Di ruang keluarga lantai 2, keluarga Akara berkumpul, kecuali kepala keluarga mereka. "Benar mama, Alice sendiri yang mengambilnya kok!" seru Alice yang berada di samping kakaknya, sedang berdebat dengan mama Lia yang ada di depannya. "Kalau beneran ada, pasti sudah mama Lia ambil dari dulu," "Mama Lia tidak percaya? Kak, keluarkan kak!" Alice begitu ngotot. "Memang benar itu kantong semar merah, tapi tidak ada fluktuasi energi sama sekali." Akara menjelaskannya, lalu mengeluarkan tanaman yang ia maksud. "Tidak mungkin!" Mama Lia cukup terkejut dan langsung mengambil tanaman dari tangan Akara. Setelah mengamatinya, ia langsung melihat ke arah Alice dengan tatapan tajam, lalu bertanya dengan pelan, namun menakutkan. "Kenapa dicabut!?" Merasa bersalah, Alice langsung memalingkan wajahnya dan pura-pura tidak tau. "Ituu, tidak sengaja kepleset masuk ke dalam rawa saat mau mengambilnya," "Hahaha, si cantik kenapa ceroboh sekali?" sahut mama Rani yang duduk di samping mama Lia, dan
“Wohh, senjata yang bagus paman!” Akara langsung melompat ke atas altar, dan mengagetkan pria tua tersebut. “Ehh!? Siapa kau bocah!? Kenapa bisa masuk ke dalam sini!?” bentak sang penempa dengan suara garangnya, ia berbalik badan, memperlihatkan armor berwarna kehijauan yang ia kenakan. Seorang pria tua berbadan berbadan besar, memiliki kumis dan janggut yang panjang. “Tadi penasaran saja dengan rumah ini, lalu masuk, mmm pintunya tidak dikunci.” Akara menjelaskannya dengan begitu santai sambil menunjuk ke arah pintu masuk. “Benarkah?” ujar sang laki-laki sambil menengok ke arah pintu masuk, lalu pandangannya tertuju pada Alice yang ada di bawah altar. "Kalian berdua! Kalau bermain jangan di sini, berbahaya!" bentaknya setelah melihat Alice, namun gadis kecil itu malah ikut melompat ke atas altar. "Tenang saja paman, kakak dan aku tidak akan merusak satu senjata pun," ujar Alice dengan nada tenang dan santai. “Paman, boleh ajari aku menempa senjata?” ujar Akara dengan senyum leba
Senjata yang berada di ruangan ini tidak sama dengan kedua ruangan sebelumnya, di sini semuanya melayang, namun tetap tertata rapi. Paman Jade memimpin jalan, diikuti oleh ayah Al, namun kedua anaknya masih saja terkagum-kagum melihat seisi ruangan. Baru beberapa langkah berjalan, paman Jade menghentikan langkahnya. Di depannya ada dua pasang pedang ganda yang melayang diselimuti oleh energi. "Ada apa Jade?" ujar ayah Al yang berhenti di sampingnya, lalu diikuti oleh anak-anaknya. "Dua pasang pedang ganda ini, sudah aku siapkan untuk tuan Akara dan nona Alice!" Jade berbalik, menyilangkan tangannya di dada, seolah-olah memperkenalkan dengan bangga. “Siapa yang menyuruhmu membuat itu?” Ayah Al tanpa berekspresi bertanya kepada paman Jade, sedangkan kedua anaknya berbinar-binar memandangi dua pasang pedang itu. “Tidak ada, tapi mereka pasti butuh, cepat atau lambat." Jade kemudian berjalan beberapa langkah, membuka lemari kaca yang dipenuhi oleh artifak. Setelah mengambil salah satu
--- Konsep dunia1. Alam FanaDunia tingkat satu yang sebenarnya dunia berpenghuni pada umumnya, namun energinya menjadi sedikit karena sudah lama dihuni dan semakin banyak penghuninya. Umumnya dunia ini telah memiliki peradaban manusia yang sudah sangatlah lama. Ada ratusan, bahkan ribuan dunia fana di seluruh alam semesta.2. Alam AtasDunia yang berada di Semesta Lain berukuran hampir 10 kali lebih besar dari planet di dunia fana. Penghuni di sini berasal dari penghuni dunia fana yang bermigrasi dari ribuan tahun lalu. Mereka tidak hanya berasal dari satu dunia, melainkan beberapa galaksi lain di sekitarnya. Alasan disebut sebagai dunia atas karena energi yang lebih melimpah dan hanya bisa diakses setelah bisa menggunakan kemampuan terbang. Tapi karena ulah Kaisar Amerta, ada altar teleportasi yang memudahkannya. Mungkin dunia ini lama kelamaan memiliki sumberdaya seperti dunia fana karena terus dieksploitasi dan semakin banyak penduduknya. 3. Dunia DanirmalaSemesta lain yang belu
