Empat ratus tahun berlalu. Bumi dan langit masih menunggu sosok anak dalam ramalan yang kelak hadir menyelamatkan dunia ini dari kehancuran. Saat asyik bercanda gurau, tiba-tiba Roh Gatra datang menghampiri mereka.
“Anak itu sebentar lagi lahir,” kata Gatra. “Ini mungkin hanya firasat, tapi aku yakin anak itu akan hadir di dunia ini.”
Bumi pamit pada langit karena ingin memantau aktivitas semua manusia. Dari semua itu, ada satu hal yang menarik perhatian. Pandangan bumi tiba-tiba terpusat pada sebuah desa kecil bernama Buncitan.
Beberapa warga berkumpul di balai desa. Wajah mereka semakin tirus dan perut mereka perlahan mengecil. Kasus kelaparan melanda kampung kecil ini. Masyarakat memiliki penyakit yang sama, busung lapar dan kurang gizi.
Setidaknya dalam dua tahun terakhir, banyak warga yang memilih pergi dari kampung. Tidak sedikit juga yang pulang ke kampung halaman mereka -alam baka, menemui Dewata karena tidak kuat menahan kemiskinan yang semakin menjadi-jadi.
Padahal beberapa tahun silam, desa ini terkenal sebagai desa penghasil padi terbaik dan diakui tiap pedagang yang berkunjung. Ahh, kenangan yang cukup indah untuk diingat.
“Dewata akan mengabulkan doa kita. Kita harus yakin. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha dan terus berdoa,” ucap Pak Lurah yang memimpin upacara adat. “Kita doakan juga Bu Patmi, semoga bayi itu membawa keberuntungan bagi desa kita.”
Sapi dikarak keliling desa. Golok diasah dan siap dipertemukan dengan hewan-hewan yang akan dikurbankan. Saat lantunan doa digelar, tiba-tiba langit meluapkan seluruh emosinya.
Wuuushh!
Angin berhembus sangat kencang. Seluruh Nusantara merasakan angin ini. Bahkan anginnya jauh lebih kencang dari angin muson atau angin laut yang sering menghempaskan perahu nelayan.
Langit terbelah. Muncul api kehitaman dari belahannya. Api itu perlahan merubah diri menjadi bentuk mirip naga. Naga Api Sulong, naga legendaris yang pernah menggemparkan bumi ribuan tahun lalu.
“Ada apa ini?" serogoh Pak Lurah. "Kita sudah berdoa, tapi kenapa langit tidak mau menerimanya?”
Ledakan dahsyat menerjang markas-markas iblis di Nusantara.
Ratusan bola api hitam meluncur dan membumihanguskan seluruh murid Perguruan Elang Hitam yang sedang mengadakan turnamen untuk membuktikan siapa murid terbaik di perguruan.
Tiga orang berkumpul di sebuah goa. Puluhan tahun mereka menunggu kejadian seperti ini. Mereka lah tiga dari empat pendekar terhebat di masa ini. Kekuatannya jauh melampaui kekuatan semua pendekar di dunia. Bahkan beberapa ketua perguruan berkata, kekuatan salah satu dari mereka setara dengan kekuatan empat perguruan sekaligus.
Agaknya mereka lebih cocok disebut sebagai Dewa yang memiliki tugas khusus menumpas seluruh pendekar aliran hitam di dunia ini.
“Benarkah anak itu sudah lahir?” tanya Ki Seno Aji, lelaki paruh baya yang sekarang dinobatkan sebagai pendekar terkuat pada masanya. Beliau adalah pewaris mustika merah Pedang Naga, mustika terkuat dari empat mustika legendaris Bhagawad Gita.
Datuk Lembu Sora berdiri. “Aku rasa begitu. Langit sudah menunjukkan tandanya. Tinggal menunggu ledakan dahsyat di ufuk Timur serta padamnya api abadi di markas Serikat Zhang Ze.”
