bersedekap memandangi Jelita. Dia adalah Marta Subrata, adik kandung dari ayahnya William. “Saya Jelita, Nyonya. Pembantunya tuan William.” “Pembantu?” Tatapan perempuan itu memindai Jelita dari ujung rambut hingga ujung kaki. Diam-diam dia terkejut William memiliki pembantu secantik artis ibukota. “Aldi sakit kok malah kamu pergi sih? Lihat tuh, Bik Yuni jadi kerepot
Jelita dan Bik Yuni betul-betul sibuk malam itu, bahkan sampai tamunya pulang kesibukan kedua orang itu belum juga berakhir. Dan di tengah kesibukan Jelita membereskan dapur, ponselnya berdering, dilihatnya nama William terpampang dalam layar. “Halo—“ “Cepatlah istirahat, besok kamu harus bangun pagi untuk pergi tes.” Kemudian panggilan itu berakhir. Jelita menghela napas. Dia juga ingin cepat istirahat, tapi tak mungkin membiarkan Bik Yuni bekerja sendirian. Maka dia tetap melanjutkan kegiatannya membenahi dapur dan seluruh perkakas yang belum selesai dibereskan. Di kamarnya, William memerhatikan Jelita lewat kamera cctv dengan perasaan gundah. Gadis itu betul-betul keras kepala. “Kenapa dia nggak mau menghentikan kerjaannya itu sih?” gumamnya kesal. William meremas-remas tangannya melihat Jelita menguap sambil membereskan dapur. Sial. Sampai kapan dia akan membiarkan gadis yang disayanginya selelah itu? Iapun keluar kamar dan menuju dapur, pura-pura ingin mengambil minum. “Kali