Share

Penguasa hati
Penguasa hati
Penulis: dibatezal

Kepastian

Raffi memandang tajam wajah Mahesa, gadis yang dicintainya. Gadis itu kemudian menundukkan wajah ovalnya, menghindari tatapan Raffi yang menusuk hatinya. Ia harus menjawab pertanyaan Raffi sebelumnya.

"Apakah kau mencintaiku?"

Sungguh sulit ia menjelaskan.

"A-a-a ...aku ... nyaman sama Kakak, Kakak bagaikan ...."

Apakah aku mencintainya? Aku tak boleh berbohong, tak boleh, kalau tidak pernikahan ini akan menjadi pernikahan pura-pura. Aku harus jujur, sesulit, semenyakitkan apa pun.

"Ka-kakak bagiku." Lirih suaranya. Maaf ....

 Raffi memberikan seulas senyum, meski keluarnya dengan dipaksa. Dia sudah tahu apa yang dirasakan gadis yang akan menjadi istrinya dalam hitungan hari. Tak pernah ia melihat pucuk cinta di mata sayu Mahesa saat sedang memandangnya. Jangankan pucuk, benih pun nampaknya tak ada. Mereka hanya bersama karena faktor keadaan. Pada saat Raffi mengungkapkan rasanya kepada Mahesa, gadis itu pun sedang bingung menghindari perjodohan seorang saudagar bau tanah yang sudah memiliki lebih dari empat istri. Sekali mendayung, dua-pulau terlampaui. Ia bisa menyelamatkan gadis yang sudah ditaksirnya semenjak kelas 3 SMA sambil memilikinya. Menjadikan pendamping hidup.

Namun, ternyata hanya memiliki raga tak cukup bagi Raffi. Ia sadari hal yang paling membuatnya jatuh hati kepada Mahesa adalah keceriaannya, keyakinannya akan datangnya cinta sejati. Kata yang sering diungkapkan olehnya.

Raffi merasa telah mencerabut keyakinan itu. Bagi Mahesa, cinta sejati kini bagaikan sebuah legenda yang hanya terjadi dalam negeri dongeng. Tak semua orang yang akan memilikinya. Dan ia telah menutup harapan akan datangnya cinta sejati. Karena harapannya ditutup, bagaikan memisahkan seseorang dari sinar matahari, bunga yang dicintai Raffi ini pun meredup. Raffi tahu, tak semestinya ia memenjarakan Mahesa dalam cinta yang tidak tulus. Cinta tak seharusnya seperti itu, cinta seharusnya membebaskan, cinta seharusnya membahagiakan.

“Tapi … aku akan berusaha ….” Kembali Mahesa berkata lirih. Memandang Raffi dengan mata penuh iba, juga keterpaksaan.

Raffi berdiri dari sofa panjang, Mahesa memandangi dari duduknya.

“Kakak, pergi dulu, ya?”

Mahesa mengangguk lesu. Raffi mengacak rambutnya pelan.

Selamat tinggal, aku akan membuatmu bahagia, meski bukan denganku.

**

Wanita separuh baya dengan hidung bangir itu terdiam ketika memasuki kamar temaram milik anak bujangnya. Seprainya rapi, dengan selimut terlipat disimpan dengan manis di ujung ranjang. Mata Halimah berkaca, putranya seharusnya hari ini melangsungkan pernikahan bersama gadis yang konon dikagumi semenjak sembilan tahun lamanya, dan dicintai selama setahun terakhir ini.

“Maaf, Mama ….” Tangan Raffi memegang tangan ibunya dengan lembut. Anak semata wayang, dari seorang ibu single fighter, telah mendidik Raffi sedemikain rupa sehingga menjadi lelaki yang tangguh, berprestasi. Ia berhasil kulian s1 dengan predikat cumlaude dan mendapatkan beasiswa s2 di Jerman. Kali ini ia akan berangkat lagi ke Jerman untuk melanjutkan s3 dengan berencana membawa Mahesa yang selama setahun terakhir mulai akrab semenjak chatting bareng di sebuah sosial media. Seorang gen unggul, tetapi disayangkan tak memiliki nasib baik tentang cinta. Berkali-kali dikhianati oleh perempuan yang katanya akan menemaninya hingga ajal memisahkan.

Halimah tak mengerti apa yang membuat Raffi memutuskan menggagalkan pernikahannya dengan Mahesa. Tapi ada lega di hati, karena gadis itu pun bukan tipe kesukaan sang ibu. Terlalu kaku. Beberapa kali ia melihat hanya Raffi yang mengorbankan segalanya.

“Ya Allah, berikanlah wanita yang baik bagi Raffi anakku.”

