Setelah Herdi mengantar putri bungsunya pergi bersama Astri, dia kembali ke rumah. Sampai di dalam rumah, dia melihat anak dan istrinya sedang tertawa bahagia. Namun, tidak bagi dirinya yang harus rela berpisah dengan anak bungsunya. "Ayah dari mana?" tanya Sindi, yang menyadari kedatangan ayahnya. " Ayah dari luar nak," jawab Herdi memaksakan senyum. "Si anak haram itu sudah pergi mas?" tanya Anis dengan sinis kepada suaminya. Herdi yang mendengar Anis menyebut Alin anak haram langsung diam. Sungguh, Herdi sangit mendengar hinaan untuk putrinya. Demi apapun Herdi berani bersumpah, bahwa Alin bukan anak hasil di luar pernikahan. Alin lahir ke dunia setelah Herdi dan Silvi ibu dari Alin menikah. "Alin bukan anak haram Bu!" ucap Herdi tegas. " Bagi aku dia tetap anak haram, yang lahir dari seorang wanita murahan, perusak rumah tangga orang!" ucap Anis emosi. Ingin rasanya Herdi, memberi tamparan atas perkataan pedas istrinya itu. Namun, lagi dan lagi Herdi hanya bisa diam mengalah.
Malam harinya setelah selesai makan malam. Alin mengirim pesan kepada herdi. [Assalamualaikum ayah?] [Waalaikumsalam nak!] [Ayah kak Astri mau minta tolong sama ayah!] [Minta tolong apa nak?] [Kata kak Astri, apa Ayah ada waktu besok?] [Kenapa nak? Kakakmu mau bertemu Ayah?] [Bukan yah! Kak Astri minta tolong Ayah kesekolah Alin sama Syifa yah! Untuk mengurus surat-surat kepindahan Alin sama Syifa. Apa Ayah bisa?] [Ya Allah nak, ayah sampai lupa urusan surat pindahan. Ayah bisa kok, besok Ayah kesekolah kamu sama Syifa ya!] [Iya Ayah soalnya kita pindah nunggu surat-surat aku sama Syifa dulu. Biar kak Astri tidak repot bolak-balik.] [Iya pasti besok Ayah urus, biasnya sehari juga bisa beres. Nanti Ayah antar kalau sudah selesai ya nak!] [Ya udah makasih ya Ayah] [Iya nak, salam sama kakakmu. Bilang sama cucu Ayah, kakek sayang Syifa.] Setelah berkirim pesan dengan Ayahnya, Alin memberi tahu Astri. Setelah itu Alin masuk ke dalam kamar. Alin merasa bersyukur telah di perte
Pagi harinya Alin dan Syifa berniat untuk berenang. Sayang kalau fasilitas Hotelnya tidak di gunakan. Mereka pun turun ke lantai bawah untuk berenang di temani Astri. Dengan semangatnya, setelah selesai sarapan Alin dan Syifa berlari ke arah kolam renang. Sedangkan Astri duduk mengawasi di kursi santai, yang tersedia di pinggir kolam. Astri hanya mengawasi anak dan adiknya berenang. Alin sangat menikmati kehidupan barunya, bersama kakak ipar yang seperti kakak kandungnya. Begitu pun dengan Syifa. Astri yang melihat Syifa begitu senang merasa bersalah. Karena sejak kecil Astri tidak pernah memberikan kemewahan untuk anaknya. Bukan karena tidak mampu, hanya saja Astri selalu merasa belum yakin terhadap keluarga suaminya. Sehingga Astri harus merelakan putrinya hidup dengan sederhana. Untung nya Syifa bukan tipe anak yang banyak menuntut. Sehingga Astri tidak repot mencari alasan. Astri bertekad akan menebus kehidupan Syifa, yang selama ini serba sederhana, bahakan lebih tepatnya kek
POV Astri. Aku membuka mata, mencoba bangun namun kepala aku terasa pusing. 'kok aku ada di kamar? Perasaan tadi di kolam renang!' lalu aku melihat sekeliling namun tak ada orang. Syifa dan Alin juga entah kemana. Aku menyenderkan tubuh ke kepala ranjang. Tak lama seperti ada yang membuka pintu. ternyata Alin dan Syifa yang masuk. " Loh, kalian dari mana ?" tanyaku pelan. " Kakak sudah bangun? Kak Astri haus? Mau minum ?" tanya Alin, terlihat panik. Memang nya apa yang terjadi sehingga Alin terlihat panik dan khawatir. " Mama..?" tiba-tiba Syifa naik ke ranjang dan memelukku. Aku heran dengan dua bocah ini. Sebenarnya apa yang terjadi. "Kok kak Astri malah bengong? Kaka mau minum?" tanya Alin lagi. " Kakak kenapa dek? Kok bisa di kamar?" Bukannya tadi kalian lagi berenang ya?" Pertanyaan yang dari tadi ku tahan akhirnya lolos juga. "Kakak ga kenapa-kenapa kok! Tadi kakak pingsan di kolam renang!" jawab Alin. Aku baru ingat, ketika di pinggir kolam aku merasa pusing dan tidak
