Di kediaman keluarga Beton, Lisa mendatangi suatu bangunan, di sana terdengar suara tangisan banyak orang. Saat ia membuka pintu, ada beberapa orang yang sedang mengerumuni jasad Cor Beton. Kebanyakan dari mereka adalah wanita dan begitu melihat kedatangannya, satu-persatu tangisan mereka berhenti.
Kedatangan wanita bertopeng misterius, tentu saja membuat mereka terkejut dan langsung berposisi menyerang. Dikeluarkan aura ranah mereka yang hanya aura satu bulan energi, ranah Maskumambang.
"Siapa kau!?"
"Berani-beraninya menyusup ke kediaman keluarga Beton!"
Lisa tidak memperdulikannya dan dengan tenang berjalan menuju ke arah dua pedang kayu yang tergeletak di lantai. Pedang kayu yang ia berikan kepada Akara, kini telah berlumuran darah tuan muda keluarga Beton. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia mengambilnya dan berjalan ke luar ruangan begitu saja.
…
Wush!
Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang berdiri di depan Akara. Ia masih terlihat muda, bahkan seperti belum mencapai 30 tahun. Memakai celana hitam panjang, lalu jaket kulit hitam yang menyelimuti kemeja putih. Hanya kancing bagian bawah saja yang ia kancingkan, membuat dada bidang dan perut kekar bagian atasnya terlihat. Rambutnya yang sedikit bergelombang disisir ke belakang, memperlihatkan alis dan sorot mata yang tajam.
"Kalian menyerang anak kecil?"
Semua orang langsung terkejut, bukan karena 4 kata yang ia lontarkan, melainkan kedatangannya yang secara tiba-tiba. Walau ingin melarikan diri, namun mereka sudah tidak bisa lagi membatalkan serangannya.
Brushh!!
Hanya dengan tepisan punggung jarinya, laki-laki itu berhasil membuat Yon Beton dan anggota keluarga Beton lainnya terhempas beberapa meter jauhnya. Hal itu sontak membuat mereka ketakutan dan kabur. Bagaimana tidak, Yon Beton yang sudah di ranah Sinom 3 bulan energi saja dihempaskan begitu saja, bahkan tanpa harus mengeluarkan aura ranahnya.
Akara yang sudah tersungkur di tanah hanya bisa menatapnya dengan kagum, ia terus menatapnya saat laki-laki itu berbalik badan dan berjongkok untuk membantunya berdiri.
"Ingin terlihat kuat di depan mama boleh, tapi jangan memaksakan diri," ujar sang laki-laki saat mengangkat tubuh bocah di depannya untuk berdiri.
"Paman keren!" serunya, namun langsung terhuyung karena masih sangat lemah. Untung saja laki-laki itu segera merunduk untuk memegangi tubuhnya, hingga tidak membuatnya jatuh.
"Paman?" Laki-laki itu malah bertanya sambil tersenyum kecut dan mengernyitkan dahi.
"Akara, dia ayahmu." Mamanya ikut merunduk, lalu tersenyum lebar dan saling menatap dengan suaminya.
"Ayah?" Akara mengernyitkan dahinya bingung, dan tidak percaya akan kata-kata mamanya.
"Lepas!" Anak kecil itu tiba-tiba berontak, melepaskan tangan ayahnya dari tubuhnya. Walau sedikit terhuyung, tatapan tajamnya terus menatap ke arah ayahnya.
Saat ayahnya mulai berdiri, Akara langsung menyundul perutnya.
Buggh!
"Akhh." Laki-laki itu berpura-pura kesakitan sambil menunduk kembali.
Bugh! Bugh! Bugh!
"Meninggalkan mama!" Akara mulai melancarkan pukulan demi pukulan ke arah perut ayahnya lagi.
"Mama kesulitan selama ini!" Akara terus memukulnya dan berteriak dengan suara bergetar karena menangis. Kepalanya ditempelkan pada dada ayahnya, dengan kedua tangan terus memukul perutnya.
