Om Pras masuk ke dalam ruangannya setelah Nadin meninggalkan mereka dengan kesal. Tak lama sekretarisnya datang, meminta maaf karena baru saja meninggalkan mejanya. Om Pras mengangguk dan menarik tangan Khansa untuk ikut masuk ke dalam. Sebelum pintu ditutup Om Pras meminta dipesankan makan siang untuk mereka.
"Di tempat biasa saja, dua porsi. Jus alpukat tanpa susu juga air mineral," pesannya sebelum menutup pintu.Khansa duduk di sofa sambil matanya mengelilingi ruangan Om Pras, tadi Nadin bilang jika ruangannya di samping ruang Om Pras. Di mana ruangan asisten pribadi?"Ada pintu di dekat lemari bukalah. Di sana ruang kerjanya, jika itu yang dicari," ucap Om Pras sambil menunjuk pintu yang dimaksudnya.Khansa berdiri ingin melihat ruangan tempatnya bekerja nanti. Berjalan menuju pintu yang dimaksudnya dan membukanya. Wajahnya memerah setelah melihat isi ruangan yang disangkanya adalah ruang kerja seperti umumnya.Di hadapannya terdapat sebuah tempat tidur yang cukup besar, sofa dan sebuah bar mini. Ada meja kerja disudut yang lain, tapi mengapa pikirannya jadi tidak karuan ya. Asisten pribadi yang dimaksud Om Pras itu apa sebenarnya?"Jika aku lelah aku bisa istirahat di sana, dan kamu harus menemani," suara Om Pras sudah ada disampingnya."Apa...!""Kenapa tidak pulang saja kalau lelah. Tidur di rumah, selesai," sungut Khansa kesal mendengarnya.Om Pras menggeser bahu Khansa pelan, menerobos masuk melewatinya. Duduk bersandar di kepala tempat tidur dan melipat kedua tangannya di depan dada."Aku minta dibuatkan kopi, Dua sendok teh dengan satu saset gula,"perintahnya. Dia akan mencoba apakah yang kopi buatan Khansa ukurannya pas. Setiap hari akan dimintanya Khansa untuk membuatkan kopi pukul sembilan pagi.Khansa beranjak menuju bar mini, mengambil cangkir dan kopi serta gula yang sudah ada di sana. Setelah dibuat secangkir kopi, dibawakan untuk Om Pras yang masih duduk di tempat tidur. Om Pras mencobanya dan tersenyum."Lumayan untuk pertama kali. Kopinya jangan satu sendok penuh, rata saja jadi tidak terlalu pahit," ucapnya mengajari Khansa.Khansa mengangguk dan mencoba duduk di meja kerjanya. Di atas meja ada laptop dan perlengkapannya. Dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan benda-benda di sana. Ditariknya napas panjang, ingin bertanya tapi dia takut akan membuat Om Pras marah."Jika bingung apa yang mau dikerjakan, maka tugasmu nanti hanya menemaniku tidur. Untuk pekerjaan yang lain biar dikerjakan Ana, sekretarisku," jelasnya hingga membuat Khansa terpaku.Tidur, kenapa tidak pulang saja. Menyusahkan orang lain. Khansa hanya mendengus kesal mendengar ucapan Om Pras. Dibukanya laptop yang ada di atas meja diputarnya lagu kesukaannya, tanpa mempedulikan Om Pras. Terkadang Khansa bersenandung kecil mengikuti lagu yang didengarnya.Sebuah ketukan mengagetkannya. Khansa bangun dan membuka pintu perlahan saat dilihatnya Om Pras benar-benar tertidur di atas kasur. Posisi badannya agak tertekuk karena saat dilihatnya terakhir Om Pras masih duduk."Bu Khansa, makan siangnya sudah siap di meja. Sudah di tata juga. Jika bisa jangan terlalu lama, Pak Pras selalu ingin makanannya hangat," ucapnya pelan saat melirik bosnya