Setelah mengarungi samudera nan luas seolah-olah tak berbatas, Suro Joyo akhirnya menginjakkan kakinya di Tanah Jawa. Sepulang dari Tanah Utara, Suro Joyo ingin ke Kerajaan Krendobumi. Pengembaraannya selama ini tidak bisa melupakan Suro Joyo pada tanah kelahirannya.
Untuk tujuan apa Suro Joyo kembali ke Krendobumi? Apakah ingin menyatakan kesiapannya menjadi putra mahkota di kerajaan itu?
“Entah apa yang menyebabkan aku ingin ke Krendobumi,” kata Suro Joyo pada diri sendiri saat menelusuri jalan perkampungan nelayan. “Yang jelas, aku rindu pada orang tuaku. Sudah cukup lama aku meninggalkan Krendobumi untuk memenuhi kewajibanku sebagai manusia. Manusia yang ingin menegakkan kebenaran di atas bumi. Manusia yang mengembara demi memenuhi tugas-tugas kemanusiaan.”
“Tapi..., bagaimana sikapku nanti kalau ayahanda mendesakku untuk menggantikannya sebagai raja di Krendobumi?” pertanyaan ini bergelayut di benak Suro Joy
Raden Tumon menatap wajah cantik Ayumanis. Dia ingin mendapatkan jawaban dari gadis manis pemilik penginapan. Raden Tumon ingin mendengar secara langsung dari orang yang mempekerjakan Wandagni.Mendapatkan tatapan mata penuh harap dari Raden Tumon, Ayumanis menjadi kurang enak hati. Ayumanis memang atasan Wandagni. Ayumanis bisa memerintah Wandagni untuk melakukan tugas-tugasnya sebagai pimpinan pelayan kamar. Kalau ada tamu kurang puas tentang pelayanan kamar, maka Ayumanis bisa menegur Wandagni. Ayumanis bisa memerintah Wandagni untuk meningkatkan pelayanan kamar. Namun kalau urusan hati, urusan cinta, Ayumanis tidak bisa berbuat apa-apa.Raden Tumon memang cinta setengah mati pada Wandagni, tapi Wandagni sebaliknya. Bukan cinta setengah mati, tapi benci setengah mati. Begitu kata hati Ayumanis. Wandagni pada awalnya kurang suka pada Raden Tumon yang tampil sok aksi, sok tampan, dan sok kaya di hadapan Wandagni. Selanjutnya, Wandagni tidak
Janurwasis memandangi wajah Ayumanis saat menanyakan kegunaan benda yang diberikan Ayumanis. Kemudian dia mengamati benda berwarna ungu yang berada di telapak tangan kanannya. Gambar bunga melati terlukis indah pada benda bundar sebesar uang logam. ‘Untuk apa benda ini?’ tanya Janurwasis di dalam hati. ‘Apakah ini tanda bahwa aku pelanggan Penginapan Melati Jingga? Apa pun benda ini, aku yakin, akan membuatku senang.’ ”Dengan memberikan tanda itu, kamu akan mendapatkan potongan uang sewa sampai separuhnya,” jawab Ayumanis. Jawaban yang membuat Janurwasis tersenyum. Senyum yang membuat wajahnya terlihat makin tampan. ”Terima kasih,” kata Janurwasis. Lagi-lagi disertai senyumnya. Senyum itu membuat gadis mana pun akan terpesona. Atau..., paling tidak, semalaman bakal sulit tidur! Janurwasis menghabiskan kopinya. Kopi paling istimewa yang dimiliki Penginapan Melati Jingga. Ramuan kopi dan gula yang pas, yang menimbulkan cita rasa khas. Kopi khas yang disajikan di Penginapan Melati Jin
Para tamu dan pengunjung Penginapan Melati Jingga yang melihat sepak terjang Ayumanis terperangah. Mereka kagum atas kehebatan gadis muda yang berilmu silat tinggi. Selain cantik, Ayumanis ternyata memiliki kemampuan bertarung yang di luar dugaan.‘Dua berandal bodoh itu cari penyakit,’ kata Raden Tumon hati. Dia juga ikut menyaksikan kehebatan Ayumanis. ‘Mereka salah mencari musuh. Mereka benar-benar orang bodoh yang mungkin selama ini terkurung di pedalaman. Apakah mereka tidak tahu ketenaran Ayumanis sebelumnya? Orang yang berani membuka penginapan di tempat seperti ini tentu bukan sembarang orang. Ayumanis berani membuat Penginapan Melati Jingga tentu dengan perhitungan matang. Bukan hanya modal harta dan uang saja untuk membuat penginapan ini, tetapi juga modal kemampuan lain.’Raden Tumon berani menilai bahwa Gabrul dan Kepyur bodoh karena becermin dari diri sendiri. Raden Tumon berani naksir Wandagni karena dirinya anak orang kaya. Raden Tumon menyadari bahwa Wandagni sangat ca
