Share

Chapter 3 - Gabriel Matteow

Bunyi ketukan dari sepatu pentofel coklat mengkilap itu terdengar tegas kala menginjak lantai marmer. Sesosok tinggi berwajah eropa dengan rahang tegas dan gaya rambut undercut itu tampak sibuk dengan berkas yang di bolak-balik oleh tangannya.

"Laporan yang kuminta tadi pagi?" Tanya pria itu setelah menyerahkan berkas di tangannya pada tangan kanannya yang bernama Brian D'obrien.

"Ini tuan," Brian menyerahkan ipad pada majikannya setelah mengutak-atiknya dengan kilat.

"Nyonya Alexa telah sampai di D'Hotel."

Dan lirikan tajam yang di dapat Brian setelah menginformasikan hal tersebut.

"Maaf."

Sadar situasi yang menegangkan Brian menunduk dengan ringisan samar.

Lelaki itu berdecak. "Tidak ada hotel lain kah, lintah itu selalu mengangguku!" gerutunya terus melangkah menuju mobil yang telah terparkir cantik di depan lobby perusahaan pencakar langit yang tampak gagah dengan desain modernnya.

"Nyonya meminta anda menemaninya di jam makan malam." Meski sudah tau diberi respon tak mengenakan Brian tetap menginfirmasikan yang hanya di balas decahan Gabriel, sebelum kemudian memasuki mobil.

Di kursi penumpang dengan sang tangan kanan kepercayaannya di samping kirinya, lelaki itu tampak sibuk dengan Ipad di pangkuannya.

Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk seringaian kala informasi yang telah di bacanya memuaskan apa yang di inginkan otaknya.

***

"Hups, huuuu..."

Abby menggeleng kala melihat sang putri menghempaskan tubuh rampingnya—yang mendekati kurus, ke sofa.

"Ganti seragamnya sayang."

"Cape banget," tapi keluhan yang Lucy ucapkan sebagai balasan, dengan bibirnya yang mengerucut membuat Abby gemas.

"Mommy laper," adu Lucy dengan posisi yang berubah tengkurap sambil menopang pipi gembulnya dengan kedua tangan mungilnya, dan hanya bisa berdecak gemas. Ohh Abby yakin seragai putrinya itu yang akan kembali di pakai besok telah kusut.

Menghela napas mencoba menahan kesabarannya, single mom itu hampiri si bocah.

"Lucyana," Abby dengan tinggi yang menjulang di banding putrinya itu, berkacak pinggang. "... bangun atau Mommy buang jauh si punkin, hm?"

Tapi Lucy hanya menolehkan wajahnya sekilas, sebelum kembali membenamkan kepalanya di sudut sofa.

Punkin adalah kucing abu gembul yang sekarang tengah berbaring malas-malasan di lantai.

"Baby!"

"Dusta."

"Apa?"

"Tidak mungkin mommy buang punkin, dia hilang saja mommy tangisin, cih."

Dan respon itu membuat Abby menggeram, lebih tepatnya pada decakan yang di keluar kan mulut mungil Lucyana.

Tidak sopan sekali putri nakalnya ini!

"Ah terserah, mommy paksa saja kamu."

Dan jurus andalan yang selalu Abby gunakan.

Gelitikan, ya itu.

"Mo... Mommy st-stop... hihi!"

"Dasar nakal, mommy habisi kamu,"

Gemas Abby sambil terus menggelitiki putrinya itu.

Yang pada akhirnya Abby gendong tubuh yang lumayan berat itu, terlebih dengan kondisi Lucy yang seperti cacing kepanasan.

"Hai hai diam Lucy, nanti jatuh."

"Mommy menyebalkan!" Cemberut Lucy kala mulai terlepas dari eforia buatan sang Mommy.

"Di bilangin juga, kamunya yang nakal."

Dan kembali Lucy berdecih.

"Nah nah, tidak sopan Lucy. Kamu tuh baru 7 tahun kok ya itu ketidaksopanan nyontek dari siapa." Geleng Abby akan sikap dan sifat putrinya itu.

***

Pukul 06.45 AM. Abby sudah berada di Wnyy lantai 2, melakukan tugasnya dengan gesit, berharap waktu segera subuh saja.

Entah kenapa dia merasa hari ini waktu begitu lambat sekali, dan ada kalanya di waktu tertentu jantungnya merasa tidak tenang.

Tidak mungkin Abby mengindap penyakit jantung kan?

Menghela napas lelah, Abby dengan prefesional tetap memamerkan senyum formalnya sebagai pramusaji, "Selamat menikmati nyonya."

"Ahh, Abbyana, right?"

Abby hanya mengangguk mendapat pertanyaan dari sosok cantik berusia kisaran tiga puluhan di hadapannya ini.

