Setelah dosa besar yang mereka lakukan, Cao Cao dan Chen Gong bingung harus apa. Luboshe orang baik. Tetapi mereka mengkhianati kebaikannya.
"Ada apa, kenapa buru-buru? Matahari belum terbit," ucap Luboshe, turun dari kuda pamer beberapa kendi mahal. "Lihat, arak ini enak. Ayo kita pulang dulu ke rumah menikmati arak."
Chen Gong menangis karena hal ini. Dia turun bersama Cao Cao dan menjadi yang pertama memeluk kaki Luboshe.
"Maafkan kami, Paman. Maafkan dosa kami."
"Haiya." Luboshe yang baik salah mengerti. Dia membantu Chen Gong berdiri, merapikan pakaian pria itu. "Kenapa sampai berlutut? Tidak apa-apa, aku tahu kalian tidak betah di rumah kan?"
"Bukan begitu, tapi--"
Ca
Nyala obor Cao Cao bergoyang-goyang menyinari tembok batu berlumut goa. Kelelawar beterbangan seakan menyambut dengan kepak sayap hitam. Beberapa kali dia nyaris terjerembab, hingga langkah membawa sampai ke ujung goa. Batu besar menutupi jalan. Dia meraba-raba tembok batu mulus hingga telapak tangan menekan sesuatu yang menjorok masuk. Tembok itu terbuka secara otomatis ke atas. Nyala obor di dalam ruang pengap menyala satu persatu. "Haiya, ruang apa ini?" Cao Cao masuk ke dalam. Terdapat batu besar di bagian tengah ruang goa. Di batu itu, sebuah pakaian perang berdiri gagah di belakang sebuah kitab berdebu. (Baju perang Xiang Yu, tombak Xiang Yu, kitab aura hitam Xiang Yu)
Sekarang giliran Bian menguasai tubuh Zhou. Dia memakai pakaian putih hijau yang sangat nyaman juga lembut. Bian paling suka mengelus pakaian supaya tidak kusut. Ketika murid baru lain memakai waktu mereka untuk menjelajah Huasan, Bian menentukan sarang barunya. Bagai ikan koi masuk ke dalam sungai, setelah pelajaran pertama dia mendekam di perpustakaan. "Haiya Bian! Kalau cuma mau membaca, mending di dunia bawah sadar!" protes Zhou dalam alam bawah sadar. "Membosankan sekali, mending melihat orang berlatih ilmu bela diri, Bian, ayo pergi, Bian, aku bosan!" "Zhou diam," bisik Bian. "Jangan menggangguku. Lihat, banyak buku tua yang tidak dimiliki perpustakaan kerajaan. Aku ingin membaca semua."
Tiga senior Huasan melangkah cepat di lorong menuju paviliun utama. Mereka tidak peduli menabrak orang, tiada yang berani menghalangi langkah mereka.Mereka tiga serangkai Bu. Bu Bo berbadan gendut, Bu Bi berbadan kurus dan Bu Ba berbadan kekar.Mereka melihat adegan terlarang, adegan panas di perpustakaan. Sangat tabu bagi orang Huasan berciuman sebelum umur mereka cukup.Mereka tahu data murid-murid baru. Qiao memang cukup umur, tapi Zhou dia belum lima belas tahun."Kita harus melapor, supaya dia ditendang ke luar Huasan," ucap Bi. Giginya depan besar seperti gigi tikus."Biar saja, namanya anak muda," jawab Ba di tampan, merapikan rambut. Dia mengedip ketika melihat gadis, mengundang mereka tersenyum.
