Kuda berkaki enam itu lari menggemuruh cepat sekali. Menjelang pagi Maithatarun berharap dia sudah sampai di Kota Jin. Di dalam kocek jerami Bintang, Bayu dan Arya bergelung tergoncang-goncang. Karena keletihan ketiga orang itu akhirnya tertidur pulas. Pagi hari begitu sinar sang surya menembus dinding kocek yang terbuat dari jerami ketiganya terbangun.
Maithatarun masih terus memacu kudanya. Bintang dan Bayu mendorong penutup kocek ke atas lalu menjengukkan kepala. Begitu memandang ke luar keduanya langsung jatuh terduduk. Bukan saja karena gamang tapi juga ngeri. Mereka melihat pohon-pohon raksasa seperti terbang bergerak cepat ke arah berlawanan dari lari kuda kaki enam yang ditunggangi Maithatarun.
Di satu lereng bukit Maithatarun perlambat lari kudanya. Bintang dan Bayu kembali beranikan diri mengintai. Jauh di bawah sana mereka melihat, sebuah lembah lalu satu kawasan pemukiman yang cukup luas.
“Mungkin itu Kota Jin, tujuan Maithatarun...” kata
Maithatarun tersenyum walau telinganya mendadak menjadi panas. “Sejak kapan, pemuda itu menjadi Kepala Negeri. Siapa yang mengangkatnya...?”“Sejak beberapa bulan lalu. Penduduk yang mengangkatnya. Selain masih muda dan cakap Zalanbur memiliki ilmu silat dan kepandaian tinggi!”“Kalian semua kerabat tahu kalau aku adalah Kepala Kota Jin. Kalian melihat aku segar bugar dan masih hidup! Selama Kepala Negeri masih hidup apakah ada adat dan aturan di Kota Jin seseorang lain dijadikan Kepala Negeri?”“Menurut Zalanbur kau sudah tewas sekitar enam kali bulan purnama lalu.”“Patole.... Patole,” kata Maithatarun sambil geleng-geleng kepala. “Apa kau dan lima kerabat sudah pada buta? Dengan siapa saat ini kalian berhadapan?!”Patole menjawab. “Yang kami lihat memang sosok kasar Maithatarun, bekas Kepala Kota Jin. Tapi kami tidak tahu apakah ini benar jazad hidupnya atau rohnya yan
Gebrakan Maithatarun tidak sampai di situ saja. Sambil melayang turun kaki kirinya ditendangkan ke arah kepala salah seekor kadal raksasa yang tengah menyerang kudanya.“Praaaakkk!”Kepala kadal raksasa hancur. Darah dan isi kepalanya bermuncratan. Tapi sosok tubuhnya masih tegak berdiri. Malah buntutnya tiba-tiba menggelepar ke atas. Maithatarun berseru kaget tak menyangka. Ujung ekor kadal yang tertutup sirip-sirip tebal setajam pisau menyambar lambungnya, “Craaasss!”Darah mengucur dari perut sebelah kanan Maithatarun. Masih untung dia berlaku cepat, melompat ketika ekor kadal raksasa menghantam hingga lukanya tak cukup dalam dan tidak berbahaya, Di dalam kocek jerami, Bintang dan dua kawannya terhenyak dengan muka putih. Kalau sambaran ekor tadi sempat menghantam kocek di mana mereka berada, tak bisa dibayangkan apa yang terjadi.“Kerabat Patole, aku masih menganggapmu sebagai sahabat. Bawa tiga temanmu. Tinggalkan segera
KETIKA suara menggemuruh memasuki kota Jin, penduduk di kawasan itu segera tahu siapa yang muncul. Mereka berhamburan keluar dari rumah masing-masing dan lari menuju sebuah tanah lapang yang terletak di tengah-tengah kawasan pemukiman. Banyak di antara mereka termasuk anak-anak lari sambil berteriak-teriak.“Maithatarun datang! Maithatarun datang!”Di ujung timur tanah lapang besar, debu mengepul ke udara menutupi pemandangan. Begitu debu lenyap tertiup angin tampaklah Maithatarun di atas punggung kuda raksasanya. Sesaat lelaki ini pegangi perutnya yang terluka akibat hantaman ekor kadal. Darah pada luka itu sudah berhenti mengucur namun masih tertinggal rasa perih. Maithatarun melompat turun dari tunggangannya. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke-ujung lapangan di .sebelah sana. Di sekeliling lapangan ratusan penduduk tegak berkerumun, menyaksikan apa yang sebentar lagi akan terjadi.Penutup kocek terangkat ke atas. Tiga kepala muncul keluar.
