Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”
“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.
“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”
“Ta-tapi, Kek...”
“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”
Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.
Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.
“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”
“
Pendekar Nusantara menggabungkan kekuatan demi bisa menangkal serangan pendekar Tiongkok dan Negeri Sakura, mereka yang awalnya berseteru, terpaksa bersatu demi melindungi keutuhan Nusantara. Peperangan itu berlangsung 10 hari 10 malam, dan di masa depan, Nusantara akan terus berselisih dengan orang-orang Tiongkok yang mengatasnamakan mereka sebagai Serikat Zhang Ze. Nusantara melawan Serikat Zhang Ze. Nusantara melawan Negeri Sakura. Nusantara melawan pendekar aliran hitam seluruh dunia. Takdir ini sudah digariskan oleh Dewata sampai era kehancuran bumi tiba, puncaknya saat pendekar terkuat Nusantara saat ini, sedang dikepung oleh ratusan pendekar dari serikat. “Menyerahlah, Bhagawad Gita, kau tidak memiliki harapan lagi untuk hidup. Tanah ini akan menjadi saksi bisu kematianmu!” Teriak seorang lelaki dengan ikat kepala merah. “Bhagawad Gita, kekuatanmu tidak akan bisa menandingi kami yang berjumlah lebih dari seratus orang. K
Empat ratus tahun berlalu. Bumi dan langit masih menunggu sosok anak dalam ramalan yang kelak hadir menyelamatkan dunia ini dari kehancuran. Saat asyikbercanda gurau, tiba-tiba Roh Gatra datang menghampiri mereka. “Anak itu sebentar lagi lahir,” kata Gatra. “Ini mungkin hanya firasat, tapi aku yakin anak itu akan hadir di dunia ini.” Bumi pamit pada langit karena ingin memantau aktivitas semua manusia. Dari semua itu, ada satu hal yang menarik perhatian. Pandangan bumi tiba-tiba terpusat pada sebuah desa kecil bernama Buncitan. Beberapa warga berkumpul di balai desa. Wajah mereka semakin tirus dan perut mereka perlahan mengecil. Kasus kelaparan melanda kampung kecil ini. Masyarakat memiliki penyakit yang sama, busung lapar dan kurang gizi. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, banyak warga yang memilih pergi dari kampung. Tidak sedikit juga yang pulang ke kampung halaman mereka -alam baka, menemui Dewata karena tidak kuat menahan kemiskinan yang
“Serahkan pemuda itu atau kalian semua akan kubunuh!”Wusasena, ketua perguruan Elang Hitam, datang membawa ratusan pasukannya. Semuanya merupakan pendekar tingkat langit dan memiliki kanuragan melebihi manusia pada umumnya.Kepala desa keluar dan berteriak lebih keras lagi. “Asokaadalah anak emas kami. Kami tidak akan menyerahkannya begitu saja.”“Jangan gegabah! Kami bisa membunuh kalian dalam hitungan menit. Jika kalian tidak mau memberikannya, kami akan menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkannya!”“Kami akan melindungi Asokawalau harus mempertaruhkan nyawa kami!”“Serang desa itu!” Wusasena memerintah murid-muridnya bergerak memborbardir desa.Puluhan pendekar bergerak. Mereka membawa senjata masing-masing. Tombak, pedang, dan golok sudah disiapkan jauh-jauh hari untuk penyerangan itu.Beberapa turun, tapi sebagian besar tetap menunggu di atas. Mereka ada
“Sekarang musim hujan ya, Pak? Asokaingin hujan-hujan, tapi Asokaharus pergi dari sini. Asokasedih harus pisah sama Bapak saat hujan seperti ini.”Yang di atas memanglah hujan, tapi bukan hujan biasa. Ratusan anak panah melesat bagai air hujan. Darmono yang mengetahui hal tersebut, langsung melingkarkan tubuhnya ke tubuh anaknya.Crat!Darah mengucur begitu sebuah anak panah menusuk punggung Darmono hingga tembus sampai ke perut. Ada cairan hijau di ujung panah, menandakan panah ini sudah dilumuri racun mematikan.“Pergilah temui ibumu!” kata Darmono, suaranya semakin lemah. “Bapak sudah tidak kuat lagi. Hanya ini yang bisa Bapak lakukan untuk melindungimu. Pengorbanan Bapak jangan kau sia-siakan, Asoka!”“Tapi Bapak dulu pernah bilang ingin melihatku jadi pendekar sejati. Kenapa Bapak malah melukai diri seperti ini?”“Nak, dengarkan Bapak! Kamu harus pergi sekarang. Tem
