Share

Part 5

"Mas, sekarang kita mau ke mana?" tanya Siti sambil menggamit lengan lelaki yang ada di sebelahnya.

"Sebaiknya kamu pulang ke kampung dulu, Siti. Aku tidak mungkin membawa kamu ke rumah yang sedang kutinggali bersama Alin," sahut Alex membuat mata si perempuan membeliak tidak percaya.

"Memangnya kenapa? Aku ini juga istri kamu, Mas. Aku berhak atas rumah itu. Masa hanya Alin yang dapat fasilitas mewah dan hidup enak, sementara aku terus menerus jadi orang kampung dan hidup sengsara? Kamu yang adil dong!" protes Siti tidak terima.

"Tolong ngertiin aku sedikit, Siti!" Sang pemilik hidung mancung menyentak napas kasar. Mulai tidak sabar menghadapi sikap istri ke duanya yang susah sekali diatur. Masih tetap seperti yang dulu. Bebal juga grasak-grusuk.

"Pokoknya aku mau tinggal di rumah itu. Titik. Lagian kan si Alin sudah tahu hubungan kita. Aku mau jadi simpanan kamu itu biar bisa menikmati hidup enak. Jadi nyonya besar. Hidup bergelimang harta. Bukan menderita seperti ini. Kalau tahu akhinya harus begini, lebih baik selamanya hidup sendiri. Percuma punya suami sultan kalau tidak bisa menikmati hartanya. Tidak bahagia!" rajuknya kemudian.

"Jadi kamu cuma mau uang aku doang? Dasar matre."

"Aku itu tidak matre. Tapi realistis. Hidup itu tidak hanya butuh cinta, tapi harus ada duit juga. Memangnya bisa kenyang dengan hanya makan cinta?!"

"Kok kalian malah jadi ribut begini?" sela Anita yang sejak tadi merasa terganggu dengan pertengkaran kakak serta abang iparnya.

Siti melipat tangan di dada, merasa kesal karena Alex terkesan berat sebelah. Selalu mementingkan kesejahteraan Alin, tidak pernah memikirkan perasaannya.

***

POV Alin.

Mematikan laptop, aku mengayunkan kaki ke halaman toko memperhatikan para pekerja yang sedang membantu petugas ekspedisi menghitung barang yang akan dikirim hari ini.

Aku memiliki bisnis outfit remaja, dewasa serta anak-anak yang dijual secara online melalui marketplace-marketplace terkemuka di negeri ini dan dikelola oleh masing-masing admin. 

Untuk model selalu browsing di internet, mencari tahu apa yang sedang diminati semua kalangan saat ini supaya omset penjualan tetap ramai setiap hari.

Dan alhamdulilah, semakin hari bisnis jualan online-ku semakin berkembang pesat. Yang tadinya hanya memiliki dua karyawan sekarang sudah ada sepuluh pekerja yang membantu.

Awalnya aku hanya menjadi riseller serta dropshipper. Tapi melihat bakatku yang pandai berniaga, papa akhirnya membelikan ruko juga memberi modal supaya bisnis yang aku jalani semakin berkembang.

"Sudah semua, Kak Alin. Kami permisi dulu," ucap salah seorang petugas ekspedisi dengan sopan, ketika semua barang yang akan dikirimkan sudah masuk ke dalam mobil.

Aku mengangguk sambil tersenyum, kemudian menyuruh para karyawan untuk segera menutup toko sebab sebentar lagi azan magrib berkumandang. Sudah waktunya para pegawai untuk pulang ke keluarga masing-masing.

Pun dengan diriku yang sudah rindu dengan Maura.

Menyambar tas yang tergeletak di atas meja, membuka pintu mobil dan segera melajukan kendaraan roda empat milikku menuju rumah orang tua. Ingin menjemput Maura yang sengaja aku titipkan di sana selama aku bekerja.

Pak Anwar--satpam yang menjaga keamanan rumah Mama dengan sigap membukakan pintu garasi ketika melihat aku datang. Pria paruh baya itu tersenyum ramah sembari memberikan hormat seperti biasanya.

"Assalamualaikum!" Mengucapkan salam sambil melangkah masuk ke dalam rumah penuh kenangan manis bersama keluarga itu.

Papa dan Mama sedang duduk di ruang tamu ditemani oleh Mas Aldo--kakak tertuaku yang hingga saat ini masih betah melajang.

Semenjak pernikahannya dengan Mbak Vita yang sudah berada di depan mata gagal dilangsungkan, dia memilih menutup diri dari yang namanya perempuan dan berjanji untuk tidak lagi jatuh cinta. Trauma kembali gagal katanya.

"Lin, bagaimana kelanjutan hubungan kamu dengan si Alex baji-ng*n itu?" tanya Mas Aldo ketika aku baru saja mengenyakkan bokong di atas permukaan sofa.

"Entahlah, Mas. Mungkin aku akan segera menuntut cerai!" jawabku malas. 

Jujur untuk saat ini memang sedang tidak ingin membahas masalah apa pun yang terkait dengan suami serta gundiknya. Pengen mengistirahatkan hati juga pikiran.