tertidur di kasur."Iya Mba Ana, terima kasih," ucapnya singkat.Khansa membalikkan badannya dan menatap Om Pras yang pulas tertidur. Diberanikannya mendekati dan mencoba membangunkannya. Sebenarnya Khansa bimbang, dia masih ingat kemarahan demi kemarahan yang membuatnya harus mendapatkan hukuman."Om... Om Pras, makan siangnya sudah siap," ucapnya sambil menggoyangkan bahunya.Tak ada reaksi. Khansa menarik napas. Dicobanya membangunkan dengan suara yang lebih keras. Tiba-tiba tangannya ditarik hingga wajah Khansa ada didekapan Om Pras. Huft... dicobanya melepaskan diri dengan membuka tangan Om Pras.Semakin dicobanya semakin kuat tangan Om Pras melingkari bahuku. Degupan dada Om Pras sepertinya berbeda, tidak teratur seperti saat tertidur pulas. Berarti Om Pras tidak sedang tidur. Diangkatnya wajahnya menatap wajah Om Pras, benar saja seringai licik sudah ada di sudut bibirnya."Kenapa, Hanny mau ikutan tidur?" desahnya ditelinga Khansa."Mba Ana bilang om harus makan, nanti keburu dingin makanannya. Om suka makanannya hangat kan," jawab Khansa menahan kesal.Saat tangan yang melingkari bahunya mengendur, Khansa menarik tubuhnya hingga bisa duduk di tepi tempat tidur. Cepet-cepat bangun agar tidak ditarik kembali oleh Om Pras.Om Pras tersenyum, bangun dan duduk sesaat sebelum melangkah keluar ruangan menuju sofa. Di atas mejanya makanan yang dipesannya sudah di tata rapi. Om Pras tersenyum puas dan memanggil Khansa yang masih berdiri memperhatikan Om Pras dari ruangannya."Hanny, ayo kita makan dulu. Jus alpukatnya sudah ada," perintahnya pada Khansa.Khansa berjalan pelan menuju meja. Mengambil duduk yang agak berjauhan dengan Om Pras. Setelah merasa nyaman, diambilnya jus alpukat dan meminumnya."Jika nanti aku tidak bisa tidur, sepertinya aku sudah punya solusinya. Bernyanyilah seperti tadi, aku langsung tertidur pulas," ucapnya sambil menatap ke arah Khansa."Apakah itu ada di surat perjanjian?" tanyanya sambil menatap Om Pras."Itu adalah tugas asisten pribadiku, bukankah begitu," jawabnya sesaat kemudian dimakannya nasi yang sudah disendoknya.***Khansa masih menunggu Om Pras yang menyelesaikan pekerjaannya di ruangannya. Khansa menunggu di ruangan kerjanya. Membawa laptop ke atas kasur agar bisa menontonnya sambil tidur-tiduran. Saat asik berguling-guling, pintu dibuka Om Pras tanpa diketuknya.Khansa menghentikan gerakannya, menatap tajam ke arah pintu. Dilihatnya Om Pras mulai melangkah ke arahnya. Khansa reflek bangun dan berdiri di samping tempat tidur. Gerakan cepatnya membuat Om Pras terkekeh."Sejak kapan punya jurus seperti itu Hanny? Khawatir aku menidurimu di sini? Sepertinya boleh juga, tapi tidak hari ini. Kita sudah ditunggu di rumah mama. Kemungkinan kita akan menginap jika mama tidak membuat perkara baru denganku," ucapnya pelan.Diambilnya laptop yang masih menyala di atas kasur, mematikannya dan meletakkan kembali di atas meja. Sesaat melangkah ke arah Khansa Om Pras sudah membawa tas yang kemudian diselempangkan pada bahunya.Khansa mengikuti langkah Om Pras yang berjalan di depannya. Setibanya di pintu, Om Pras menghentikan langkahnya, menunggu Khansa hingga berada di sampingnya. Mengambil tangannya dan