Hari itu, Xavier sudah akan berangkat sejak pagi sekali. Hari ini jadwal dia sangat padat. Akan ada meeting di luar juga nanti sore. "Paman, tolong jaga Nandini. Hari ini aku akan sangat sibuk sekali dan kemungkinan makan siang serta makan malam di luar. Tolong paman pastikan dia makan dan meminum obatnya. Dan juga istirahat yang cukup," ujar Xavier pada Jordhan yang kala itu kebetulan berada di ruang tengah. Pria paruh baya itu mengangguk. Meyakinkan sang tuan, jika ia bisa menjaga nona mudanya dengan baik. Jordhan pasti akan melakukan hal terbaik bagi gadis itu. "Baik tuan. Anda tidak perlu khawatir. Nona pasti akan saya jaga dengan sangat baik," balas Jordhan tenang dan tegas. "Tuan mau sarapan di rumah atau di perusahaan?" Tanya Jordhan pada sang tuan muda. Xavier pun mengangguk. Lantas ia pun pergi dari sana. Nandini masih tertidur, baru kali ini ia belum terbangun padahal hari sudah cukup siang. "Aku sarapan di kantor saja paman. Siapkan sa
Xavier keluar dari cafe itu dengan berjalan sempoyongan. Wajahnya sudah memerah menahan hasrat yang kian naik. Xavier terus merutuki kebodohannya, andai saja ia tidak mengadakan pertemuan di sana mungkin ini semua tidak akan terjadi. Tapi lagi dan lagi kata seandainya selalu menjadi bahan pembelaan seorang manusia. Setiap musibah tidak akan ada yang tahu. Begitu juga sesempurna apapun seorang Xavier Romanov jika waktunya celaka maka ia pun pasti akan celaka. "Sial sial sial! Brengsek siapa yang sudah berani menjebakku," maki Xavier. Meylan pun menyusul Xavier. Wanita itu melangkah dengan cepat supaya bisa mengimbangi langkah kaki pria tinggi besar itu. Dan usahanya pun berbuah manis, kini tangan wanita itu bisa menggapai lengan Xavier. "Sayang," panggil Meylan manjah pada Xavier. Otomatis Xavier menghentikan laju jalannya. Ia memutar tubuhnya, menatap wanita yang berstatus mantan istrinya itu. Xavier dapat melihat seringaian kecil di bibir wanita i
Suara isak tangis seorang gadis terdengar pilu di telinga. Membuat seorang pria yang tengah tertidur pun membuka matanya. Ia membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mata tajamnya. Tangis itu masih terdengar. Sehingga membuatnya beranjak mendudukkan tubuh kekarnya. Mata tajamnya ia gunakan untuk melihat sekeliling, dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita sedang menangis memeluk lututnya sendiri. "Nandini," gumam pria itu. Xavier langsung menyambar celana tidurnya. Dan memakainya ia pun berniat menghampiri Nandini. Tapi, ujung matanya menangkap warna merah pekat yang tampaknya sudah mengering di atas sprei berwarna putih itu. "Ya Tuhan, gara-gara obat sialan itu, aku sampai menodainya. Meskipun status dia adalah istriku, tapi rasanya aku sudah berdosa karena memaksanya," ucap Xavier pelan. Lantas kaki panjangnya melangkah menuju gadis itu. Mendekatinya secara perlahan. Dan kini pria itu sudah berjongkok
Setelah berbicara dengan Nandini, Xavier pun pergi. Ia akan menemui Meylan, yang saat ini sudah dalam tawanannya. Mobil mewah berwarna hitam itu melaju membelah jalanan. Tak berselang lama, Xavier pun sampai. Bara menyambutnya. Sedangkan Abrian ia masuk lagi ke dalam, dan kini sedang berbicara dengan adiknya. "Kakak, apa kakak sudah tidak sayang lagi padaku hmm? Mengapa kakak malah memarahiku, bukannya mendukung apa yang aku lakukan seperti saat dulu, dan kenapa kakak tidak membantuku keluar dari sini." Abrian hanya menatap datar. Tanpa berbicara apapun. Sebenarnya ia ingin sekali menyelamatkan Meylan, tapi ia tahu bagaimana Xavier jika sudah marah dan saat ini kemarahan pria itu sudah berada di puncak. "Dulu tidak sekarang. Apa kau sadar jika apa yang kita lakukan pada Nandini itu salah, dan ibu sudah berhasil mencuci otak kita. Kini aku sadar, bagaimana baiknya adikku itu, dia dengan rela menggantikan posisimu, meski dia enggan. Walau dia bisa menolak,