Ayahnya kini mengkerutkan dahinya merasa menyesal, lalu kembali tegak berdiri dan mengusap kepala anaknya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia terus mengusap kepala anaknya yang sedang memukulinya.
"Mama, mama membesarkanku, sendirian. Membesarkan anak nakal sepertiku!"
"Akara!" bentak mamanya tiba-tiba, lalu menghela napas dan berjongkok di samping anaknya.
"Kamu anak kebanggaan mama," lanjutnya dengan suara lembut, lalu meraih kepala anaknya ke dalam pelukannya.
Kini ia langsung memeluk erat mamanya, lalu tangisannya bertambah kencang hingga tersedu-sedu.
"Ayahmu meninggalkan kita juga bukan karena keinginannya, ada hal penting yang harus ayah lakukan," ujar mamanya membuat tangisannya perlahan-lahan mereda.
"Katakan sesuatu!" ujar wanita itu dengan suara seperti berbisik, namun geram kepada suaminya.
"Ah?" Ayah Akara malah kebingungan dan terlihat sangat gugup.
"Uhh itu, Akara! Sekarang ayah sudah ada di sini, tidak perlu menghawatirkan mama lagi. Ayah akan selalu ada untuk kalian,"
Begitu mendengar ucapan ayahnya, Akara langsung melepaskan pelukan mamanya, lalu meraih tangan ayahnya. Dengan muka amat kesal dan serius, ia menarik ayahnya.
"Mau ke mana?" ujar mamanya membuat anaknya berhenti.
"Biarkan ayah membersihkan keluarga Beton," jawabnya dengan tegas, lalu melanjutkan berjalan.
"Akara, jangan lakukan itu," ujar mamanya sambil perlahan berjalan ke arah anaknya.
"Kenapa mama!? Mereka telah membuat kita seperti ini, ayah juga terlihat sangat kuat untuk menghancurkan mereka." Akara tetap ngotot, walau telah dilarang oleh mamanya.
Melihat hal itu, ayahnya langsung berjongkok di depannya.
"Akara, pernah melihat pohon padi?" ujarnya dan dijawab anggukan oleh Akara.
"Pohon padi akan semakin menunduk bila biji atau isinya semakin banyak. Kita harus mencontoh pohon itu. Kalau manusia mempunyai kekuatan besar, lalu seenaknya sendiri, apa yang akan terjadi? Pasti akan merugikan orang lain, contohnya seperti keluarga Beton. Itu baru satu, coba kalau setiap orang kuat seperti itu, pasti dunia ini akan hancur,"
Akara kini mulai tenang, dan mendengarkan penjelasan ayahnya dengan begitu hikmat.
"Jadi orang kuat tidak harus secara kekuatan, tapi juga kuat hati dan pikiran. Kuat hati berarti sabar dan bisa mengendalikan amarah, lalu kuat pikiran berarti harus memiliki ilmu yang bermanfaat. Semua itu juga harus digunakan dengan baik dan benar, baik atau benar saja belum cukup, haruslah baik dan benar. Biarkan saja keluarga Beton, mereka juga kemungkinan telah jera,"
"Baik ayah." Akara sudah kembali tenang dan menuruti ucapan ayahnya.
"Baiklah kalau begitu, ayah ingin membawa Akara dan mama ke suatu tempat. Kita akan pindah ke sana," ujar ayah Akara sambil berdiri kembali, lalu istrinya memeluk lengannya dan menyenderkan kepala.
"Pindah? Ahh, tunggu dulu di sini, Akara mau ke suatu tempat!" Akara langsung berlari terburu-buru, meninggalkan ayah dan mamanya.
"Mau ke mana? Jangan,"
"Biarkan saja," ujar wanita itu, memotong ucapan suaminya sambil tersenyum.
..