***

 Mahesa duduk di depan meja riasnya. Membiarkan perias memermak wajahnya. Ia biarkan mukanya yang halus diberikan berbagai macam krim dan pewarna, muka yang biasanya cantik alamiah itu menjadi penuh dengan polesan dan terlihat seperti kabuki—aktor dari budaya Jepang yang terkenal dengan kostum mewah dan tata rias mencolok.

Ia tahu bahwa hari ini seharusnya pernikahannya tidak terjadi. Ia tahu bahwa Raffi sudah terbang lebih awal ke Jerman dan tidak membawanya. Tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya memberitahu kedua orang tuanya. Ia kesulitan berbicara dengan orang tuanya semenjak masih berusia SD. Konflik demi konflik ia alami, dan sekarang waktunya untuk menutup mulut, menutup hati, membiarkan semua terjadi tanpa perlu menuntut ini-itu.

“Cantiknyaa!!” Sang penata rias memandangi wajah Mahesa. Lalu membetulkan beberapa bagian tubuh Mahesa dengan saksama.

“Uhuk-uhuk!”

“Haus?” tanyanya.

Mahesa mengangguk sambil memegang kerongkongannya.

Perias wajah yang biasa dipanggil Teh Anne lalu memanggil salah satu stafnya, tetapi tak kunjung ada sesiapa yang datang. Ia kemudian berjalan, dan keluar dari kamar Mahesa. Suasana kamar Mahesa yang dipenuhi hiasan pesta dan bunga kemudian sepi. Sang penata rias sudah selesai dan takada satu pun yang menemani Mahesa. Ia kemudian berdiri, meyambar sebuah tas kecil berisi pakaian yang sudah dipersiapkannya sedari malam, mengenakan sepatu sneakers berwarna putih dengan segera, lalu menuju jendela kamar. Susah payah ia menaikkan kain yang membungkus kaki jenjangnya hingga ke paha, lalu menuruni jendela kamarnya dengan melompat.

Mahesa memandangi sekitar, beberapa staf EO mondar-mandir keluar masuk rumahnya. Ia memang sengaja membuat pesta kecil saja di rumahnya. Tidak ingin membuat acara yang terlalu besar-besaran. Begitu kesepakatannya dengan Raffi. Rafii pun bukan orang yang suka menghambur-hamburkan harta untuk sebuah pesta pernikahan yang dihadiri orang-orang yang tidak dikenalinya.

Mahesa merayap ke bagian samping rumahnya, menuju ke bagian depan rumah. Terlihat di depan, ia melihat sebuah mobil SUV silver datang, pengemudinya ia kenali, begitu juga penumpangnya. Bapak dan ibunya!! Ia merunduk, berusaha untuk menutupi dirinya dengan tanaman merambat di dekat pagar kecil di samping rumahnya. Menunggu keluarganya masuk rumah. Lalu, ia  berlari, berlari, dan berlari.

Tiba di tikungan, ia menyadari ketika akan membawa mobil sedan merah yang sudah diparkir di lapangan tak jauh dari rumahnya. Kuncinya tertinggal! Ia lalu merogoh tasnya, mencari gawainya untuk memesan taksi. Namun ternyata benda kecil berwarna merah yang disukainya juga takada di sana.

Mahesa membuang napas kasar, lalu berjalan, tentunya perlahan dengan kaki dibungkus jarik ketat. Sekitar sepuluh menit, syukurnya udara subuh terasa sangat segar, ia sampai di bagian depan perumahan.

“Hitung-hitung olahraga,” katanya menyemangati diri. Lalu merasa lega ketika melihat sebuah toko kelontong, dan seorang tukang ojek tengah duduk santai menunggu penumpang di depannya. Mahesa mendekati motor itu, dan karena sangat kelelahan, ia langsung duduk di jok belakang.

“Bang, jalan, Bang!”

Sang lelaki supir ojek melihat ke arah Mahesa yang sudah duduk menyamping di belakangnya. “Ada penumpang?” tanya Mahesa kemudian ragu melihat wajah heran sang supir.

“T-t-t-tidak…” jawabnya.

“Ke jalan Stasiun, ya?”

Tukang ojek yang nampaknya masih belia itu mengangguk, ia menyetarter bebek tua yang mesinnya sudah kelihatan akibat rangkanya sudah lepas itu. Agak lama, sempat membuat Mahesa khawatir apakah anak ini bisa membawa motor? Namun, tak lama motor itu kemudian berjalan, angin sepoi-sepoi kemudian menerpa tubuhnya. Ia tersenyum bahagia. Tak disadarinya, sang supir ojek diam-diam mengintip, membuka mulutnya seakan sedang melihat santapan nikmat di pagi hari yang baru saja disodorkan untuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status