Wadungsarpa tersenyum ke arah Katriningsih sebelum menjawab pertanyaan. Keramahan Wadungsarpa menjadi ciri khas yang diingat semua orang. Semua yang pernah berbicara, atau mengenal Wadungsarpa, punya satu pandangan, Wadungsarpa orang yang sopan, ramah, berkepribadian menarik. Tidak heran sering terjadi kesalahpahaman. Banyak perempuan, entah muda atau pun tua yang salah paham atas keramahan Wadungsarpa. Banyak perempuan yang menyangka Wadungsarpa suka, dalam arti secara pribadi. Padahal bukan begitu maksud Wadungsarpa.”Kopi,” jawab Wadungsarpa sambil tersenyum. Katriningsih merasa jantungnya berdegup keras karena senyum Wadungsarpa. Meskipun tua, tapi Wadungsarpa masih punya pesona sebagai sosok pria. ”Jangan lupa, bawa pisang goreng dan singkong goreng kemari!”“Baik, Ki,” kata,” Katriningsih sambil menunduk hormat. Rasa deg-degan di dada belum sepenuhnya hilang.’Benar kata orang,’ kata Katriningsih dalam hati. ‘Pesona laki-laki tua kadang-kadang lebih memabukkan laki-laki muda. Pa
Wajah Sanggariwut terlihat cerah. Terlihat bergairah. Wajah mudanya yang tampan semakin menampakkan pesonanya. Katriningsih yang melihat Sanggariwut dari kejauhan terlihat kagum. Terpesona. Terpikat. Namun gadis yang sedang sibuk-sibuknya melayani para tamu segera bergegas ke dapur. Takut dirinya jatuh tersimpuh di hadapan Sanggariwut seraya berkata, “Tuan tampan..., aku cinta kamu!”Wadungsarpa girang hatinya melihat wajah sumringah Sanggariwut. Wajah gairah penuh semangat membara dalam usia muda.‘Syukurlah Sanggariwut tetap semangat ingin mengawalku. Aku menjadi lebih tenang sekarang,’ Wadungsarpa membatin. ‘Sanggariwut mempunyai ilmu silat tinggi, jurus maut, dan berbagai kemampuan yang sulit ditandingi. Aku sendiri kalau bertarung satu lawan satu, belum tentu bisa mengalahkan Sanggariwut.’Wadungsarpa berdiri dan siap meninggalkan Penginapan Melati Jingga.”Ya, paman,” kata Sanggariwut. “Aku segera meninggalkan penginapan ini secepatnya.”Wadungsarpa berlalu. Dia tinggalkan Sangg
Wadungsarpa mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak. Semula Wadungsarpa bisa tertawa-tawa karena telah merasa bisa mengelabui Daruna dan Panggas. Namun kini dia mesti lebih hati-hati ketika bertarung melawan mereka. ‘Mereka ternyata para pendekar hebat yang punya ilmu silat tinggi,’ kata Wadungsarpa di dalam hati. ‘Mereka bisa menyerang secara serentak, sehingga aku kesulitan menandinginya. Aku bisa kalah kalau terus bertarung melawan mereka.’ Daruna dan Panggas kembali menyerang Wadungsarpa dengan jurus-jurus baru. Wadungsarpa kembali mengimbangi serangan kedua lawannya dengan jurus-jurus tangan kosong. Pada suatu kesempatan, Panggas hendak memukul wajah lawan dengan gerakan cepat. Wadungsarpa menangkis pukulan Panggas. Namun pada saat bersamaan Wadungsarpa tidak menyadari bahwa Daruna menendang dada hingga Wadungsarpa terjerembab mencium tanah. Selama beberapa saat Wadungsarpa kehilangan kendali dirinya. Keadaa
Keris Kuwungtunjem yang berada dalam genggaman Wadungsarpa merupakan senjata sakti yang sangat mematikan. Keris sakti itu bisa mematahkan senjata lain, sehingga tidak ada gunanya Daruna dan Panggas menggunakan senjata untuk menangkis.Daruna dan Panggas menyadari bahwa keris di tangan Wadungsarpa bukan sembarang keris. Keris sakti itu mempunyai kehebatan tingkat tinggi. Ada kekuatan yang memancar kuat dari keris. Kekuatan itu tentunya juga disertai ketajaman yang tak terungkapkan. Saking tajam dan kuatnya, golok dan pedang yang tersabet Keris Kuwungtunjem, langsung patah.‘Tidak mungkin menangkis keris di tangan Wadungsarpa dengan senjata biasa,’ kata Daruna di dalam hati. ‘Tadi sudah berusaha menangkis keris Wadungsarpa dengan menggunakan golok dan pedang, tapi patah. Kalau aku menggunakan senjata serupa, juga akan sia-sia.’Ketika ada bahaya mengancam jiwa, Daruna melempar tubuhnya ke semak belukar. Darun
“Kalau dua prajurit dari Pulungpitu itu, aku pasti bisa mengalahkan,” gumam Wadungsarpa. “Tapi kalau pendekar yang disebut bernama Suro Joyo ini, aku kesulitan untuk menandinginya. Suro Joyo jelas punya keunggulan sebagai seorang pendekar muda. Dia bisa menggunakan batu sekepalan tangan untuk menggagalkan niatku untuk membunuh salah satu prajurit Pulungpitu.” Wadungsarpa masih bisa merasakan betapa kuatnya tenaga dalam yang digunakan Suro Joyo untuk melemparkan batu untuk menghantam Keris Kuwungtunjem. Tangan Wadungsarpa yang digunakan untuk menggenggam gagang keris terasa bergetar kuat. Jari-jari tangan kanan Wadungsarpa terasa kesemutan. ‘Meninggalkan pertarungan sebelum diketahui kalah atau menang, merupakan perbuatan pengecut,’ kata hati Wadungsarpa. ‘Itu perbuatan yang selama ini kuhindari. Jangan sampai aku melakukan perbuatan nista semacam itu. Tapi kali ini aku harus bisa mengukur kemampuan diri. Aku tidak mungkin melawan Suro Joyo