melingkarkan di lengannya seakan mereka adalah pasangan yang sangat serasi."Jika di kantor pastikan kamu berjalan di sampingku. Aku tak mau ada karyawan yang berani main api denganmu. Jika sampai terjadi sepertinya hukuman yang diberikan akan menjadi hukuman terberatmu nanti," tegas suara Om Pras memperingati Khansa.Perjalanan menuju rumah Mama Dewi tak memerlukan waktu lama, kini mereka sudah berada di depan gerbang yang mulai membuka sendiri. Pasti ada penjaga yang sudah mengenali mobil Om Pras. Saat pintu terbuka dihadapan Khansa terpampang taman yang sangat indah, semua bunga tertata rapi. Sepertinya dia akan betah disini, menghabiskan waktu dengan bunga yang disukainya."Rumah utama ini adalah rumah mama, rumah kita ada di bagian kanan rumah mama. Tidak sebesar rumah mama karena rumah mama adalah rumah utama di sini. Dibagian belakang ada rumah karyawan yang bekerja pada mama," jelas Om Pras saat mata Khansa mulai berkeliling."Mama kurang menyukaimu, karena mama menginginkan aku menikah dengan Nadin tapi aku menolaknya. Jika nanti mama bersikap tidak baik jangan pedulikan. Aku yang memilihmu Hanny, maka hanya aku yang bisa mengusirmu dari rumah," tekannya di akhir kalimat yang diucapkan.Mengusirnya? sekejam itukah mama Dewi? Apa yang harus dilakukannya kelak jika tinggal bersamanya?"Satu hal lagi taman di sini semua mama yang mengatur, pastikan kamu tidak menyentuhnya. Karena mama akan segera mengetahui jika ada perubahan pada bunga kesayangannya," suara Om Pras terdengar seperti menerawang.Om Pras berjalan menuju pintu yang sudah dibuka oleh seorang pelayan. Dilangkahkan kakinya masuk ke dalam. Khansa yang berjalan di belakangnya terkesima dengan rumah yang sangat mewah. Sebelum melangkah ke arah sofa, Om Pras meminta pelayan menyiapkan minuman untuknya dan Khasna. Khansa masih mengamati bagian dalam rumah utama. Dirasakan tangannya ditarik oleh Om Pras agar mengikutinya menuju sofa. Om Pras langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia memilih sofa yang agak jauh dari Om Pras dan perlahan duduk di sana. Nadin keluar dari kamar di bawah tangga bersama Mama Dewi yang di dorongnya. Tatapan mata Nadin seakan mengejeknya, sedangkan tatapan mata Mama Dewi menahan amarahnya. Khansa menatap Om Pras, sesaat Om Pras memberikan kode dengan meletakkan jari di depan bibirnya. Khansa mengangguk. Itu artinya dia tidak perlu menjawab atau mengeluarkan suara. Pelayan datang membawakan minuman yang diminta Om Pras, meletakkannya di atas meja bersamaan dengan Mama yang sudah ada di hada
Setelah bertemu Mama Dewi Om Pras sangat kesal. Khansa tak berani menanyakannya, apa yang diucapkan Om Pras langsung diturutinya. Biarlah Om Pras yang nanti akan menjelaskannya, saat ini sebaiknya dia diam dan menuruti semua keinginannya. "Hanny, aku akan bertemu Rama di lobi. Ada beberapa berkas yang harus aku tanda tangani. Mau menemani atau menunggu di sini?" tanyanya setelah mereka selesai makan malam. "Bolehkah menunggu di sini saja?" tanya Khansa kembali. Om Pras mengangguk, dia membiarkan Khansa menunggu karena ada beberapa hal terkait informasi yang akan dilaporkan Rama berkaitan dengan masa lalunya. Om Pras beranjak melangkah menuju pintu. Khansa mengiringi di belakangnya, Sebelum keluar kamar Om Pras berbalik dan berpesan, "Jangan bukakan pintu kecuali aku yang masuk." Khansa mengangguk. Saat pintu ditutupnya, Khansa teringat ucapan Mama Dewi. Tak disangka dia akan menjadi istri yang tak diinginkan olehnya. Apakah hal ini yang membuat Kak Yasmine memutuskan memilih Kak B