Matahari sudah hampir terbenam di ujung cakrawala, cahayanya menyeruak masuk melalui celah pintu rumah gua. Di bawah pancaran cahaya, ada seorang anak kecil yang tergeletak. Sedangkan di dalam ruang penempaan, paman Jade menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah lorong. "Anak itu, belum kembali selama ini! Tidak akan aku maafkan kalau benar-benar kabur." Paman Jade turun dari altar, lalu berjalan ke arah ruangan luar. Saat sampai di ruangan kedua sebelum pintu masuk, ia dapat melihat cahaya matahari yang menyeruak masuk. "Sepuluh tahun kah? Akhirnya merasakan udara luar lagi," ucapnya sambil mengamati cahaya matahari, lalu memasuki lorong sebelum ruangan terluar. "Hah?" Paman Jade mengernyitkan dahi, ia samar-samar melihat sesuatu di bawah cahaya matahari. Sesuatu yang semakin terlihat jelas saat mulai mendekat. "Akara!?" Ia langsung berlari ketika yakin melihat dengan jelas bahwa dia adalah muridnya. Segera diangkat kepalanya, lalu mengecek denyut nadi di lehernya. "Huhh." Pa
Sekitar lima tahun telah berlalu, kini Akara telah berusia 13 tahun dan Alice berusia 11 tahun. Keduanya telah menjelang remaja, Alice terlihat akan tumbuh menjadi wanita cantik di kemudian hari, begitu juga dengan Akara yang terlihat lebih tenang seperti ayahnya. Sepasang pedang kayu berada di belakang pundak keduanya, membuat gaun merah muda Alice bertambah cantik dengan sarung pedang seperti berlian. Mereka berdua kini sedang berjalan menyusuri hutan yang sangat lebat. Beberapa saat kemudian mereka berada di depan ngarai, yang diapit dua tebing tinggi dan juga diselimuti kabut yang sangat tebal. Mereka berhenti, dan memandangi sekitar untuk memastikan sebelum masuk ke dalam ngarai. Di atas tebing, ada seorang gadis seumuran Akara. Ia menggunakan pakaian hitam ketat yang menyelimuti seluruh tubuh, bahkan memakai topeng berwajah serigala. Yang tidak tertutup hanya rambut hitam panjang yang ia ikat pony tail, serta telinganya. Hanya dari telinganya saja bisa dilihat betapa terawat k
Di depan mulut gua, Lina si Peri salju telah kembali setelah mengecek gua dan menemui orang-orang yang masih berkumpul. “Berkumpul!” teriak Lina dengan lantang, membuat orang-orang itu berkumpul kecuali salah seorang yang menghampiri pangeran Bram Bidara. “Pangeran, Peri salju telah kembali,” ujarnya pelan kepada Bram Bidara yang masih bermeditasi. Bram membuka matanya perlahan dan tanpa menjawab, ia langsung melompat ke arah Peri salju. “Kamu baik-baik saja?” ujar Bram kepada Lina, namun diabaikan begitu saja olehnya dan malah berjalan pergi. Bram Bidara hanya bisa menatapnya kesal sambil mengepalkan tangannya, setelah tidak ada tanggapan sama sekali dari Lina. “Ayo masuk!” ujar Lina dengan cueknya tanpa menjelaskan apapun kepada mereka. “Maaf kak Peri salju, apakah sudah aman di dalam gua?” ujar salah satu perempuan yang terlihat begitu cemas. “Kalau mau aman, tunggu saja di sini!” Lina begitu dingin sesuai julukannya, ia tetap berjalan masuk tanpa menghiraukan juniornya yang
Salamander magma dan juga King Kobra ungu telah bertarung sengit. Salamander tidak bisa bergerak lincah dan hanya menyemburkan magma ke arah King Kobra, sedangkan king kobra melesat dengan cepat. Walau Aliran magma sudah menyebar ke segala penjuru gua, namun King Kobra tiba-tiba melesat dengan cepat dan melilit tubuh Salamander. Setelah Salamander terlilit, King Kobra menyemburkan bisa beracun ke kepala Salamander, namun ditangkis oleh semburan magma. Semburan bisa dan magma menyebar ke seluruh ruangan karena saling bertolak. Terbakarnya bisa king kobra, menyebabkan asap beracun yang begitu banyak. Mereka saling menyembur hingga cukup lama dan ternyata tidak jauh dari mereka, ada para siswa akademi Amerta yang sedang mengamati. Rombongan siswa akademi Amerta sudah mendekati gua bagian dalam. Mereka dalam posisi bertahan karena tertekan oleh tekanan aura dua binatang sihir tingkat mistis. Batu besar menjadi persembunyian, serta sekat antara mereka dan kedua binatang sihir. Di dalam g