“Berapa usiamu, Kastara?” tanya Shena pagi ini di dalam mobil menuju ke kantor. Kebetulan ada banyak mobil di rumah Iwan Duarte yang bisa dibawa ke kantor selain mobil Jeep hijau milik Shena.
“Aku?” tanya Kastara heran tiba-tiba gadis ini menanyakan usianya, tetapi dia tetap fokus ke jalan.
“Iya, usiamu berapa? Memangnya di mobil ini ada orang lain selain kamu yang bernama Kastara? Namamu itu aneh sekali. Persis nama-nama jaman prasejarah,” cetus Shena sambil melamun ke samping kendaraan mereka di mana motor berderet-deret berjalan lambat karena macet.
“Usiaku tahun ini dua puluh delapan, Nona. Namaku itu unik, karena Ayah mendapatkannya dari sebuah kitab kerajaan jaman dulu,” jawab Kastara dengan jujur.
“Pantas saja, cocok sekali namamu itu dengan kepribadianmu yang kuno!” sejek Shena tertawa. Baru saja dia ingin melanjutkan pertanyaannya, tiba-tiba ponsel di genggamannya berbunyi nyaring.
Begitu melihat nama yang tertera di layar, Shena langsung tersenyum senang.
“Ada apa nih, pagi-pagi sudah nelepon gue? Mo ngajak dinner?” sapa Shena ceria.
“Iya, lo tau aja deh, kek cenayang,” balas Jessie tertawa, “Hari ini Shinta ulang tahun, dia mo traktir kita di klub malam yang baru buka itu. Tahu kagak?”
“Jinjaaa? Di mana?” tanya Shena dalam bahasa Korea.
Kastara mendengar ucapan Shena mengernyit, alis matanya menukik tajam. ‘Dinner? Alamat lembur beneran dong!’ pikirnya dalam hati.
“Oke-oke, pukul tujuh aku udah di sana deh. Tapi … (dia terdiam dengan mata melirik Kastara) aku gak sendiri,” balas Shena berbisik sambil menutup lubang suara ponsel dengan tangannya.
Entah apa yang dibalas oleh lawan teleponnya, tepat setelah itu Shena terbahak bahagia. Lagi-lagi Kastara mengernyit dengan helaan napas berat.
“Kau dengar tidak, malam ini temanku ulang tahun di Cosmix Club, di hotel Phoenix AZ. Tahu tidak?” tanya Shena dengan nada sedikit mengejek karena menebak Kastara berasal dari kampung.
“Tidak. Di mana letak hotel itu, Nona?” tanya Kastara jujur lagi.
Shena tertawa.
“Sudah tidak usah pusing, nanti akan aku tunjukkan. Toh kau pasti ikut denganku, kan? Sesuai perintah Papa,” ejek Shena semakin menjadi-jadi. Niatnya ingin mengerjai Kastara akhirnya kesampaian juga!
***
Pukul enam lebih empat puluh menit, akhirnya mobil yang dikemudikan Kastara tiba di parkiran hotel Phoenix yang berbatasan langsung dengan pantai berpasir putih. Sayang matahari sudah tenggelam hingga keindahan pantai itu tidak terlihat lagi.
Shena tampil maksimal dengan pakaian minim membungkus ketat tubuh sintalnya tetapi dandanan minimalis, membuatnya menarik perhatian semua orang. Sejak turun dari mobil hingga sampai di ruangan yang disewa Shinta semua mata memandang gadis itu tak berkedip. Sayang sekali dia tidak bersama Stevan.
Sementara Kastara juga tampil memukau, dengan kemeja pendek polos bergaris dan celana chinos panjang berwarna putih membuat tubuh Kastara tampak semakin mennggairahkan. Wajahnya halus, mulus dan bersih tanpa noda. Bahkan sehelai kumis pun tak luput tajamnya shaver yang digunakanya tadi sore.
“Wah, Shena … lo bawa siapa itu? pengganti Stevan? Lo mah serakah, semua yang cakep lo embat, Babe,” seru Jessie yang sudah tahu dengan siapa Shena datang malam ini.
“Gilak lo, masak Stevan diganti dengan produk kampung?” seru Shena terbahak gembira meninggalkan Kastara yang hanya bisa manyun di sudut ruangan. Dia tidak mengenal satu pun yang hadir di sini. Walau hanya lima wanita dan dua lelaki dengan dirinya yang hadir, tetapi suasana riuh seperti satu kampung hadir di sini.