Di sungai tempat Akara dan Lisa bertemu, ia berlari hingga tersandung beberapa kali dan hampir jatuh.
"Cewek aneh!" teriaknya, memanggil gadis bergaun merah muda.
Lisa, gadis itu sedang berdiri di dahan pohon sambil mengusap sepasang pedang kayu. Setelah mendengar teriakan anak itu, ia segera melompat dan mendarat tepat di depannya.
"Jaga dengan baik!" Lisa melemparkan kedua pedang kayunya ke arah Akara.
"Kenapa bisa ada di kamu?" Akara cukup terkejut, lalu mengamati dengan seksama kedua pedang kayunya.
"Aku harus pergi," ujar Lisa dengan suara lesu, membuat Akara terbelalak dan langsung menundukkan kepalanya.
"Maaf, tadi aku lupa sebagaian ingatan dan tidak bisa mengendalikan emosi,"
"Dengar!" Lisa begitu serius memegang kedua pipi bocah itu.
"10 tahun lagi, temui aku di akademi Amerta," lanjutnya membuat bocah itu kebingungan.
"Baiklah." Lisa kini melepaskan topengnya, lalu muncul kilatan listrik berwarna merah muda di sekujur tubuhnya. Kilatan yang semakin lama semakin banyak hingga membuat silau mata yang memandangnya.
"Ingat, 10 tahun lagi di akademi Amerta! Lain kali kendalikan emosimu dengan baik." suara teriakan Lisa bergema walau dirinya sudah tidak berada di sana, kini Akara kembali berlari menuju tempat kedua orangtuanya menunggu.
"Akara!" seru mamanya begitu anaknya terlihat kembali. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya lemas dan tidak sadarkan diri saat berlari.
Untuk sementara update 1 bab/hari dulu ya. Terima Kasih sudah membaca karya saya :D
Wilayah Kaisar Naga Sejati Lisa melayang di atas hutan yang begitu lebat nan luas, di depannya ada seorang gadis yang juga melayang. Gadis dengan rambut yang disanggul berwarna emas berkilau, menampakkan lehernya dengan rambut tipis. Kulitnya begitu putih bersih, dengan bibir tipis merah muda dan pupil mata yang sama dengan warna rambutnya. Dada dan panggulnya bulat berisi, dengan pinggul kecil dan kaki jenjang. Bisa dikatakan bahwa tubuhnya sangatlah ideal. "Mendistorsi ruang waktu yang menggagalkan teleportasiku, seharusnya ada satu orang yang bisa melakukannya di dunia fana ini," ujar Lisa sambil melepaskan topengnya perlahan-lahan, menunjukkan wajahnya yang tidak kalah cantik. "Kekuatanmu turun sejauh ini, apa masih berani mendatangi mereka?" Gadis berambut emas perlahan-lahan mendekati Lisa. "Apa ingin memberiku kekuatan, kak Viona?" Lisa tersenyum lebar sambil terus menatapnya. Gadis bernama Viona itu kemudian menjentikkan jarinya, membuat penghalang yang mengelilingi mereka
Kedua bilah pedang melesat dengan cepat ke arah Alice dan mengitari tubuhnya. Walau nampak terkejut dan ketakutan, gadis itu tetap diam dan mengamati pedang yang tebang mengitarinya. Brakk! Tiba-tiba saja pedang terjatuh, jatuhnya kedua pedang kayu membuat Akara terbangun. "Ahh Alice, ada apa?" Akara bangun dan mendekati adiknya yang masih mematung. "Kok pedangku di situ?" Ia lalu mengambil pedang kayu miliknya yang berada di bawah kaki adiknya. "Maaf kak," ujar Alice yang terlihat sedikit takut. "Tidak apa-apa," jawab Akara sambil tersenyum lebar, agar adiknya tidak merasa bersalah lagi. "Itu kak, mama sudah menunggu di ruang makan," "Oh ayo!" Ia langsung meraih tangan adiknya dan bergegas menuju ruang makan. Sesampainya di sana, ia langsung melepaskan tangan adiknya dan berlari ke arah ayahnya. Dengan cepat ia ayunkan pedangnya ke arah tengkuk ayahnya yang sedang duduk. Tass!! dalam sekejap mata, mama Violet sudah ada di sampingnya dan menangkis pedangnya menggunakan jari