Khansa tak bergeming. Ditatapnya lurus jendela di hadapannya. Hembusan napas kasarnya membuat Om Pras jengah. Dirasakan lengannya ditarik dengan kasar, hingga wajahnya menatap wajah Om Pras yang marah. "Kenapa Om, mau menghukum aku lagi? Silakan om... aku memang ada untuk dihukum bukan. Karena aku tak pantas bahagia. Aku dilahirkan hanya membuat orang lain susah!" teriaknya menantang tatapan Om Pras yang marah. Sekejap Om Pras terkesiap melihat Khansa yang begitu emosi. Dikendurkannya pegangan pada lengan Khansa yang terlihat memerah. Butir air mata mulai menggenang di sudut matanya. Kemarahan di wajahnya berkurang. "Kenapa Hanny, ada yang menyakitimu?" tanya Om Pras pelan. "Om yang menyakiti aku. Om tak menganggap aku ada, aku hanya pelampiasan kemarahan Om saja bukan?!" tanyanya sedikit berteriak. Om Pras yang awalnya ingin mengerjai Khansa dengan foto di laptopnya merasa bersalah dengan reaksi yang diberikan Khansa. Dihapusnya butiran air yang sudah jatuh, mencoba tersenyum unt
"Bagaimana? masih mau marah? Kalau tidak suka aku hapus sekarang juga," ledek Om Pras pada Khansa. "Jangan om, aku mau foto itu saja di sana. Tapi om harus menjelaskan siapa wanita yang sebelumnya ada di sana," rajuknya sambil melingkarkan tangannya di lengan Om Pras. Disandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Om Pras melanjutkan pekerjaannya untuk memeriksa email yang masuk dibiarkan Khansa yang bermanja di sampingnya. Huft... sepertinya dia harus banyak mengalah dengan istri kecilnya ini. Setelah selesai dan Om Pras menutup laptop serta menaruhnya di atas nakas. Diliriknya Khansa yang ternyata kembali tertidur. Dibaringkan badannya agar tidak menekuk karena tertidur saat duduk bersandar. Direbahkan tubuhnya di samping Khansa, dipeluknya tubuh Khansa hingga terasa kehangatan mengalir dan tak lama diapun ikut terpejam. "Om, bangun! teleponnya dari tadi berbunyi," ujar Khansa kesal. Om Pras mengambil ponsel dan melirik nama yang tertera di layar, Rama. Ada apa? bukannya tadi sud
"Bagaimana kabar bisnis Yudhatama, pa?" tanya Om Pras membuka percakapan."Sepertinya papa tidak bisa bertahan. Papa harus mengalah dengan pebisnis muda," keluhnya menjawab pertanyaan Om Pras. Om Pras mengangguk-angguk. Kemudian meminta maaf. " Maaf telah membuat dua kontrak di batalkan," senyum Om Pras terlihat saat melirik ke arah Khansa kemudian melanjutkan ucapannya."Khansa memintaku untuk membantu di Yudhatama karena dua proyek yang kemarin dibatalkan disebabkan olehnya. Jadi kami bermaksud mengembalikan nilai kontrak yang sama pada perusahaan papa," jelasnya.Papa menatap Khansa seakan memastikan apa yang dikatakan Om Pras adalah benar. Khansa hanya mengangguk setelah menatap Om Pras sesaat. Om Pras melanjutkan ucapannya, "Papa bisa menghubungi Rama untuk memilih dua kontrak yang senilai. Aku sudah menyiapkannya.""Wah, papa senang sekali mendengarnya. Papa jadi bersemangat kembali untuk melanjutkan bisnis ini," ucap papa sambil tersenyum penuh kemenangan. "Oh ya Pa. Kami akan
