Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Silvana tidak yakin jam berapa saat itu, tapi yang pasti sudah masuk tengah malam nampaknya. Silvana merasa kelelahan, kakinya bahkan terasa seperti jelly yang menumpu pada jalanan aspal yang dia tapaki saat dirinya berjalan pulang menuju ke rumahnya. Tiba-tiba Silvana mendengar suara yang datang dari arah kanannya. Kedengaran seperti napas berat.Dengan lugu, Silvana berpikir bahwa barangkali itu adalah suara orang yang terluka. Sebab suara itu terdengar seperti seseorang yang berjuang melawan rasa sakit. Sampai tiba-tiba suara itu berubah menjadi erangan keras. Kaget, wajah Silvana jelas langsung memerah. Dia tidak bodoh, dia cukup tahu tentang hubungan pria dan wanita sehingga mudah baginya untuk menebak suara apa itu.Tanpa dia sadar, tubuhnya malah mendekat kearah sumber suara. Di sebelah kanannya memang kebetulan ada bar. Bar yang sebelumnya tidak pernah menarik perhatiannya sama sekali. Tapi suara itu justru berasal dari arah gang sempit diantara bangunan bar dengan pertokoan
“Apa Sir Leon ingin aku ambilkan minuman?”“Huh? Ah… tidak perlu, tapi jika kau mau silahkan saja. Meski itu tidak har—” Leon langsung diam tatkala menyadari kehadiran mahasiswi cantik disisinya telah mengarah menuju mesin minuman di kafetaria kampus. Saat itu mereka sedang melakukan bimbingan diluar kelas, Leon dan Jarvis memandang ke arah direksi yang sama pada Silvana dengan kedua alis yang terangkat.“Tch…” Orang pertama yang mengeluarkan reaksi adalah Jarvis, hidung pemuda itu mengkerut sekaligus menggelengkan kepala saat mereka melihat Silvana yang menunduk disana. Bokongnya naik sedikit ketika dia memencet tombol pada mesin penjual minuman otomatis. Itu jelas-jelas adalah bentuk provokasi menarik para jantan. Silvana memang tahu bagaimana cara menggunakan tubuhnya untuk menarik perhatian.Sir Leon kontan mengalihkan pandangannya dari itu meskipun sebagai seorang pria normal yang sehat itu adalah sebuah pemandangan terbaik yang bisa dia saksikan tanpa perlu berupaya mengeluarkan
Leon mengerang tatkala tubuhnya dia rebahkan di atas ranjang begitu dia masuk kedalam apartmentnya. Kunci motor yang pria itu gunakan telah dia lempar secara sembarangan ke sudut meja yang tak jauh dari ranjangnya.Sungguh, hari ini tubuhnya terasa sakit seluruhnya. Sebenarnya jika ditilik tidak ada sebab khusus yang membuatnya harus merasa letih hari ini, kecuali fakta bahwa dia kerap jatuh dari atas ranjang dan berujung tidur diatas lantai hingga esok hari. Karena itulah mungkin tubuhnya jadi sakit semua.“Ugh…” keluhnya lagi sembari menggosok bagian belakang lehernya, tadinya dia memang ingin tidur tapi sepertinya dahaga yang dia rasakan meminta untuk lebih diperhatikan. Akhirnya pria itu bangkit lagi dan beranjak menuju kearah dapur.Leon mengambil gelas dari rak terdekat dan menuangkan air sebelum menghabiskannya hanya dalam satu tegukan saja. Akibatnya air tersebut sampai menetes ke dagu dan membasahi kemeja yang dia kenakan. Dengan satu tangan laki-laki itu memilih untuk melepa
Si pemuda jelas terlonjak dengan kebarbaran yang ditunjukan oleh gadis itu terhadapnya dengan begitu santai. Sejujurnya dia memang pernah dengar isu soal betapa binalnya Silvana jika sudah diatas ranjang, dan hal itu agak sedikit mengganggu pikirannya memang. Tapi setelah berhadapan dengan situasi seperti ini, sepertinya tidak begitu buruk juga meladeninya.“As you wish babe,” gumamnya dan kemudian menempatkan dirinya sendiri dibawah gadis itu untuk membuka kedua kakinya dengan penuh suka cita. Dia tidak menyianyiakan banyak waktu untuk menatapnya berlama-lama, karena di detik yang sama pemuda itu juga menarik turun kain penghalang yang menutupi bagian istimewa si gadis. Dia menyeringai saat melihat bagian itu telah cukup basah. “Kau benar-benar putus asa untuk ini ya?”“Anggap saja sebagai hari keberuntunganmu,” jawab Silvana. Mendengar keangkuhan dari gadis itu, kontan si pemuda langsung menerjang. Membawa bibirnya untuk melumat milik Silvana yang dia sangka telah menunggu belaian k
Salah satu dari mereka berteriak lantaran tidak terima dengan apa yang Leon lakukan, meski memang tindakan Leon ini agak implusif tapi pria itu tidak menyesal sama sekali. Dia justru makin ingin mengintimidasi remahana seperti mereka.“Kalian seharusnya menjaga mulut kalian. Pikiran dan ucapan kalian kotor yang kalian dengan bebas utarakan dimuka umum itu benar-benar membuatku terganggu dan muak. Kau tahu?” Leon menghardik mereka berdua. Suaranya baritonenya meninggi, pandangan matanya menajam. Dia jelas lebih mirip seekor singa mengamuk ketimbang pria tenang yang tidak peduli apapun sebelumnya. “Dan kalian seharusnya bisa belajar menghargai perempuan. Terutama pada murid peremuanku, mengerti?”Kedua laki-laki itu saling memandang satu sama lain, mereka yang mencicit seperti tikus yang kedapatan hendak dimangsa benar-benar pemandangan yang menarik bagi Leon. Mereka yang menganggukan kepala dengan mata yang sarat dengan ketakutan juga adalah hiburan tersendiri yang agak menaikan suasan