Acara berlangsung meriah, mulai dari tiup lilin, lalu makan-makan, hingga akhirnya acara bebas.
“Bagaimana kalau kita main tebak-tebakan, yang salah harus menghabiskan minuman yang aku racik … tenang saja, semua pasti suka. Aku jamin deh ….” Jessie yang paling sibuk melebihi si ratu ulang tahun, Shinta. Shinta sendiri masih sepupu jauh dari Shena. Mereka sudah mengenal dan bermain bersama sejak orok.
Semua setuju ….
Sementara Kastara yang masih dudul di pojokan mengeryit mendengar kata minuman. Dia yakin pasti minuman yang memabukkan, dan benar saja, Jessie masuk dengan botol wine, XO dan JW di tangannya serta satu sloki kosong dikepitnya di antara dada dan lengan.
Semua bersorak menyambut kedatangan Jessie dengan botol-botolnya itu.
“Jess, lo yakin tiga cukup?” tanya Deni satu-satunya lelaki di undangan itu.
“Tenang woi … tar dianterin, dah gue pesen koq,” jawab Jessie tertawa.
Lalu, acara pun dimulai. Untuk pertama kalinya, semua orang kebagian masing-masing satu cangkir. Kastara yang duduk dipojokan khawatir melihat Shena yang langsung meneguk habis minumannya sambil tertawa lebar. Dia belum pernah minum minuman keras ini, tetapi dia tidak ingin diledek teman-teman karibnya itu. Lagi pula dia yakin tidak akan mabuk hanya dengan meneguk satu cangkir kecil itu.
Rasa panas segera menyembur naik ke hidung dan telinganya begitu dia meneguk cepat minuman itu. Shena terdiam sesaat, matanya menatap sekeliling dan melihat semua teman-temannya tertawa gembira. Beberapa menit kemudia rasa panas itu hilang dan dirinya sudah kembali seperti biasa. ‘Oh jadi seperti ini rasa ‘miras’,’ desis Shena dalam hati.
Permainan dimulai dari Deni yang salah dalam menebak, itu berarti dia harus minum sampai habis minuman di sloki kecil itu. Tak sampai satu menit minuman itu sudah berpindah ke mulutnya.
Lalu yang kedua kali, Shena, dia juga salah menebak, dan dia harus minum minuman yang dituang ke sloki. Sejenak Shena ragu, walau semburan rasa panas itu sudah hilang, tetapi rasanya masih tersisa di dalam mulutnya. Tanpa disangka Kastara mendekat dan langsung meneguk habis minuman yang diracik Jessie.
“Yaa … tidak boleh digantikan, Shena!” seru Deni protes. Semua tertawa. Wajah Shena yang sudah memerah mengempaskan tangan Kastara yang memegang tangannya untuk mengajak pulang.
“Jangan pegang-pegang, Kastara. Aku belum mabuk dan kau jangan kurang ajar padaku!” seru Shena marah.
Semua malah tertawa melihat adegan itu. Kastara diam dan mundur dan duduk di belakang kursi Shena.
Acara berlanjut, semakin lama semakin sering Shena meneguk minuman keras itu dan semakin yakin dia kalau dia tidak mabuk sama sekali. Tetapi saat dia berdiri … tiba-tiba dia terjatuh dan untungnya Kastara berada di belakang dan menangkap tubuhnya.
“Jangan sentuh aku, Kastara! Aku tidak mabuk, tahu,” umpat Shena marah. Dia ingin ke kamar keci yang ada di sudut ruangan. Kastara mengikutinya dari belakang, dia takut gadis itu jatuh di kamar mandi. Siapa tahu!
Tetapi tanpa Kastara sadari, Shinta mengeluarkan bubuk putih dari belakang ponsel dan menaburkannya di minuman Shena. Dia bahkan menaburkannya juga di botol bir yang diminum Kastara!
Kembali dari kamar mandi Shena langsung meraih sloki yang sudah penuh itu dan menegaknya sampai bersih. Shinta dan Jessie hanya terdiam melihat Shena menghabiskan sloki yang sudah dicampur dengan bubuk putih. Keduanya tertawa, sementara Deni dengan Lisa yang merupakan pasangan kekasih sudah terkulai lemas di kursi karena kekenyangan dan mulai mabuk.
Kastara mengambil botol bir miliknya dan menghabiska sisa minumannya yang hanya seperempat botol lagi, hinga tuntas!
