Sadar melihat dirinya terikat di sebuah pohon beringin, Asoka coba membakar tali yang melilit tangan, perut, dan kakinya. Bermula dari tali di belakang agar tangannya bisa berberak bebas, percobaan itu tidak berhasil.
"Guru," ujar Asoka dalam hati. "Bantu aku. Pinjamkan kekuatan apimu!"
Gatra tidak menjawab sampai Asoka berteriak dalam hatinya. "Guru ... bangunlah! Apa kau tidak ingin membantuku? Aku sedang disandera. Jangan tidur terus!"
"Sepertinya aku tidak bisa membantumu karena aku rasa, tali itu terasa sedikit aneh. Tapi aku akan memberimu sedikit energi api. Jika itu gagak, kau harus bisa mengalahkan mereka dengan tanganmu sendiri."
"Ta-tapi..."
Hangat mulai merasuk dari jemari Asoka, mengalir hingga ke punggung. Asoka coba membakar tali yang mengikat tangannya dengan energi api milik Gatra, beberapa kali, hingga energi Asoka banyak terkuras.
Padahal tali itu hanya tali rotan biasa, tapi kenapa tidak hangus saat dikenai energi api?
"Mau ke mana kau? Aku tahu ada roh yang bersarang dalam tubuhmu. Roh itu tidak bisa menggunakan kekuatannya karena mustika merahmu sudah aku sembunyikan di tempat khusus."Mengernyitkan dahi karena heran, Asoka baru sadar kalau mustika merah Pedang Naga tidak ada di saku belakang celananya. Dia meluncur dengan ilmu meringankan tubuh sembari mengalirkan tenaga ke tumit kaki kanan.Tendangan sabit memutar berhasil memojokkan Jabran, namun keributan itu terdengar oleh anggota perampok yang lain.Paham apa yang harus dilakukan, Gatra melepaskan diri dari tubuh Asoka dan terbang mencari mustika merah di sekitar markas Perampok Macan Kumbang. Sementara Asoka bertarung untuk mengalihkan perhatian.Sial, dan sangat sial, Jabran ternyata memiliki mata batin. Lelaki jangkung itu bisa melihat ke mana Gatra terbang. Jabran melesat lalu mencengkeram sayap Gatra.Posisi yang jauh dari mustika merah membuat Gatra kewalahan karena dia tidak bisa berbuat apapun kar
Gatra menjetikkan jarinya. Segerombol gagak hutan menyerbu markas Perampok Macan Kumbang. Beberapa goresan dituangkan menggunakan kanvas pipi serta punggung anggota perampok. Jabran mengalami hal yang sama. Punggungnya robek karena cakar dua ekor gagak.Memanfaatkan kesempatan yang ada, Asoka melepaskan energi alam yang ada di telapak tangannya. Tubuhnya terlempar seperti kapas yang tertiup angin kencang."Racunnya mulai bereaksi!" Gatra terkapar tidak berdaya, menggeliat di atas dedaunan kering yang mulai menguning. "Na-nadiku! Kenapa racun ini berdampak pada roh mustika sepertiku?"Tergeletaknya Gatra dimanfaatkan beberapa anggota perampok. Mereka ingin merebut mustika merah, tapi Asoka bergerak lebih cepat. Lekukan indah Pedang Kalacakra milik Asoka menanggalkan beberapa kepala dalam sekali tebas.Jabran bangkit, namun Asoka tidak mengetahuinya. Meski darah mengucur deras dari punggungnya, Jabran masih bisa bangkit. Tubuhnya bergetar hebat. Nadinya ber
"Andai kalian tidak mengganggu warga, pembantaian ini tidak akan pernah terjadi. Karma itu nyata, dan kalian pantas mendapatkannya!" Semenjak pembantaian hari itu, relung kejam alam bawah sadar Asoka perlahan bangkit. Asoka makin kejam, tidak memberi ampun setiap lawan yang menantangnya. Gatra mulai khawatir, tapi tak punya kuasa menghilangkan sisi gelap dalam diri Asoka. Kelak semakin banyak darah yang menodai pedang Asoka, bahkan darah rekan-rekannya sendiri. Melihat tumpukan mayat anggota Perampok Macan Kumbang, jiwa iblis Asoka mulai menunjukkan taringnya. Asoka ingin memotong dada Jabran, membuang hati dan jantungnya ke lubang yang berisi kotoran. "Oak..." Gatra memanggil rekan-rekan gagaknya untuk memakan bangkai para perampok. ... Tujuan selanjutnya lumayan jauh. Asoka harus melalui dua sungai besar dan petak semak belukar kecil yang dipercaya jadi markas ular kobra. Terpaksa mengeluarkan energi agar bisa mendaftar jadi
Murid-murid Perguruan Api Abadi berbaris rapi. Ribuan murid baru menunggu nama mereka dipanggil. Seleksi awal dilaksanakan langsung di ruangan ketua perguruan. Aura hangat bercampur suram terasa kala murid-murid baru melewati gerbang utama perguruan.Hal yang sama juga dialami Asoka, bulu kuduknya berdiri, terutama saat matanya bertatapan langsung dengan mata naga merah yang terlukis di gerbang utama. Seakan mereka beradu pandang, saling menantang satu sama lain."Kau kenapa melamun?" tanya Bayu, sahabat baru Asoka. "Murid-murid lain sudah berbaris rapi di Tanah Pelatihan, ayo kita berangkat. Tinggal kita berdua yang masih diam di sini."Hampir lima menit Asoka mematung dengan mata terbelalak. Bayu sengaja membiarkan Asoka sembari mencari tahu apa yang terjadi. Lama menunggu, akhirnya Bayu menyadarkan Asoka, lalu mengajaknya pergi ke Tanah Pelatihan.Berkumpul ribuan pendekar dari berbagai aliran dan perguruan. Tidak hanya dari Jawa, sebagian besar yang m