Akara kini berada di atas altar pemurnian bersama dengan mama Lia dan juga Alice, sedangkan yang lainnya sudah tidak ada di sana. "Mama buatkan ramuan dulu." Mama Lia terlihat sedang menggerus beberapa tanaman obat menggunakan cobek kecilnya. "Terima kasih mama Lia," "Kak, tidak apa-apa?" ujar Alice kepada kakaknya yang telah telanjang dada, memperlihatkan luka lebam di tubuhnya. "Ahahaha sudah biasa, latihan dengan mama sering membuatku seperti ini," ujarnya dengan riang, padahal banyak luka lebam di tubuhnya. "Kalau terbiasa kenapa tidak bisa mengontrol emosimu?" ujar mama Lia yang masih menggerus tanaman obat. "Habisnya, ayah menjengkelkan!" "Kamu ini!" Mama Lia mendekati Akara, lalu mengoleskan ramuan obat yang ia buat pada lukanya. "Agh." Ia sedikit meringis menahan sakit, sedangkan adiknya terus melihat ke arah mama Lia yang tengah mengoleskan ramuan. "Mama, tolong ajari aku tentang obat-obatan!" seru Akara di tengah-tengah pengolesan ramuan. "Yakin?" ujar mama Lia sam
Saat malam hari, Akara berjalan melewati lorong rumah ditemani cahaya bulan dari dinding kaca. "Akara?" Mama Serin yang tengah berjalan melihatnya, lalu langsung mengikutinya. Akara menuju ke arah ruang makan, namun berhenti saat berada di depan kamar. Pintu dengan gantungan bunga-bunga, juga bertuliskan 'Alice'. Setelah melihat ke sekeliling dan memastikan tidak ada yang melihatnya, ia kemudian masuk ke dalam kamar adiknya. Kamar bernuansa merah muda yang begitu feminim, lalu tempat tidur dengan kasur dan selimut berwarna putih bersih. Di sana, Alice tengah terlelap dalam tidurnya. Dengan perlahan-lahan, ia mulai mendekati tempat tidur adiknya, lalu berdiri tepat di sampingnya. Disingkapnya selimut bagian atas hingga berada di perut adiknya, setelah itu kedua tangannya mengarah ke dada. Mama Serin yang tadi mengikuti Akara, kini membuat sebuah portal pada dinding. Portal terbentuk hingga seolah-olah dindingnya berlubang, lalu ia perhatikan apa yang anaknya lakukan. Aura ranah A
Saat hari sudah gelap dan keadaan mulai sunyi, Akara kembali mengendap-endap masuk ke dalam kamar adiknya. Hal yang sama ia lakukan, menyalurkan energi miliknya menuju ke dalam tubuh Alice. Kegiatan yang terus ia lakukan setiap malam hingga genap satu minggu. .. Esok harinya, saat kakak dan keempat mamanya akan melakukan sarapan, tiba-tiba saja pintu kamar Alice terbuka dengan keras, lalu sang pemilik kamar berlari keluar. "Ada apa!?" "Kenapa cantik!?" Mama Rani dan mama Serin begitu panik dan segera berdiri untuk mendekati anaknya. "Mama, ranahku naik!" seru Alice sambil berlari menuju ruang makan dan mengeluarkan aura ranahnya. Aura 2 bintang energi diperlihatkan kepada kakaknya dan keempat mamanya. Tangan kanannya diulurkan ke depan, lalu muncul aliran listrik berwarna merah muda. Listrik yang menyelimuti tangannya, lalu menyebar ke segala arah. "Wahh akhirnya!" Mama Serin langsung memeluk anaknya, sambil mengusap-usap rambut hitam lurusnya. Melihat usahanya berhasil, senyuma