***
Kastara tiba-tiba merasa hawa tubuhnya menjadi panas dan gairah di dalam tubuhnya perlahan naik hingga tak tertahankan. Dia menjadi bergerak gelisah sendiri, sementara Shena sudah terduduk diam di kursinya dengan mata nyalang memandang pada Kastara yang ada di sampingnya. Tanpa buang waktu, dia langsung menarik Kastara dan menciumi bibir tipis Kastara tanpa jeda. Rasanya ada sesuatu yang liar di dalam tubuh dan ingin segera dilampiaskanya.Shinta dan Jessie segera memanggil helper yang ada di lorong untuk mengantarkan Kastara dan Shena ke kamar yang sudah mereka pesan setelah sebelumnya mengantar Deni dan Lisa ke kamar mereka.“Pasti seru!” tukas Jessie tertawa liar.“Kau tahu, ayahnya yang kaya itu sudah mengancamanya bahwa dia tidak boleh tidur dengan pengawalnya sendiri. (Shinta tertawa lebar) Aku ingin lihat apa yang akan dilakukan Paman Iwan saat tahu anak keasayangan itu tidur dengan pengawalnya s
“Pergi dari rumah ini, Shena! Aku tidak mau melihat tampangmu masih berada di sini!” seru Iwan Duarte keras.“Papa! Dengarkan aku dulu, Pa. kami dijebak, Pa. kami juga korban, Pa,” seru Shena membela diri dengan linangan air mata.“Aku tidak peduli kau dijebak atau pun tidak, kau sudah mencoreng nama baikku. Kau anak jahanam!” seru Iwan tegas.Air mata mengalir semakin deras saat Shena menyadari ayahnya bahkan mengumpat dirinya dengan tegas. Ya Tuhan, ini seperti mimpi buruk yang tidak pernah dia bayangkan akan menimpa dirinya.“Kau, Kastara! Tidak ada gaji maupun bonus! Kau sudah gagal dalam tugasmu! Pergi jauh-jauh dari sini, aku tidak mau melihat tampangmu juga dia!” seru Iwan mengusir Kastara juga Shena.Kastara hanya diam dan mengangguk. Dia hanya bekerja di sini … tetapi diusir seperti seorang pencuri seperti ini rasanya sakit sekali.Dia menghela napas.“Bawa dia pergi!” hardik Iwan menunjuk Shena yang masih belum bergerak dari posisinya sejak datang tadi.“Nona ….” Kastara men
“Iya, ke kampungku, Shena. Memangnya kau punya berapa banyak uang untuk bertahan di kota metropolitan ini? ini saja kita hanya menginap di motel. Kau tahu berapa hotel-hotel yang biasa kau dan ayahmu menginap satu malam? Anggap saja kau memiliki uang, tahan berapa lama hanya untuk membayar hotel? Belum makan, anggap saja hotel memberikan free breakfast, lalu makan siang dan malam? Jangan kau katakan kau hanya akan makan satu kali dalam sehari,” oceh Kastara panjang lebar.Shena terdiam mendengar ocehan Kastara. Memang masuk akal semua yang dikatakan Kastara, tapi di mana letak kampung itu? Seberapa jauh dari kota?“Di – mana letak – kampungmu, Kastara? Jauh kah dari sini?” tanya Shena pelan. Dia tidak sanggup membayangkan hidup di kampung, yang harus berjalan kaki kemana-mana, jalan berdebu dan tidak di aspal, iuuhh! Baru membayangkannya saja, kakinya langsung terasa lemas. Bagaimana ini?
Untuk pertama kalinya, Shena merasakan enaknya berada di atas kereta api. Selama ini dia hanya pernah naik kereta gantung dan kereta api cepat di luar negeri.“Ternyata enak juga naik kereta api, Kastara. Apa aku bisa tidur di sini?” tanya Shena pada lelaki yang sejak tadi hanya diam menatap pemandangan yang berlari cepat di samping jendela gerbong.Kastara tidak menyahut, dia hanya mengangguk. Shena langsung meraih ransel Kastara untuk dijadikan bantal kepala. Dan lagi-lagi lelaki itu hanya diam seribu kata membiarkan Shena melakukan apa yang ingin dilakukannya.“Kau tidak ingin tidur?” tanya Shena sambil membenahi ransel itu agar terasa agak tak nyaman di kepalanya.“Tidak. Kau tidur saja, aku akan berjaga di sini,” jawab Kastara datar. Shena menatapnya dengan pandangan yang tak dipahaminya sendiri.“Memangnya apa ada penjahat di sini?