"Ada apa ini?" tanya Bu Guru. "Dia menyerang duluan," sahut Bi menunjuk Shi. "Tanya sama yang lain, mereka melihat kok!" "Sekarang ikut ke pagoda Air Terjun!" bentak Bu Guru. "Murid senior, bawa mereka sekarang juga!" Para senior melempar kain melayang. Kain putih sutra tembus pandang, tapi sangat kuat menggulung badan ke empat pria. Kain berfungsi seperti tali tambang. Mereka ditarik menuju pagoda Air Terjun, di belakang air terjun, tempat guru Tao Jin berada. Asap dupa wangi semerbak di ruang kayu pagoda. Di depan patung Budha emas bertangan delapan, Tao Jin duduk di atas bantal. "Permisi Guru, ada pelanggaran yang terjadi." Lima murid di lempar ke hadapan guru Tao Jin. Bu
Liu Bian memijak taman bunga. Biasanya Zhou dan Qiu ribut, kali ini keduanya membungkuk menyambutnya. "Selamat datang Kaisar Bian." Kompak keduanya bicara. Pipi Bian memerah, mengetuk kepala keduanya bergantian. "Sudah aku bilang jangan berubah sikap, kenapa kalian malah seperti ini?" "Ide Qiu tuh." "Eh, enak saja!" sentak Qiu. "Zhou yang menyuruh!" "Wanita mana mau salah," komentar Zhou. "Apa kamu bilang?" Gemas Qiu menarik kedua pipi Zhou sampai bibirnya melar ke kiri dan kanan. "Kamu sendiri tadi bilang, Qiu ayo sambut Bian seperti di istana, kan!" Bian tersenyum kecil. Ini yang dia nanti, sambutan penuh ceria dari kedua saha
Perjalanan Cao Cao berakhir. Setelah mendapat prasasti peninggalan Xiang Yu, Cao Cao tiba di kota Chenliu."Tuan Cao Cao pahlawan Han!""Selamat datang Cao Mengde!"Semua penduduk menyambut dengan gegap gempita. Beberapa dari mereka melempar bunga ke jalan yang Cao Cao lalui. Bahkan beberapa pasukan pemerintah ikut bersorak menyambut pahlawan mereka.Ini menunjukkan bagaimana pandangan rakyat pada Han. Walau Kekaisaran korup, mereka tetap setia. Bagi nereka Han adalah identitas pemersatu, berbangsa dan bertanah air.Teriakan lain muncul. "Bunuh tirani Dong Zhuo! Panjang umur Kaisar Xian!Cao Cao turun dari kuda di depan rumah megah. Di sana dia disambut Cao Ang dan Cao Zhen, anak pertama dan kedua."
Dada Cao Cao seperti ditabuh dari dalam. Ini perang pertama melawan musuh bebuyutan dan dia masih berpakaian santai. Dia hendak pulang ke rumah untuk memakai pakaian perang keramat, akan tetapi suara tawa du depan gerbang membuatnya. Dua orang berdiri di sana. "Lihat, dia gugup!" Pria gendut menepuk punggung pria kurus. Keduanya maju menemui Cao Cao. "Haiya! Aku kira pasukan musuh!" Cao Cao memeluk kedua pria dengan erat penuh kekerabatan. "Ayo masuk, saudara-saudaraku." Pria gendut berbrewok tipis adalah Cao Ren. Sepupu Cao Cao. Dia membawa perisai besar dan kapak sebagai senjata. Pria kurus berwajah cekung bernama Cao Hong sepupu Cao Cao. Kumisnya tebal dengan ujung kiri
Setelah menerima buku dari Zuo Ci, Nu An menjadi sedikit mengerti tentang ilmu beladiri.Namun, dia lebih fokus pada ilmu pengobatan yang juga ada di buku kumal sakti. Dengan ilmu itu dalam beberapa Bulan terakhir dia mengobati banyak orang.Dengan berbuat baik dia tidak meminta upah, hanya menerima makan untuk sekedar mengisi perut, guna memberi tenaga untuk mencari adik yang entah ke mana.Banyak orang berkerumun di depan rumah gubuk beratap rerumputan kering. Mereka penasaran orang seperti apa Nu An."Tuan Nu An, terima kasih karena mengobati anak gadisku.Pria tua menaruh makanan juga bekal makanan ke meja kecil. Nasi campur rumput, dengan duri ikan bakar sebagai pengharum. Begitu miskin keluarga mereka bahkan makan