Empu Ganda Wirakerti ikut menanggapi percakapan itu. Dia berhak bicara selaku pewaris mustika putih. “Serikat Zhang Ze, lama sekali aku tidak mendengar nama itu sejak pertempuran dahsyat 60 tahun silam."
"Hahaha, jangan bahas pertempuran itu. Aku jadi tidak enak," lirih Ki Seno. Pertempuran itu merupakan kenangan terindah dalam hidup. "Kebetulan saja aku menang saat bertarung melawan Weng Luofi, pemimpin Serikat Zhang Ze sebelum Meng Khi."
"Dulu Bhagawad Gita saja tidak mampu melawan kedahsyatan pendekar dari Serikat Zhang Ze, tapi Anda berhasil mengalahkan mereka setelah pertarungan sengit sepuluh hari sepuluh malam," puji Datuk Lembu Sora, pemilik mustika cokelat.
"Tidak! Dia tetap yang terkuat."
Bhagawad Gita dianggap sebagai pendekar terkuat sepanjang masa.
Membagi kekuatannya dalam empat mustika, Bhagawad Gita sadar era kehancuran sebentar lagi datang. Era itu membuat tubuhnya hancur, tapi tidak dengan kekuatannya.
Serikat Zhang Ze bertanggung jawab atas kematian Bhagawad Gita. Mereka sengaja memberontak demi bisa memiliki semua mustika legendaris milik sang legenda.
Mustika merah, putih, cokelat, dan emas terpencar ke seluruh dunia. Mereka memilih tuan masing-masing. Sayangnya, mustika emas berhianat dan berpihak pada pendekar aliran hitam. Legenda mengatakan, keempatnya akhirnya berevolusi dan memiliki bentuk roh masing-masing.
Tiga mustika dipegang pendekar Nusantara yang mengikuti paham pendekar tanpa aliran. Mereka tidak memihak aliran hitam maupun aliran putih. Mereka hanya memihak kebenaran dan menumpas kejahatan.
Sedangkan satu mustika lagi -mustika emas, dipegang oleh ketua Serikat Zhang Ze yang bernama Meng Khi.
Misi serikat Zhang Ze tetap sama seperti 400 tahun lalu, meraih kekuatan penghancur mutlak kala empat mustika itu disatukan. Mereka memiliki satu tujuan, menguasai dunia dan membunuh siapapun yang menentang mereka.
Tapi tujuan itu tidak pernah bisa terwujud apabila mereka belum memiliki kekuatan empat mustika.
Hanya anak dalam ramalan yang bisa menghentikan era kehancuran bumi yang kelak terjadi lagi setelah empat ratus tahun. Anak itu diramalkan berhasil menyatukan keempat mustika dan menjadi penerus tekad Bhagawad Gita. Semua pendekar telah menunggu detik-detik kelahiran anak ini.
Ki Seno berdiri dan menatap langit. Warnanya semakin merah karena panas yang ditimbulkan Sulong. Merasa tersaingi oleh kengerian Sulong, bumi segera memuntahkan isi perutnya.
Gunung-gunung meletus. Tsunami terjadi di mana-mana. Gempa dahsyat menerjang bumi, bahkan efek gempanya berhasil memadamkan api abadi di markas besar Serikat Zhang Ze di puncak gunung Distrik Yuan, Tiongkok.
Semua anggota serikat panik. Mereka sebenarnya tahu tentang ramalan Kitab Sabdo Waseso, tapi mereka tidak mempercayainya. Sekarang semua tanda itu telah muncul. Mereka akhirnya percaya bahwa anak dalam ramalan itu benar-benar dilahirkan. Api abadi yang tidak pernah padam sejak pertempuran dahsyat 400 tahun lalu, mendadak padam tanpa sebab apapun.
Meng Khi bangkit dari singgasananya dan segera mengumpulkan semua petinggi Serikat Zhang Ze.
“Kita satukan kekuatan. Kita harus membunuh semua bayi yang lahir hari ini. Beritahukan perintah ini pada semua sekutu kita yang tersebar di seluruh dunia!”
...