Fajar menyongsong. Hujan turun dengan derasnya. Air hujan menyapu bersih darah yang berserakan di desa Buncitan, mengalirkannya lewat parit misterius di dekat pohon beringin.Asokaterbangun saat genangan air mengelilingi tubuhnya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar demi bisa mengais serpihan air hujan. Kepalanya terlampau pening. Tubuhnya terbaring di sebuah kubangan yang airnya berwarna cokelat kemerahan.“Di mana ini?” tanyanya kebingungan.“Apa aku sudah mati? Apa sudah waktuku menyusul bapak dan ibu ke alam baka? Jika memang begitu, aku bisa bersyukur. Aku mati tanpa rasa sakit. Tulang-tulangku juga tidak ada yang bermasalah.”“Tapi sebentar, ini bukan mimpi, ini nyata! Apa yang terjadi denganku?”Bingung membuat Asokamengedarkan pandangan ke sekeliling. Hutan belantara. Tidak ada rumah ataupun jejak kaki yang nampak. Asokasadar dia masih hidup walau badannya penuh dengan luka. Saat menoleh ke
Asoka berteriak kesakitan. Pedang kecil yang dibawa si kakek berhasil melukai leher Asoka. Darah keluar dari leher Asoka, mengalir lumayan deras. Jika terus dibiarkan, Asoka bisa mati kehabisan darah."Sialan kau!" Asoka menendang Ki Seno Aji dan berlari menyusuri hutan.Ki Seno hanya tersenyum. Dia sengaja membuat goresan di leher Asoka meskipun tidak terlalu dalam. Untuk sementara waktu, Ki Seno membiarkan Asoka melarikan diri ke dalam hutan.Asoka kecil sering dididik agar tidak takut pada siapapun. Manusia sama-sama makan nasi dan minum air. Darmono bahkan melarang Asoka sujud pada siapapun, kecuali pada orang tua dan guru yang mengajarkan ilmu. Sebesar apapun kekuatan yang dimiliki manusia, itu semua tak lepas dari kehendak Dewata.Asoka tahu yang menolongnya adalah Ki Seno Aji, pendekar terkuat yang namanya terkenal di seluruh daratan Jawa, bahkan seluruh dunia. Tapi ketika dia merasa terancam, dia berhak untuk melawan tanpa takut mati sedikitpun.
Bersama Ki Seno Aji, Asoka menghabiskan waktunya hingga dia berhasil mencapai tingkat pendekar bumi awal. Sejauh ini tidak ada latihan fisik yang diajarkan Ki Seno Aji.Asoka hanya disuruh mencari kayu bakar di hutan, berburu hewan dengan panah dan tombak, serta memanjat pohon-pohon tinggi untuk mengasah kekuatan tangan dan kakinya. Kadang Asoka bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia mau disuruh-suruh seperti ini. Bahkan Asoka diperlakukan seperti pembantu, sedangkan Ki Seno hanya duduk menunggu di gubuk.Memasak, berburu, mencari buah, bahkan menimba dua gentong besar air di sungai yang letaknya sangat jauh dari gubuk, semua dilakukan Asoka.Hingga suatu hari, Asoka bertanya pada Ki Seno."Apa ini yang disebut latihan, Kek? Aku harus melakukan pekerjaan seperti pembantu?""Sepertinya tulangmu bertambah kuat," lirih Ki Seno, tidak menghiraukan pertanyaan Asoka. Ki Seno mengajak Asoka duduk, menikmati kopi panas di bawah mentari senja. "Sudah tig
Asoka menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan sakit yang amat menyiksa di punggungnya. Keringat mengucur dari pori-pori Asoka, mengalir membersihkan darah di sobekan bibirnya. Panasnya semakin terasa kala air sungai makin mendidih.Panas luar akibat uap air sungai, panas di dalam akibat energi yang dialirkan dari telapak tangan Ki Seno.Ingin rasanya Asoka menyerah menghadapi penderitaan ini, tapi ingatannya kembali memutar pembantaian beberapa minggu lalu. Seketika ucapan bapaknya terngiang di telinganya."Asoka janji memenuhi cita-cita Bapak. Asoka akan jadi pendekar sejati!"Pemindahan energi serta pembenahan detak nadi selesai dilakukan. Ki Seno lemas tak berdaya. Tubuhnya sempoyongan, lalu ambruk begitu saja.Menjelang sore, Ki Seno sadar dan melihat Asoka duduk di atas batu besar tadi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Ki Seno."Aku tidak memikirkan apa-apa, Kek, hanya menunggumu siuman. Di sebelah goa ada ikan bakar untuk Kakek, aku tadi m