Saat matahari berada tepat di atas ubun-ubun, Akara berjalan sendirian di tengah hutan. Hutan tropis yang berada di lembah belakang rumahnya, belum cukup jauh karena masih terlihat jelas rumah di belakangnya. "Kak Akara!" teriak seorang gadis kecil dari kejauhan, ia sedang berlari mengejar kakaknya. Akar dan pohon tumbang yang lalu-lalang di hadapannya tidak menjadi rintangan, ia dengan mudah melompatinya walau setinggi dan sebesar apapun. "Kenapa mengikuti kakak?" ujar Akara begitu Alice sampai di sisinya. "Kak Akara ini! Setidaknya tanya dulu 'Cantik kenapa di sini?' 'Cantik mau ke mana?' belum tentu juga ke sini mengikuti kakak, tidak basa-basi sama sekali!" Alice cemberut kesal, namun langsung berubah ketika melihat kakaknya tersenyum. Gadis kecil ini langsung meraih lengan kakaknya dan memeluknya. "Mau cari tanaman obat apa kak?" lanjutnya. "Adek Alice ini! Setidaknya tanya dulu 'Kakak mau ke mana?' 'Ngapain di sini?' belum tentu juga ke sini mencari tanaman obat, tidak basa-
Ada sesuatu yang mengenai air rawa hingga membuat air menyiprat, namun setelah itu tidak ada apa-apa lagi, baik di darat maupun di dalam air. "Ada apa kak?" Alice masih di gendongan kakaknya dan membawa kantong semar di tangannya. "Tidak tau, ada yang menyerang tiba-tiba," ujar Akara dengan begitu serius mengamati ke sekitarnya. "Ada yang datang lagi." Akara kembali melompat, bertepatan dengan hancurnya tanah di bawahnya. "Keluar kalau berani!" Alice kesal, lalu mengeluarkan aura ranah Maskumambang 1 bola energi. Dibuatnya penghalang untuk menyelimuti tubuh mereka, lalu mengumpulkan energi petir di tangannya. Begitu mendarat, Akara melompat lagi, diikuti oleh hancurnya dahan pohon di belakangnya. Tanpa berfikir lagi, Alice meluncurkan serangan petir ke arah tempatnya sebelumnya. Blarrr!! Petir merah muda menyambar tanah, lalu menyebar ke segala sisi dengan jangkauan lebih dari 3 meter. Sekarang terlihat sesuatu dari dahan pohon yang hancur, sesuatu yang panjang menjulur beberap
Walau ularnya sangat besar, tapi di dalamnya sangat sempit. Lubang yang berlendir dan terus bergerak seolah-olah mencengkeramnya. Akara tidak dapat membuka mata maupun bernafas, ia hanya merangkak untuk mencari keberadaan tubuh adik nya. Setelah menemukan, Akara segera memeluk adiknya, lalu mengeluarkan aura ranahnya dan membuat penghalang. Secara paksa, penghalang itu melebarkan perut phiton raksasa, lalu Akara menggunakan energi dinginnya. "Akhhh!!" teriak Akara karena frustasi sekaligus emosi hingga membuat dirinya diselimuti energi dingin. Aura ranah 9 bintang energi berputar dengan cepat dan bertambah cepat. Perut ular yang menggembung karena adanya penghalang di dalamnya, mulai membeku di bagian itu saja. Beberapa saat kemudian, ada pedang kayu yang menusuk perut ular dari dalam. Karena membeku dengan sempurna, perut ular berlubang seperti bongkahan kaca. "Akhhh!" dengan frustasi Akara menebas perut ular hingga terbelah, lalu dirinya keluar. Sebelum aura ranahnya padam, 9 bi