Tiga belas tahun berlalu. Serikat Zhang Ze masih mencari remaja yang memiliki tanda lahir di punggung belakangnya. Setiap pemuda yang bertemu dengan orang-orang serikat harus membuka baju mereka dan menunjukkan punggung mereka.
Sampai saat ini, mereka belum berhasil menemukan remaja dengan tato naga di punggungnya. Meng Khi kesal. Dia menyuruh petingginya berangkat menuju Perguruan Elang Hitam untuk menyatukan kekuatan dan menjajah Nusantara.
Ki Seno Aji mengetahui informasi itu. Dia melesat menggunakan ilmu meringankan tubuh, pergi ke ujung Selatan Jawa.
“Apa kau yakin dia ada di sini?” tanya Ki Seno, padahal tidak seorang pun berdiri di hadapannya.
Sesosok gagak hitam mata merah keluar dari dalam tubuh pendekar terkuat itu. Dia bertengger di pohon, lalu mengangguk.
“Baiklah. Aku akan menunggunya di sini.”
...
Warga desa Buncitan nampak bahagia. Asoka berhasil membawa pulang macan loreng yang seringkali meresahkan warga. Macan itu sudah membunuh hampir belasan warga yang mencari kayu bakar di tengah hutan.
Kini ketakutan warga sudah hilang. Mereka bisa bekerja lagi, mencari kayu bakar untuk dijual dan memotong rumput untuk makanan ternak mereka.
“Tidak salah kita merayakan hari kelahirannya dengan doa-doa. Asoka memang pembawa keberuntungan di desa ini. Ternak kita makin sehat dan hasil pertanian kita terus meningkat sejak Asoka dilahirkan.”
Pak Lurah memuji Asoka saat warga mengadakan upacara adat di balai desa. Semua orang menyetujui hal tersebut. Sejak Asoka lahir di dunia ini, langit tidak lagi angkuh seperti dulu. Langit menjelma menjadi saudagar dermawan yang rela membagikan hujannya secara cuma-cuma.
“Jangan begitu, Pak, aku jadi tidak enak. Sudah, mari makan mumpung masih panas,” ajak Asoka pada semua orang.
Di saat bersamaan, Darmono lari menuju balai desa. Keranjang kayu yang dibawanya kosong. Ini sedikit aneh, biasanya Darmono pulang membawa kayu bakar penuh satu keranjang.
“Ada apa ini? Kenapa kau lari seperti orang ketakutan? Apa ada serangan macan lagi? Bukankah anakmu sudah membunuh macan itu kemarin?” Pak Lurah menyerang Darmono dengan rentetan pertanyaan.
“Ti-tidak! Me-mereka sudah datang.”
“Siapa?”
Darmono meneguk ludah lalu menyuruh semua warga menoleh ke arah bukit. Ratusan pendekar aliran hitam bergerak menuruni bukit. Mereka membawa pedang dan panah. Sepertinya mereka tahu bahwa Asoka adalah anak dalam ramalan yang selama ini mereka cari.
