Share

Jalur Langit

Di dalam mobil aku menghabiskan sisa tempe sama tahu yang aku comot. Mas Jimmi(n) menyetir mobil sangat fokus luar biasa. Nggak ada lagi drama lirik-lirikan di antara kami berdua. Mungkin masih marah karena Kayla.

Nggak tahu, deh. Entah beneran karena marah atau masih nggak rela nggak jadi nikah. Hanya Mamas dan Allah yang tahu. Aku juga nggak mau tahu. Resep seblak aja sampai sekarang aku nggak pernah tahu.

Mobil berbelok ke arah gang rumah si mamas. Langsung masuk parkiran. Fyi, ya, Bestie, Mas Jimmi(n) ini anak orang terpandang. Suami Tante Dian seorang dosen tetap di satu universitas ternama. Mama mertuaku juga dosen. Jadi keluarga mereka ini high class, tapi tetep santuy jadi orang.

Nggak suka pamer mereka. Nggak pamer aja anaknya jadi orang semua, kok. Beda sama aku yang kata temen-temenku setengah orang setengah siluman tengkorak. Bertemen dengan Sun Go Kong dari Gunung Huwa Ko. Skip, nggak penting.

Yang nggak jelas sampai sekarang ini aku udah 21 tahun, ambil jurusan ekonomi, tapi otakku lelet sekali kalau mikir. Tibake buat konten aja baru lancar. Aku merasa kuliahku sia-sia aja. Makanya aku belajar cari uang sendiri ikut jalur lagi viral. Lumayan enam bulan sudah menampakkan hasil, jutaan rupiah.

Makanya aku sempat merasa, kok, hah banget gitu, ya, Bestie, Kuntie, Ukhtie. Kenapa aku yang dipilih jadi pengantin penggantinya. Secara sepupuku yang lain juga banyak yang lebih pintar daripada aku. Tapi kebanyakan laki-laki, sih. Mungkin itu kali penyebab si mamas gak mau.

Meskipun si mamas seorang chef. Sekolahnya jauh beud, sampai ke luar negeri. Hasil masakannya, ya, aku nggak pernah cobain langsung. Cuman dari cerita mamaku katanya enak banget sumpah demi cintaku padamu. Dari situ aku pengen dapat suami pintar masak.

Ya, tapi kenapa harus seperti ini caranya. Pasti dinilai negative sama orang.

Namanya orang ada aja isi kepalanya. Nikah muda dikata hamidun duluan. Nikah banyak persiapan dikata pilih-pilih. Nikah tua dikata gak sadar diri. Emang paling bener dia doank kayaknya. Suka cari-cari kesalahan orang lain.

“Can, itu masuk ke kamar pengantin, ya, sudah didekor seadanya sama WO.” Tante Dian sama suaminya sudah pakai baju tidur santai dan nongkrong di depan tivi.

Mas Jimmi(n) ini empat bersaudara. Dia anak kedua, ada dua adik perempuannya yang usianya di atas aku, Bestie. Mana udah kerja satu jadi pengacara beneran. Bukan pengangguran banyak acara. Satu lagi menuju jadi dokter muda.

So aku secara tidak langsung si anak bungsu ini dapat dua adik. Gimana, ya, sudah biasa nggak ada bawahan, eh, malah sekarang dapat. Huh, semoga nggak ada drama kakak sama adik ipar kayak di sinetron indosair.

“Iya, Tan, eh, Ma.” Habis jawab itu, jujurli aku bingung mau gimana.

Mas Jimmi(n) udah masuk ke kamar. Di sinilah aku ikutan nonton entah apa acaranya aku nggak ngerti. Jadi aku ambil hapeku dan nonton Boboiboy Galaxy The Movie Season 2.

“Loh, kok, masih di sini, Can. Sana masuk ke kamar Mas Jimmi. Ngapain malu-malu segala. Kan, dari dulu udah sering berantem.” Tante Dian menegurku.

Beda perkara Tante. Anak dari mama mertuaku itu dulu aku ajak adu bulli membulli. Sekarang udah jadi suami. Terus aku harus bagaimana? Masak bulli dia juga.

“Perlu dianterin kali, Ma.” Om Wisnu nyahut.

“Eh, Nggak, ehm, Can, bisa terbang sendiri. Entar juga sayapnya tumbuh.” Tuiing, aku melipir segera ke depan kamar si mamas.

Nggak dikunci pas aku mutar kenop pintunya. Wiiih suasana udah kayak rumah horor aja pas aku melangkahkan kaki kananku masuk. Seserem ini ternyata. Kalau hantu bisa dilempar batu sembunyi tangan. Ya, kalau sama mamas? Mana bisa gitu, kan, kan?

Dia aku lihat lagi baring pakai baju sambil mijit kepalanya. Ya, jangankan si mamas. Aku aja udah mulai berdenyut ini kepala. Cuman, masalahnya, aku mau ganti baju pakai apa coba? Mana katanya Mas Hilmi mau nganterin? Sampai sekarang nggak ada sehelai bajuku yang datang.