Ardi dan Widia sibuk di kantor, mereka sedang menangani proyek pembangunan Hotel. Widia yang memang sekertaris Ardi, selalu mendampingi Ardi. Widia yang awalnya sekertari baru Ardi, berhasil menggoda Ardi. Sedangkan Ardi yang pada dasarnya suka main perempuan, menerima dengan senang perlakuan Widia yang selalu menggoda Ardi. Widia merasa di atas angin bisa menyingkirkan Astri dari kehidupan Ardi. Widia merasa bangga bisa mendapatkan Ardi dan membuat Astri tersingkir. Namun satu hal yang Widia tidak tahu, bukan hanya dirinya yang menjadi kekasih Ardi di belakang Astri. Masih banyak wanita lain yang selalu Ardi kencani dan di beri janji manis, untuk di nikahi. Sekarang Widia merasa menang, bisa mendapatkan Ardi. Namun untuk kedepan entah bagaimana nasib Widia. Ketika sedang asyik memperhatikan Ardi, tiba-tiba handphone Ardi berdering. Ardi menatap Widia yang berada di meja kerjanya. Ardi langsung megambil handphone dan melihat ada pesan masuk. Sebelum membaca pesan itu Ardi menatap Wid
Astri menunggu kedatangan Ayah mertuanya. Dia cukup was-was, takut jika suaminya melihat dirinya. Sungguh Astri benar-benar tidak ingin melihat suaminya. Dia ingin segera bercerai, namun keadaan tidak memungkinkan untuk saat ini. Dengan terpaksa Astri harus menunda keinginan yang satu ini. "Maaf, Ayah lama ya?" tanya Herdi mengagetkan Astri yang sedang melamun. "Ayah!" Alin langsung mengahmbur ke pelukan Ayahnya. Lalu Astri menyalimi Herdi, begitupun dengan Syifa. Herdi memeluk Syifa dan mendudukkan Syifa di pangkuannya. " Kakek ... Syifa berat ya! Jangan pangku nanti kake pegel. Syifa udah gede nanti kake keberatan,"kata Syifa pada kakeknya. " Kakek masih kuat pangku Syifa! Kakek juga kuat gendong Syifa," ucap Herdi sambil tetap memangku Syifa. "Syifa kan udah gede kek, pasti Syifa berat," bantah Syifa yang kekeuh merasa bukan anak kecil lagi. "Iya ... Iya cucu kakek udah besar sekarang,"Herdi mengalah kepada cucu kesayangannya. "Ayah apa kabar?" tanya Astri. "Ayah baik nak, m
Hedi sampai di rumah nya menjelang Maghrib. Dia masuk ke rumah namun, tidak terlihat keberadaan istrinya. Herdi mencari Anisa di setiap ruangan rumah, namun tetap tidak menemukan Anisa. Akhirnya Herdi memutuskan untuk mandi, karena sebentar lagi akan menjelang malam. Selesai mandi dan berpakaian Herdi keluar kamar, berniat mencari istrinya. Namun tetap tidak ada, hanya ada Ardi yang sedang duduk di ruang keluarga. Herdi yang tidak ada kegiatanpun menghampiri putranya. " Lagi apa nak?" Herdi menepuk bahu Ardi. "Ayah.." ucap Ardi yang kaget dengan kelakuan Ayahnya. Namun Ardi teringat pertemuan dengan Ayahnya di Cafe. Membuat Ardi urung melanjutkan kata-katanya. " Kenapa? Kok diam," Herdi kebingungan melihat anaknya langsung diam. "Tidak apa yah! Ayah baru pulang?" Ardi mengalihkan bicaranya. Takut Ayahnya akan membahas masalah di Cafe. "Anak Ayah sudah besar ya! Sudah mau punya anak dua!" Herdi berucap tanpa sadar. Sedangkan Ardi tampak bingung. Ardi berpikir Ayahnya melantur. "S
Pagi ini Astri tengah berkemas, rencananya mereka berangkat pukul 10. Astri sudah menghubungi Ayah mertuanya. Astri yang awalnya berencana tinggal di Bali, kini berubah setelah tahu, kalau dia sedang hamil, dan pada akhirnya Astri, akan pergi ke Bandung, Astri akan memulai kehidupan barunya di kota Bandung. Alin yang mengetahui akan pindah ke Bandung, senang bukan kepalang. Dari pagi Alin sudah tidak sabar, untuk segera pergi ke Bandung. Selama ini, Alin tak pernah sekalipun di ajak jalan-jalan ke luar kota. Jangankan luar kota, bisa keluar untuk sekolah pun, Alin sudah sangat bersyukur. "Dek! Sudah kabarin Ayah?" tanya Astri."Udah kak, tadi Ayah bilang udah di jalan,menuju ke sini," Astri lalu melanjutkan membereskan barang-barang nya. Setelah selesai berkemas Astri menghubungi sekertaris nya. [Assalamualaikum, May?] [Waalaikumsalam, Bu!] [Jemput jam berapa, May?] [Ini Bu, Maya lagi jalan ke situ!] [Ok, di tunggu ya, May!] [Iya Bu,] [Hati-hati, May! Assalamualaikum?] [Iya