“Serahkan pemuda itu atau kalian semua akan kubunuh!”Wusasena, ketua perguruan Elang Hitam, datang membawa ratusan pasukannya. Semuanya merupakan pendekar tingkat langit dan memiliki kanuragan melebihi manusia pada umumnya.Kepala desa keluar dan berteriak lebih keras lagi. “Asokaadalah anak emas kami. Kami tidak akan menyerahkannya begitu saja.”“Jangan gegabah! Kami bisa membunuh kalian dalam hitungan menit. Jika kalian tidak mau memberikannya, kami akan menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkannya!”“Kami akan melindungi Asokawalau harus mempertaruhkan nyawa kami!”“Serang desa itu!” Wusasena memerintah murid-muridnya bergerak memborbardir desa.Puluhan pendekar bergerak. Mereka membawa senjata masing-masing. Tombak, pedang, dan golok sudah disiapkan jauh-jauh hari untuk penyerangan itu.Beberapa turun, tapi sebagian besar tetap menunggu di atas. Mereka ada
“Sekarang musim hujan ya, Pak? Asokaingin hujan-hujan, tapi Asokaharus pergi dari sini. Asokasedih harus pisah sama Bapak saat hujan seperti ini.”Yang di atas memanglah hujan, tapi bukan hujan biasa. Ratusan anak panah melesat bagai air hujan. Darmono yang mengetahui hal tersebut, langsung melingkarkan tubuhnya ke tubuh anaknya.Crat!Darah mengucur begitu sebuah anak panah menusuk punggung Darmono hingga tembus sampai ke perut. Ada cairan hijau di ujung panah, menandakan panah ini sudah dilumuri racun mematikan.“Pergilah temui ibumu!” kata Darmono, suaranya semakin lemah. “Bapak sudah tidak kuat lagi. Hanya ini yang bisa Bapak lakukan untuk melindungimu. Pengorbanan Bapak jangan kau sia-siakan, Asoka!”“Tapi Bapak dulu pernah bilang ingin melihatku jadi pendekar sejati. Kenapa Bapak malah melukai diri seperti ini?”“Nak, dengarkan Bapak! Kamu harus pergi sekarang. Tem
Fajar menyongsong. Hujan turun dengan derasnya. Air hujan menyapu bersih darah yang berserakan di desa Buncitan, mengalirkannya lewat parit misterius di dekat pohon beringin.Asokaterbangun saat genangan air mengelilingi tubuhnya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar demi bisa mengais serpihan air hujan. Kepalanya terlampau pening. Tubuhnya terbaring di sebuah kubangan yang airnya berwarna cokelat kemerahan.“Di mana ini?” tanyanya kebingungan.“Apa aku sudah mati? Apa sudah waktuku menyusul bapak dan ibu ke alam baka? Jika memang begitu, aku bisa bersyukur. Aku mati tanpa rasa sakit. Tulang-tulangku juga tidak ada yang bermasalah.”“Tapi sebentar, ini bukan mimpi, ini nyata! Apa yang terjadi denganku?”Bingung membuat Asokamengedarkan pandangan ke sekeliling. Hutan belantara. Tidak ada rumah ataupun jejak kaki yang nampak. Asokasadar dia masih hidup walau badannya penuh dengan luka. Saat menoleh ke
Asoka berteriak kesakitan. Pedang kecil yang dibawa si kakek berhasil melukai leher Asoka. Darah keluar dari leher Asoka, mengalir lumayan deras. Jika terus dibiarkan, Asoka bisa mati kehabisan darah."Sialan kau!" Asoka menendang Ki Seno Aji dan berlari menyusuri hutan.Ki Seno hanya tersenyum. Dia sengaja membuat goresan di leher Asoka meskipun tidak terlalu dalam. Untuk sementara waktu, Ki Seno membiarkan Asoka melarikan diri ke dalam hutan.Asoka kecil sering dididik agar tidak takut pada siapapun. Manusia sama-sama makan nasi dan minum air. Darmono bahkan melarang Asoka sujud pada siapapun, kecuali pada orang tua dan guru yang mengajarkan ilmu. Sebesar apapun kekuatan yang dimiliki manusia, itu semua tak lepas dari kehendak Dewata.Asoka tahu yang menolongnya adalah Ki Seno Aji, pendekar terkuat yang namanya terkenal di seluruh daratan Jawa, bahkan seluruh dunia. Tapi ketika dia merasa terancam, dia berhak untuk melawan tanpa takut mati sedikitpun.