Itu satu hal. Dua, aku mau tidur di mana, Bestie. Iiih masih nggak mau satu kasur sama si Mamas. Entar aku dimasak sama dia. Dia galak dari dulu. Tapi mataku ngantuk, badanku pegel, betisku sakit. Duh, Gusti Allah, aku mau pulang ke rumah mama. Sprei sama selimut Boboiboy-ku udah nungguin minta diuyel-uyel.

Beneran aku bingung dan aku mau keluar dari kamar Mas Jimmi(n). Nggak usah ditanya lagi. Dia pasti masih mikirin Kayla, kok. Nggak mungkin dalam sehari rasa itu berubah. Aku aja ngelupain mantanku yang kayak keset welcome itu butuh waktu satu bulan. Disambi makan bakso beranak. Alhamdulillah, fase-fase mengsedih akhirnya terlewati.

“Mau ke mana, Can?” Bersuara juga dia akhirnya. Kirain cuman bisa membeku kayak es batu.

“Makan.” Duh, kok, malah jawab itu, sih aku. Ya Allah malunya. Padahal ke dapur aja aku nggak berani. Kikuk.

“Masih laper?”

“Nggak, Mas, nggak jadi lupain aja.” Udahlah ngambek aku ditanyain gituan. Lagi enak-enak makan diganggu Kayla itu jadi kenyangnya cepet ilang.

Eh, dia diem aja. Yaudah apa, sih, maumu, Can? Kamu ngarep apa sama Mas Jimmi(n) hatinya itu masih milik mantannya. Hati kamu? Setengahnya udah habis dimakan ayam. Yang akrab itu mamaku sama mama Mas Jimmi(n), kaminya ya nggak.

Ya udah, aku keluar kamar. Terserah mau tidur di kandang kucing juga nggak apa-apa kalau muat. Masalahnya, gerah. Pakai kebaya biru laut mati yang dipakai dari pagi. Aku kangen celana boxerku.

“Loh, Can, kok malah tidur di sini?” Duh, gaswat, mama mertuaku pakai acara keluar kamar lagi. Udah bagus diem aja dari tadi.

“Eh, anu tante. Anu pokoknya.” Aku bingung mau jawab apa.

“Belum siap anu? Ya nggak apa-apa. Nggak ada yang maksa juga, kok.”

“Haduh, bukan anu itu tante. Tapi anu satu lagi. Anu, malu sama Mas Jimmi(n).” Ya, serius beneran aku malu. Mau bersin aja aku tahan dari tadi. Apalagi nguap.

“Jimmi, gimana, sih. Anak orang, kok, didiemin gini.” Pintu kamar anak dari mama mertuaku langsung diketuk. Mas Jimmi(n) gercep buka pintu, sambil matanya agak-agak terpejam.

“Istrimu itu, loh. Anak orang kamu ambil tadi pagi. Udah bagus Cantika mau selamatin mukak kita satu keluarga dari malu besar. Sekarang kamu biarin dia di luar kayak anak kucing, Jim!”

Allahu Akbar, Ya Rabb. Udahlah tadi dibilang anak bebek sama Kayla, sekarang dibilang anak kucing. Please, aku ini anak manusia. Mamaku itu bidadari tanpa sayap yang suaranya menggelegar kalau ngejar maling.

“Bukan gitu maksud aku, Ma.” Mas Jimmi membela diri.

“Terus kalau bukan gitu, bukan gini jadinya?”

“Nggak, sumpah. Aku tadi sakit kepala, Ma, ini juga masih. Jadi nggak terlalu fokus sama Cantika. Ayo, Can, tidur di kamar aja. Tapi, maaf, Mas, nggak bisa urus kamu malam ini.”

Maksudnya ngurus aku malam ini apa, hoi? Perlu diperjelas ini apa maknanya.

“Masuk, Can. Mama nggak mau tahu. Pernikahan di antara kalian berdua nggak boleh dianggap mainan. Soal Kayla lupain aja. Kamu juga dibilangin sama Mama dari dulu nggak mau nurut. Gaya kayak lonte aja masih kamu pertahanin Kayla. Syukur Alhamdulillah doa Mama gagal mantu sama dia makbul juga.” Mama mertuaku bersungut sambil balik kanan grak.

Oh, ternyata Bestie, Kunti, dan Ukhtie sholehaah sejagad raya. Gagalnya pernikahan Mas Jimmi(n) ada andil besar mamanya suamiku sekarang ini. Cara yang sangat elegan. Jalur langit tikung tajam, tanjakan luar biasa dahsyat. Cuman, kenapa harus aku yang ditumbali, please. Ah udahlah, sekarang tidur dulu. Besok bangun pagi makan lagi.

Kami tidur satu kasur, beneran tidur aja nggak ngapa-ngapain. Pakai pembatas bantal guling. Aku masih pakai kebaya biru laut mati. Mas Jimmi(n) juga nggak ganti baju. Lima detik kemudian aku zzzzzz …

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status