“Duelcarok! Duelcarok!”Di kalangan penduduk Kota Jin ada semacam aturan yang disebut Duelcarok. Artinya dua orang lelaki berkelahi secara jantan satu lawan satu untuk menyelesaikan urusan mereka. Sudah dapat dipastikan salah seorang dari mereka akan tewas, Malah tidak jarang kedua-duanya akan menemui ajal! Inilah yang akan terjadi antara Maithatarun dan Zalanbur.Zalanbur memang telah menunggu kedatangan Maithatarun. Dia sengaja duduk di kursi batu di ujung tanah lapang. Di kiri kanannya empat pemuda bertindak sebagai pengawal, tegak menghunus tombak rotan berkepala batu lancip.“Dukkk... dukkk... dukk... dukkkkk!”Tanah lapang bergetar hebat ketika dua kaki batu Maithatarun menjejak dan melangkah. Suara orang yang berteriak-teriak langsung berhenti. Banyak yang heran tapi lebih banyak yang unjukkan wajah ngeri. Termasuk Zalanbur dan empat pengawalnya.Maithatarun berhenti di tengah lapangan. Dia menatap tajam ke arah Zalan
Maithatarun tepuk dadanya dengan tangan kanan hingga mengeluarkan suara keras dan membuat Bintang serta dua orang yang ada dalam kocek berjatuhan.“Zalanbur!” Maithatarun tiba-tiba berteriak. “Lihat baik-baik keadaan dua kakiku! Dua batu bulat membungkus kakiku! Aku menyebutnya Bola-Bola Neraka! Kaulah yang punya pekerjaan sampai aku jadi begini! Kau menyantet diriku! Tapi hari ini kau akan menyesal sampai ke alam roh! Karena dua kakiku ini yang akan mengirimmu ke alam sesat neraka jahanam! Aku Maithatarun siap melakukan Duelcarok dengan manusia laknat Kepala Negeri palsu!” Masih menggema teriakan Maithatarun itu tahu-tahu tubuhnya tampak melayang di udara. Kaki kanannya menyambar menimbulkan suara laksana sambaran angin puting beliung. Orang banyak di tepi lapang berseru kaget dan cepat-cepat menjauh.Zalanbur berteriak keras sambil melompat dari atas kursi batu. Tangan kanannya menghantam. Tapi luput. Masih untung dia selamatkan diri dari tend
“Celaka!” keluh Maithatarun. Dia coba mencekal leher ulat raksasa namun gigi-gigi Jin Kepompong sudah menempel di lehernya. Dalam usahanya menyelamatkan diri Maithatarun jatuh punggung dan terbanting di tanah. Dua kakinya ditendangkan berusaha menghantam tubuh ulat raksasa sementara dua tangan mencekal leher dan kepala Ulat, menahan gerakan gigitan yang siap memutus lehernya!Pada saat Maithatarun terjatuh ke tanah penutup kocek jerami terpental. Bintang, Bayu dan Arya terlempar ke luar. Arya menggigil ketakutan karena dia hampir tertindih sosok Jin Kepompong yang meliuk-liuk. Walau juga merasa ngeri setengah mati namun Bintang masih bisa berlaku tenang. Tubuh Maithatarun yang terlentang di tanah di bawah tindihan sosok ulat raksasa laksana bentangan bukit besar di mata Bintang. Sesaat dia bingung tidak tahu mau melakukan apa. Kemudian pandangannya membentur sosok sarang kepompong di ujung tanah lapang. Saat itu keadaan Maithatarun benar-benar dalam bahaya besar.
SANG surya masih belum memperlihatkan diri. Udara di penghujung malam itu masih diremangi kegelapan. Angin dingin masih mencucuk menembus kulit sampai ke tulang. Hampir tak dapat dipercaya, dalam kegelapan seperti itu, di kawah Gunung Patimerapi berkelebat satu bayangan. Gerakannya cepat, sulit ditangkap mata biasa.Bayangan ini melompat dari satu gundukan batu ke gundukan batu lainnya. Lalu sesekali kakinya menendang dan ; "Byaaarr!" Gundukan batu hancur berarrtakan!Batu-batu yang ada dalam kawah Gunung Patimerapi itu bukan batu biasa. Tapi adalah batu-batu yang sejak ratusan tahun telah berubah menjadi bara merah menyala dan tentunya panasnya bukan alang kepalang. Jangankan untuk dipijak, berada cukup dekat saja panasnya seolah mampu membakar seseorang. Apalagi di dalam kawah terdapat cairan lahar merah mengepulkan asap panas dan sesekali mencuatkan lidah api sampai setinggi satu tombak! Namun sosok yang ber- kelebat dari satu batu ke batu lainnya itu sama sekali ti
"Nek...""Sekali lagi kau dirasuk ragu dan bimbangi Sekali lagi kau berucap dan menolak berbuat! Maka Cukup sampai di sini aku melihatmu! Kalau aku masih sempat melihatmu maka aku hanya akan melihat rohmu gentayangan antara langit dan bumi!"Dinginlah tengkuk Patandai. Dia tahu si nenek tidak bicara kosong. Dia sadar perempuan tua bermuka burung gagak itu memiliki kemampuan untuk menghabisinya semudah dia membalikkan telapak tangan! Maka tanpa menunggu lebih lama Patandai melompat, ceburkan diri ke dalam cairan lahar yang mendidih panas di puncak Gunung Patimerapi itu!Sosok Patandai lenyap tenggelam di bawah permukaan lahar. Di sebelah atas lahar mencuat memercikkan lidah api. Sepasang mata Jin Santet Laknat memperhatikan dengan tajam. Mulutnya komat-kamit seperti merapal sesuatu. Lalu dia berteriak. "Kau boleh keluar sekarang Patandai!"Aneh! Walau berada di bawah permukaan lahar panas dan tebal namun si nenek mampu mengiangkan perintahnya ke telinga Pa