Seperti batu raksasa yang dibebankan di punggung seorang bocah 14 tahun, gempuran energi Abah Suradira terus menghantam Asoka hingga keningnya berkeringat. "I-ini tidak hanya berat. Ini juga menyakitkan!" Asoka mengeluhkan dirinya sendiri. "Aku harus diterima jadi murid perguruan." Abah Suradira mendengarnya. Baru kali ini ada murid segigih itu melawan hantaman energi miliknya. Harusnya pria berkuncir itu sudah resmi diterima jadi murid perguruan. Seleksi perguruan ini sebenarnya mudah, setiap murid harus menahan gempuran energi terendah selama tujuh kedipan mata. Sedangkan Asoka berhasil menahan gempuran energi menengah, bahkan durasinya sampai dua puluh kedipan mata. Melihat tuannya berusaha keras melawan kekuatan Abah Suradira, Gatra nampak prihatin. Dia keluar menggunakan wujud manusia manusia bersayap. Itu adalah wujud terkuat Gatra, Bhagawad Gita menamainya sebagai mode dewa. Kehadiran sang gagak tidak bisa dirasakan siapapun kala menggunakan mo
"Berani-beraninya lelaki hidung belang masuk ke asrama perempuan. Memangnya kau siapa? Jangan hanya karena umurmu masih kecil bisa seenaknya masuk ke asrama ini!"Seorang perempuan menodong Asoka dengan tombak yang dialiri energi. Parasnya lumayan cantik, bahkan Asoka sempat berdesir saat pertama kali melihat wajah perempuan itu. Rambutnya tergerai, bergoyang diterpa angin.Menatap sang pendekar wanita seraya tidak peduli akan ucapannya, Asoka menyingkirkan mata tombak yang bersentuhan langsung dengan kulit lehernya."Nisanak, tidak bisakah kau sedikit sopan pada anak baru? Perguruan Api Abadi terkenal berwibawa, tapi ternyata begini cara mereka menyambut anak baru. Jika tidak bisa menyambut dengan elok ... minimal tanya lah dengan nada halus."Dewi Ratna menarik tubuhnya dua langkah ke belakang, menjaga jaraknya dengan si rambut kuncir. "Bagaimana kau bisa menyingkirkan tombak yang sudah kualiri kanuragan?""Kanuragan? Tombak itu seperti tombak bi
Asrama pendekar dibedakan menurut lencana yang mereka dapat. Asoka mendapat jatah tinggal di asrama khusus bersama senior yang sudah belasan tahun tinggal di sana. Seperti anak ayam mendatangi kandang macan, Asoka disepelekan senior perguruan karena umurnya baru 15 tahun.Pendekar berkumis tipis kemerahan mendekati Asoka, menguji kemampuan bocah itu."Sepertinya kau mencuri lencana perak. Tidak mungkin bocah seusiamu dapat lencana itu dengan mudah. Kami saja mendapatkannya setelah berlatih dan berjuang selama belasan tahun. Dan kamu mendapatkannya begitu saja? Ini tidak adil!"Kemudian rekannya menyela. "Opang, uji saja kemampuan bocah itu, cukup dengan tekanan energi! Jika bocah itu tidak bisa menahan energimu, ada kemungkinan dia mencuri lencana perak dari ruangan ketua.""Jangan begitu, Reksa, dia bisa mati kalau aku yang mengujinya."Memandang remeh kepada Asoka, beberapa senior asrama bergantian mengujinya. Asoka minta pendapat Gatra, apa yang
Hari esok telah tiba. Semua murid lencana perak dikumpulkan di depan asrama. Mereka dibekali gula aren dicampur taburan rempah penguat tulang. Empu Nara datang disambut bungkukan badan semua penghuni asrama."Hormati kami, Guru Nara.""Tegapkan badan kalian! Hari ini adalah uji ketahanan tubuh. Mungkin murid-murid lama tahu tradisi ini, tapi asrama api merah punya satu murid baru bernama Asoka." Empu Nara berjalan mondar-mandir sembari menatap jauh ke arah tanah tandus bekas persawahan. "Seperti biasa, aku akan menjelaskannya lagi."Semua murid menelan ludah. Mereka tahu, tradisi ini hampir sama seperti bunuh diri. Ketahanan tubuh mereka diukur dari seberapa lama mereka bertahan di atas tanah tandus dekat tumpukan jerami kering. Asap beracun telah menunggu mereka."Asoka!" Empu Nara berhenti dan menatap pemuda itu lekat-lekat. "Tradisi ini wajib diikuti oleh murid lencana perak dan di atasnya. Yang perlu kau lakukan hanya satu, menahan rasa sakit dari asa