Selesai makan, Kastara mengajak Shena untuk kembali ke gerbong mereka. Tetapi gadis itu menolak, dia msih ingin berada di gerbong makanan ini karena dari jendela yang ada di gerbong makanan itu mereka bisa mendapatkan pemandangan di luar dengan lebih leluasa. Tidak ada tirai-tirai yang ditutup seperti di gerbong mereka karena cuaca yang panas di luar.Kastara hanya bisa menuruti keinginan gadis muda itu. Tiba-tiba ponsel yang ada di kantong celananya bergetar, dia segera mengangkatnya.“Ada apa?” sapa Kastara pendek tanpa melihat layar lagi, dia sudah tahu siapa yang menghubunginya.Lalu terdengar suara samar-samar dari seberang ponsel. Shena mengernyit, suara wanita … siapa dia? Gadis itu mendekatkan telinganya ke arah Kastara untuk mencoba mendengar. Tetapi sampai ponsel dimatikan dia sama sekali tidak memperoleh info tentang siapa yang menghubungi penjaga-nya itu.“Ayo kit
“Aku tidak menyumpahimu, Nona Shena, hanya mengingatkan agar kau jangan berbicara saat sedang makan. Kau kan tidak tahu apa yang akan kau telan atau tertelan seperri tadi. Lagi pula tersedak makanan itu berbahaya, kau bisa kehilangan nyawa tanpa bermaksud untuk bunuh diri. Kau bisa meihat data berapa banyak orang yang meninggal gara-gara tersedak,” balas Kastara panjang lebar. Lalu dia menarik napas sebelum melanjutkan makannya yang tertunda.Shena mendelik.“Iya—iya … profesor Kastara, aku mengerti,” jawab Shena sewot.Kastara tertawa melihat kelakuan gadis itu yang mendelik dengan mata yang membulat.Selesai makan, Kastara mengambil ranselnya dan mengeluarkan jaket tebal untuk digunakannya sebagai bantal. Dia mengantuk.“Kau mau apa?” tanya Shena melihat ransel yang empuk menjadi kempes.“Aku mau tidur. Karena kau sudah tidur lama, jadi gantian kau yang berjaga, Shena,” jawab Kastara santai sambil menguap lebar.“Haaa?” Shena terkejut ketika Kastara menyurunya untuk berjaga. Belum p
“Masih satu jam lagi. Baiklah ayo kita makan dulu sebelum kereta tiba di stasiun. Nanti akan susah mencari makan jika sudah berkendara,” ajak Kastara sambil berdiri dan merapikan pakaiannya yang lusuh karena tidur tadi.”Shena mengangguk cepat dan langsung mengikuti Kastara yang sudah berjalan lebih dulu darinya.Begitu memasukki gerbong makanan, mereka langsung disambut dengan aroma makanan yang super sedap hingga membuat perut Shena kembali berdendang.“Aku mau nasi goreng kemarin, Kastara,” bisik Shena cepat sambil melirik ke deretan kursi yang penuh dengan penumpang kereta karena sekarang memang jam sarapan pagi.Kastara mengangguk. Dia melihat sambil mencari meja kosong, tetapi sepertinya di jam-jam begini tidak ada meja dan kursi yang kosong.Setelah memesan dua nasi goreng dan dua jus jeruk, Kastara juga mengambil beberapa gorengan dan kue-kue
“Apa maksudmu membawa gadis itu pulang, Kastara!” suara Tuan Bastian Kusuma menggelegar memenuhi seluruh ruang makan menandakan bahwa dia tidak senang dengan keputusan Kastara membawa Shena ke rumah.“Dia diusir dari rumah gara-gara kesalahanku, Pa. Sebagai laki-laki aku harus bertanggung jawab. Bukankah itu yang selalu Papa tegaskan padaku?” jawab Kastara tegas. Bukan berniat membantah ayahnya tetapi dia hanya melakukan apa yang dia anggap sebagai tanggung jawabnya.“Tanggung jawab?!?” Batian tertawa menyindir.“Tanggung jawabmu itu ada pada Alina, Kastara! Kau sudah dijodohkan sejak kalian dalam kandungan! Bukan gadis antah berantah itu! Kalau kau bisa menyentuhnya berarti dia bukanlah gadis baik-baik. Pulangkan dia ke kota. Papa tidak mau dia di sini. Lalu nikahi Alina. Dia dengan sabar menunggumu kembali dari kota, Kastara! Jangan ragukan kesetiaan seorang wanita,” Sent