Bersama Ki Seno Aji, Asoka menghabiskan waktunya hingga dia berhasil mencapai tingkat pendekar bumi awal. Sejauh ini tidak ada latihan fisik yang diajarkan Ki Seno Aji.Asoka hanya disuruh mencari kayu bakar di hutan, berburu hewan dengan panah dan tombak, serta memanjat pohon-pohon tinggi untuk mengasah kekuatan tangan dan kakinya. Kadang Asoka bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia mau disuruh-suruh seperti ini. Bahkan Asoka diperlakukan seperti pembantu, sedangkan Ki Seno hanya duduk menunggu di gubuk.Memasak, berburu, mencari buah, bahkan menimba dua gentong besar air di sungai yang letaknya sangat jauh dari gubuk, semua dilakukan Asoka.Hingga suatu hari, Asoka bertanya pada Ki Seno."Apa ini yang disebut latihan, Kek? Aku harus melakukan pekerjaan seperti pembantu?""Sepertinya tulangmu bertambah kuat," lirih Ki Seno, tidak menghiraukan pertanyaan Asoka. Ki Seno mengajak Asoka duduk, menikmati kopi panas di bawah mentari senja. "Sudah tig
Asoka menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan sakit yang amat menyiksa di punggungnya. Keringat mengucur dari pori-pori Asoka, mengalir membersihkan darah di sobekan bibirnya. Panasnya semakin terasa kala air sungai makin mendidih.Panas luar akibat uap air sungai, panas di dalam akibat energi yang dialirkan dari telapak tangan Ki Seno.Ingin rasanya Asoka menyerah menghadapi penderitaan ini, tapi ingatannya kembali memutar pembantaian beberapa minggu lalu. Seketika ucapan bapaknya terngiang di telinganya."Asoka janji memenuhi cita-cita Bapak. Asoka akan jadi pendekar sejati!"Pemindahan energi serta pembenahan detak nadi selesai dilakukan. Ki Seno lemas tak berdaya. Tubuhnya sempoyongan, lalu ambruk begitu saja.Menjelang sore, Ki Seno sadar dan melihat Asoka duduk di atas batu besar tadi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Ki Seno."Aku tidak memikirkan apa-apa, Kek, hanya menunggumu siuman. Di sebelah goa ada ikan bakar untuk Kakek, aku tadi m
Semakin lama Asoka memandangi batu itu, nyala cahayanya semakin membesar. Asoka tidak kuat menatapnya terlalu lama. Dia khawatir cahaya itu bisa membutakan kedua matanya.Asoka menggeliat dan pergi ke sungai untuk membersihkan tubuhnya. Dia menguap lebar karena tadi malam tidak bisa tidur. Sambil bersiul kecil, dia masuk ke goa untuk mengambil kayu yang biasa dia gunakan menombak ikan.Lumayan lama Asoka menunggui ikan di sungai, sampai dia bosan dan tertidur. Nampaknya tidak ada ikan yang selamat akibat ledakan energi yang terjadi semalam.Asoka membangunkan Ki Seno, minta diajari ilmu meringankan tubuh."Untuk apa?" tanya Ki Seno singkat."Aku ingin pergi ke atas mencari buah-buahan yang bisa kita makan."Ki Seno mengajari Asoka ilmu meringankan tubuh."Untuk pemula sepertimu, kau harus bisa memusatkan energi di bagian paha dan punggung. Letakkan kedua tanganmu di atas lutut, pastikan telapak tanganmu terbuka. Tegakkan punggung dan
Asokamenderita luka bakar di lengan kanannya. Rasanya panas sekali. Untung saja bukan api hitam yang digunakan Gatra.Pertarungan itu berlangsung cukup lama hingga membuat seperlima hutan terbakar. Asokaterus-terusan menghindar tanpa melayangkan satu serangan pun. "Gunakan pedang itu untuk melawanku!" teriak Gatrayang terbang agak tinggi di udara. "Gitu dong, mbok ya ngomong kalau aku boleh makai pedang ini buat ngelawanmu." Ki Senomenepuk jidatnya sendiri. Ternyata ada orang yang lebih bodoh darinya dulu waktu pertarungan pertama melawan Gatra. "Terapkan apa yang kuajarkan padamu, Asoka!" teriak Ki Senodari atas gua. "Kakek sialan! Udah nggak mau bantu malah marah-marah tanpa solusi!" "Siapa yang marah, Setan!" Semburan api Gatrakembali mengenai baju Asokadan membuat pemuda itu lari kocar-kacir. Karena apinya sangat panas, Asokaterpaksa memotong bajunya dan membuangnya di su