Share

Bab. 4. Menolak karena Tidak Siap

Di meja makan kami menyantap menu yang dipesan Erland tadi tanpa berbicara, lalu setelah selesai lelaki itu segera saja pamit pergi.

“Pintu depan biar Kukunci sendiri, sebelum pukul sepuluh malam aku sudah balik.” kata-katanya diiringi dengan mengusap bahuku lembut.

Aku tak sempat mengucap tanggapan, hanya terpaku memandangi punggungnya meninggalkan ruang makan. Apa-apan sih, tega betul dia meninggalkanku sendirian pada hari pertama aku menjejakkan kaki di rumah ini?

Akan tetapi sisi lain ruang hatiku  menyanggah sendiri kedongkolanku itu. Biarlah Erland pergi, aku juga tidak siap bila adegan di ranjang tadi berlanjut. Gelagatnya ciuman di kening pasti akan berlanjut kemana-mana, jika  tidak terhenti oleh bunyi dering telpon.

Kubaringkan tubuh di tempat tidur dengan rasa penasaran yang tak urung  menyergap hati. Kenapa Erland pergi di malam pertama kami? Walaupun katanya hanya beberapa jam, tapi kenapa pula tidakmenyebutkan tujuan kepergiannya. Mustahil kan di hari perkawinan dia mengurus soal pekerjaan atau apapun melebihi pentingnya membersamai seorang  istri?

“Alia, menurutmu bagaimana co-gan  yang satu ini?” terngiang kembali ucapan Rivana ketika pertama kali menunjukkan wajah Erland di layar ponselnya, hampir setahun yang lalu.

“Kamu sudah dapat ganti  Dipo?” candaku sembari sekilas memperhatikan karakter wajah si  cowok ganteng yang dimaksud sepupuku itu.

“Dipo sih,tak tergantikan….” Ungkap Rivana tersenyum penuh arti.

“Lha…terus itu?”

“ini dikenalin sama Papa, mau disaving dulu ah! Kalau Dipo tak kunjung siap melamarku, jangan salahkan diriku pindah ke lain hati…Ahahaha” Riva tergelak  mentertawai sendiri nasib hubungan asmaranya dengan Dipo yang sudah berlangsung tiga tahun.

Aku tak mengikuti lagi perkembangan hubungan Rivana dengan Dipo atau dengan seseorang yang ditunjukkan foto wajahnya di galeri ponsel, tapi tak disebut siapa namanya.Belakangan pada saat Bunda dirawat di rumah sakit, satu kali Rivana pernah datang menjenguk bersama lelaki itu.

“Kayaknya  si Riva sudah pisahan dengan Dipo, dia sudahpunya gandengan baru. Itu tadi namanya Erland” Kakakku Ciko yang berkomentar setelah sepupu kami itu sudah pamit pulang. Aku tidak sempat ikut ngobrol dengan mereka bertiga karena sibuk melayani bunda meminum obatnya.

“Kamu kapan punya cowok, biar dikenalin juga sama Bunda, ya kan Bun?” Ciko mengerling kearahku.

Aku hanya tersenyum. Di usiaku menginjak duapuluh dua tahun, berstatus mahasiswa semester enam. Apakah terlihat aneh kalau belum ada satu figur pemuda yang berhasil menciptakan debar di dada? Teman cowok pasti ada beberapa, sebatas  bergaul biasa saja di kampus. Belum ada yang memberi dan diberi perhatian khusus atau  terkategori sebagai Teman Tapi Mesra

“Alia akan langsung mengenalkan calon suami, tak lama setelah itu lamaran. Bunda pasti bahagia sekali?” Bunda mengusap-usap tanganku dengan rasa sayangnya. Kutatap matanya dan kuaminkan doanya.

Siapa sangka sekarang harapan wanita terkasih itu jadi kenyataan, bahkan status calon suamiku hanya berlaku beberapa jam setelah Riva menghilang, sekejap kemudian Erland sudah berubah status menjadi suamiku!

Entah  karena sudah kelelahan atau suhu AC kamar yang begitu dingin, aku sudah terbang ke alam mimpi dan tak peduli lagi mau sampai jam berapa Erland akan pulang.

Di tengah tidur yang begitu lelap, kurasakan lengan yang kokoh merengkuh hangat di bawah selimut. Posisi tidurku yang miring meniadakan jarak sehingga kulit punggung yang berlapis piyama dapat merasakan  sebidang dada  yang terasa hangat mendekap. Satu dua kecupan di bahu juga tetap kuabaikan,  entah apakah tindakan asing yang nyaman ataukah buaian sang mimpi yang meredam kesadaranku.

“Alia…..”lamat indraku menangkap suara meracau dengan bibir yang dan hidung yang mendesak ke ceruk leher. Gerakan berulang yang agresif itu akhirnya membangunkanku.

Erland menciumiku dan deru napasnya mulai cepat merambat ke telingaku. Kusentak lengannya yang melingkar di pinggang dan berusaha melepaskan diri. Lelaki itu menghentikan aktivitasnya, sorot matanya yang sendu menyapu wajahku.

Kugeser tubuh berbaring setengah menyandar pada bantal yang kuletakkan di belakang punggung, semacam aksi waspada menghadapi serangannya. Erland tak bicara tapi malah merangkak dan kini membaringkan kepala di pahaku.

“Ini gerah, Er….” Suaraku mewakili kecamuk di hati.

“Gerah lagi? Sedari tadi kupeluk di bawah selimut, gerah juga?” sorot matanya mencari ke sepasang iris mataku. Aku menghindari dan menautkan pandangan ke jarum jam dinding. Pukul. 03.10 Waktu Indonesia.

“Jam berapa kamu pulang?” pertanyaanku sekedar mengganti topik. Hufffhh. Jam segini bukannya kerja hormon testoteron sedang maksimal memicu hasrat kaum Adam?

Erland tak menjawab, lengannya dalam sekali hentak membawa tubuhku kembali ke posisi berbaring dan kedua lengan yang melingkar di antara pinggang dan bawah payudaramembuatku terbeliak.

“Stop Er,….Aku belum siap” cegahku ketika wajahnya mendekat lagi hendak mengikis jarak. Sirat kecewa tergambar di sepasang matanya, aku menunduk.

Tanpa bicara ditariknya selimut menutupi tubuh kami sebatas pinggang. Memposisikan tubuh berbaring telentang dan memejamkan mata, kulihat tarikan napasnya diatur sedemikian rupa.

Ada rasa tak nyaman menyusup ke relung hati. Tak mampu kuterjemahkan makna kalimat  ‘Tak Siap’yang kuucapkan, sementara sekarang ingatanku malah terperangkap pada  hangat dekapannya yang tanpa permisi beberapa jam tadi. 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status