Nandini mematung menatap obat yang ada di tangannya. Ia tidak percaya jika pria itu dengan tega akan berbicara seperti itu. Dirinya dengan tegas memintanya untuk meminum obat itu supaya dirinya tidak mengandung. "APAKAH AKU TIDAK PANTAS UNTUK MENGANDUNG ANAKMU?" batin Nandini menjerit sakit. Sedang Xavier berlalu dan ia kembali keluar dari kamarnya. Nandini tersenyum kecut. Ia sudah menduganya jika sikap baik pria itu hanyalah sebentar saja. Nandini mengalihkan pandangannya. Ia menatap hamparan bunga yang ia tanam. Nandini sudah bertekad dalam hatinya jika ia tidak akan pernah meminum obat tersebut. "Ayah. Lihatlah aku di sini, tidak kasihankah ayah sama aku. Semenjak kepergian ayah, hidupku hancur ibu dan kak Meylan mereka senang sekali menyiksaku," lirih Nandini. Isak tangis lirih dan juga pilu terdengar. Andai jika iman Nandini tipis. Ia sudah akan mengakhiri hidupnya, dari pada dirinya harus hidup seperti ini. * * Xavier kin
Pagi menjelang. Kicau burung menyambut datangnya pagi. Udara sejuk turut menghiasi. Sejak subuh tadi, Nandini sudah terbangun. Dan kini ia berada di dalam kamar mandi sejak setengah jam yang lalu. Tangannya bergetar, dadanya terasa bertalu begitu kencangnya. "Bismillah. Semoga apa yang aku takutkan tidak terjadi. Tapi bila pun terjadi, aku harus ikhlas," gumam Nandini. Lantas ia mulai memasukkan alat tes kehamilannya pada air seni yang sudah ia tampung sebelumya. Nandini sudah bergetar takut. Satu detik, dua detik hingga lima menit kemudian, tanda merah yang ada di alat itu berubah menjadi dua garis meski salah satunya masih terlihat samar. Deg! Air mata sontak turun dari mata indahnya. Mau menolak pun tak bisa. Ini semua sudah takdir, jalan hidupnya. Mengapa takdir begitu kejam padanya. Ia hanya gadis kecil. Hidup susah sedari kecil, siksaan, hinaan dan cacian sudah menjadi makanan sehari-hari. Dan sekarang, ia hamil! Hamil dari hasil peme
Semenjak tiba di perusahaannya, Xavier lebih banyak diam. Ia lebih banyak melamun, Abrian pun sampai heran di buatnya. Tidak seperti biasanya, sang sahabat sekaligus bosnya itu bersikap seperti saat ini. "Ada apa?" Tanya Abrian kala ia memasuki ruangan kerja Xavier. Sesaat Xavier melirik pada Abrian. Kini Abrian duduk di depan Xavier. Dan pria itu masih sama seperti tadi. Muka Xavier pucat. Ia masih muntah. Tubuhnya begitu lemas. "Ada apa?" Lagi pertanyaan yang sama keluar dari bibir Abrian. Xavier terdengar menghela nafasnya kasar. Dia bingung haruskah bercerita pada Abrian perihal kejadian yang menimpa Nandini. Dirinya telah memperkosa istri sendiri. "Maafkan aku! Bri kamu mengingat kejadian sekitar kurang lebih satu bulan yang lalu?" Tanya Xavier sambil menatap pada Abrian. Lantas Abrian mengangguk. Xavier kembali menatap pria yang saat ini di hadapannya. Dirinya hanya bisa berharap jika apa yang ia takutkan sama sekali tidak terj
Siang ini, Jordhan dan Nandini bersiap untuk keluar. Mereka rencananya akan membeli beberapa persediaan untuk di Mansion. Berhubung persediaan sudah sedikit menipis. Jordhan sudah mempersiapkan segalanya dengan matang. Dan juga ia memberi bekal uang dan kemeja yang di pinta oleh nona-nya. Yang ada dalam pikiran Jordhan saat ini, adalah membantu sang nona keluar dari Mansion tuannya, soal kemarahan Xavier ia akan menerimanya dengan senang hati. "Sudah siap non?" tanya Jordhan pelan. Nandini yang sedang memakai jaket rajutnya pun mengangguk. Kini keduanya melangkah keluar menuju mobil yang sudah Jordhan siapkan juga. Dia berani mengambil resiko ini, hanya agar nona-nya hidup lebih baik lagi. "Kita akan kemana dulu paman?" tanya Nandini pelan. Jordhan yang sedang fokus menyetir pun melirik sekilas nona-nya. "Kita akan ke pasar dulu non, untuk mengelabui orang suruhan tuan muda! Dari sana, saya akan mengantar nona memakai kendaraan umum, biar mobil kita simpan