Khansa menunggu Om Pras menjawab pertanyaannya, dilangkahkan kakinya menuju sofa. Om Pras mengikuti Khansa sedangkan Rama melanjutkan kembali pekerjaannya. Mereka kini duduk di sofa, masih dengan keheningan yang mereka ciptakan. Khansa masih menunggu jawaban. "Jika aku mengatakan yang sebenarnya, apakah akan mempengaruhi hubungn kita. Surat perjanjian sudah ditandatangani tidak ada yang memaksamu saat menandatanganinya bukan?" tegas Om Pras sambil menatap tajam. "Minimal aku tahu dengan siapa aku bertarung untuk mendapatkan Mas Pras. Jika memang dia bukan lawanku aku akan mundur perlahan. Apalagi jika aku tahu mas lebih memilihnya, aku akan mengalah untuk kebahagiaan Om Pras," ucapnya pelan sambil menunduk. Om Pras tersenyum melihat Khansa yang sudah menjadi istrinya tertunduk di sampingnya. Diangkat dagunya pelan agar dia bisa menatap wajahnya, diciumnya pelan bibir yang selalu membuatnya ingin menikmatinya lagi. Awalnya Khansa membalas ciumannya, tak lama ditariknya wajahnya dan m
Om Pras mengangkat tubuh mungil Khansa ke tempat tidur, dihubunginya Rama agar membawa dokter ke apartemennya. Tidak mungkin dia membawa Khansa ke rumah sakit. Dilonggarkannya pakaian yang dikenakan Khansa agar dapat bernapas lega. Sepertinya Khansa kelelahan. Di panggil nama Khansa beberapa kali agar membuka matanya. Namun Khansa seakan tak mendengar suaranya. Saat pintu dibuka dia tahu jika yang datang adalah Rama dan dokter. Bergegas dijemputnya mereka ke depan, memintanya agar lekas memeriksa Khansa. Setelah dokter memeriksa kondisi Khansa yang masih memejamkan matanya, dokter meminta agar Pras mengikutinya. Rama juga keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. Dokter dan Pras sudah duduk di sana, belum ada yang memulai pembicaraan hingga Pras akhirnya menanyakan kondisi Khansa. "Dokter, bagaimana kondisinya. Mengapa dari siang tadi muntah-muntah? Jangan bilang dia hamil karena itu tidak mungkin," ucapnya menjelaskan. Dokter tersenyum mendengar pertanyaan. "Sepertinya tekanan yan
Khansa terdiam mendengar ucapan Om Pras. Diurungkan niatnya untuk beranjak meninggalkannya. Dibalikkan badannya sambil bertanya, " Apakah om bisa menjamin kebahagiaanku di masa depan jika nanti Kak Amanda ada di hadapan om nanti?"Ditatapnya mata sendu yang ada di hadapannya. Kenapa jika melihat matanya yang sendu dia menjadi tak tega. Om Pras bangun dan menghampiri Khansa. "Rama membawakan minuman hangat juga obat untukmu. Kita ke depan," ucapnya sambil menarik tangan Khansa untuk mengikutinya. Khansa mengikuti Om Pras dengan enggan. Dia sudah tak peduli dengan kehidupannya kini. Semua masa depannya sudah hancur. Keluarga yang menjadi sandarannya seakan menghilang ditelan bumi, pernikahannya dengan orang yang tidak mencintainya kini tak lagi dimasukkan ke dalam hatinya. Sesampainya di ruang tamu Om Pras membiarkan Khansa duduk, diambilnya segelas air untuk minum obat. Minuman hangat yang dibawakan Rama diminummya separuh. "Minum obatnya dahulu," ucapnya sambil menyerahkan obat da