"Makanya dulu Mas melarang kamu nikah sama dia karena, Mas sudah bisa membaca bahasa tubuh si benalu itu. Dia itu cuma mau manfaatin kamu saja. Dia tidak cinta sama kamu!" berangnya semakin berapi-api.

"Sudah, Aldo. Biarkan adik kamu menenangkan hatinya dulu. Jangan langsung diberondong pertanyaan seperti itu. Kamu juga pernah mengalami yang namanya kegagalan. Harusnya lebih mengerti suasana hati Alina saat ini!" timpal Mama membela.

"Justru karena aku pernah gagal. Makanya sering menasihati dia untuk selektif dalam mencari pasangan. Jangan asal dapet yang tidak jelas asal-usul serta pekerjaannya. Tidak tahu diri pula. Bisanya cuma menyakiti hati Alina tanpa mampu membahagiakan dia!"

Harus kuakui, dulu keluarga besar memang tidak menyetujui hubunganku dengan Mas Alex. Bukan karena dia dari kalangan bawah tapi, baik Mama maupun Papa merasa tidak srek ketika melihat sikap keluarganya yang terlihat matrealistis juga terkesan suka mengatur.

Soal sikap Mas Alex, dari pertama kenal hingga kemarin sebelum ketahuan berselingkuh, dia selalu baik kepadaku. Pengertian, penuh kasih sayang juga perhatian. Pokoknya suami siaga yang siap membantu mengurus anak kapan saja saat aku membutuhkan tenaganya.

Mas Alex begitu piawai dalam mengurus anak. Bahkan ketika aku baru saja pulang dari rumah sakit dan masih dalam pemulihan paska operasi, dia juga yang selalu memandikan Maura, menggantikan popoknya tanpa perlu diajari oleh siapa-siapa.

Namun sekarang. Semuanya tinggal kenangan. Dia telah membagi cinta, raga juga perhatiannya kepada asisten rumah tangga kami.

Dan aku tidak akan memaafkan kesalahan yang sudah dia perbuat saat ini.

"Bunda, Maula ngantuk. Maula mau pulang sekalang. Maula kangen sama Ayah," rengek putri kecilku membuat dada ini terasa sesak mendengarnya.

Aku membungkuk di hadapan Maura, mengusap lembut rambut panjang berwarna cokelatnya lalu menerbitkan sedikit senyuman.

"Maura sama Bunda dulu, ya? Ayah lagi kerja. Mungkin besok atau lusa baru akan kembali." Sambil menahan lara aku berkata, tidak tega melihat anakku terus mengharapkan sang ayah kembali.

Ah, andai saja tidak membawa Siti masuk ke dalam rumah kami, mungkin benteng rumah tangga yang telah kubangun selama lima tahun bersama Mas Alex masih berdiri kokoh hingga saat ini.

"Yasudah. Kita pulang sekarang. Maura salim dulu sama Oma, Opa juga Om Aldo. Jangan lupa bilang terima kasih sama mereka karena sudah menjaga Maura selama Bunda bekerja."

Gadis berusia empat tahun itu mengangguk mengiyakan lalu segera mengikuti semua yang kuperintahkan. Anak pintar memang.

Kami berdua pun pamit pulang, sebab malam semakin beranjak larut.

Sebenarnya Mama merasa keberatan aku masih tinggal di rumah Mas Alex. Akan tetapi jika aku mengosongkan rumah yang dulu dihadiahkan oleh suami saat ulang tahun pernikahan kami yang ke dua itu,  takut Siti kembali dan mengambil semua yang seharusnya menjadi milik aku serta Maura.

Walaupun hunian itu statusnya masih kredit, tetapi itu harta satu-satunya yang Mas Alex punya dan mampu dia berikan kepadaku.

***

"Alin! Alina! Wanita sombong dan serakah. Buka pintunya. Aku mau masuk!" Aku yang sedang menyuapi Maura terkesiap ketika mendengar teriakan dari luar. Sepertinya ada tamu tidak diundang pagi ini.

Aku tidak perduli. Tetap fokus memberi makan anakku tanpa menghiraukan teriakan Siti yang begitu memekakkan telinga.

Biar saja dia teriak sampai pita suaranya putus. Aku tidak akan membukakan pintu.

Tidak lama kemudian terdengar suara keributan di halaman. Aku berjalan mendekat ke arah jendela, ingin tahu apa yang sedang terjadi dan ternyata Siti sedang menjadi bulan-bulanan warga sekitar.

Tubuh gempal perempuan ulet bulu itu sudah basah kuyup kena siram tetangga yang entah itu siapa, dan beberapa orang lainnya melempari tubuh gundik suamiku dengan telur busuk hingga menguarkan bau tidak sedap sampai ke dalam rumah.

Rasain kamu Siti. Belum tahu sih, seperti apa beringasnya emak-emak kalau melihat pelakor. Pasti gemas dan bernafsu untuk mengeksekusi.

Sementara Mas Alex, aku lihat pria itu hanya diam mematung, tanpa melakukan apa-apa melihat wanita tercintanya tengah dianiaya oleh massa.

Harusnya jangan Siti doang yang diberi pelajaran. Mas Alex juga perlu mendapatkan ganjaran, sebab dalam kasus ini bukan hanya si pelakor yang salah. Suamiku juga bersalah karena tidak kuat iman juga godaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status