Dan entah kenapa terasa familiar sekali wajah di hadapannya ini.

"Benar, nyonya." Mengangguk membenarkan sebagai jawaban.

Sang Nyonya dengan rambut merah itu mengangguk.

"Napoli, lex flower,"

Deg

Abby menatap lekat sosok di hadapannya itu, raut ramahnya hilang.

Dari mana wanita itu tahu?

Tapi sebelum Abby bertanya wanita berambut merah itu sudah terpanggil oleh seorang lelaki yang entah siapa, partner pestanya mungkin?

Mengendikan kedua bahunya Abby menggeleng mencoba tak peduli.

"Oke, kembali bekerja Abby."

Tapi belum lima langkah berjalan, Abby malah terpaku di tempat, tatapannya tampak syok kala mendapati...

"Ti-tidak,"

"Terkejut melihatku?" seringaian itu—seringaian yang tentu di kenalnya. 

Tuhan.. 

Dan Abby tak berhasil mengatasi keterkejutannya.

"K-kau..."

Tatap kosong wanita itu lemparkan pada sosok tinggi besar di hadapannya,  ludahnya terasa kesat sekali, terlebih kala seringai licik itu tertangkap netranya dan degup gugup dari hatinya mewakili apa yang di tepis hatinya dalam beberapa tahun ini.

Bahwa ternyata...

Rasa itu masih sama, dan ketakutan masa lalu kembali mendomonisinya.

Ya, Abby tidak akan menyangkal karena itu lah kebenarannya.

"Terima kasih pada malam panas yang tak terduga, akhirnya aku menemukanmu, little girl."

Sialan!

Sialan!

Malam itu!

Malam sialan yang kembali terulang, tanpa sadar membuatnya mabuk, sampai berakhir di sebuah ranjang hotel bersama lelaki tidak kalah sialan di hadapannya ini.

Lelaki yang dulu harusnya Abby hindari, bukan malah berpasrah diri masuk ke dalam kehidupannya. Sampai dia menghasilkan sesosok gadis kecil yang saat ini mungkin tengah meringkuk di ranjang kecilnya di apartemn.

"Abby!"

Sebuah sahutan yang mungkin akan menyelamatkannya dari sosok tinggi besar di hadapannya, namun...

"Lepaskan aku!"

Harapan yang sia-sia, karena dengan sekejap tubuhnya malah di tarik memasuki toilet yang sialannya berjarak 5 langkah dari belakang si lelaki. Dan entah yang meneriakinya melihat dirinya atau tidak.

"Gabriel?!" Sentak Abby semakin keras, menahan segala perasaan terkecamuk di sekujur tubuhnya.

"Yeah, Gabriel Matteow, it's me," seperti orang gila Gabriel malah tersenyum yang terlihat creepy di mata Abby, sebelum kemudian menarik pinggang wanita itu sampai menabrak kasar perut kerasnya yang terlapis kain berwarna putih. "Senang kau masih mengingat nama suamimu."

BRAG!

Satu tendangan tak terduga yang di layangkan kaki panjang Gabriel pada pintu toilet membuat Abby tersentak.

"What are you doing?" tanya wanita  yang masih berada dalam rengkuhan paksa lelaki yang ternyata merupakan suaminya itu.

Mengingat itu, membuat Abby hanya di lingkupi rasa sakit dan muak yang ternyata berlangsung sampai saat ini.

Move on itu tidak bener-benar meninggalkannya.

"Mengecek sesuatu, maybe..." Balas Gabriel merunduk untuk menatap Abby yang ternyata tengah menatapnya—segera Abby memalingkan pandangannya.

"Great," kala tak menemukan makhluk hidup selain mereka berdua.

"Bisa kita mulai?"

"Aku tidak ada urusan denganmu, aku har—"

"Bisa kita mulai?"

Tapi Abby yang kekeh menggeleng, berbalik arah dengan langkahnya yang terasa lemah, namun di detik setelahnya—sebuah rangkaian kalimat yang terasa seperti ancaman—atau memang seperti itu membuatnya membeku ditempat.

"Kembali padaku, atau Lucyana akan ku ambil."

Seringai licik menyambangi rupa rupawan Gabriel kala gertakannya masih berpengaruh pada wanita di hadapannya itu.

"Ba-bagaimana kau tau Lucy?" tanyanya dengan terbata.

Semakin melebarkan smirk liciknya, Gabriel mengeluarkan sesuatu dari saku belakangnya, dan ternyata...

Dengan bibir bergetar samar, Abby meremas kedua tangannya menjadi kepalan.

Bodoh!

Dan dia sadar bagaimana benda itu yang merupakan foto gadis nakalnya bisa di miliki Gabriel.

"Terima kasih untuk malam panas yang meninggalkan teka teki yang mengejutkan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status