Di apartemen Haiden.Haiden tampak frustasi dengan kejadian tadi siang, dia sudah berusaha sebaik mungkin untuk membawa ingatan Marissa kembali menjadi Dominique. Sambil menatap buku nikah, cincin berlian yang pernah dia berikan juga ponsel Dominique yang dia tinggalkan dua tahun lalu. Hatinya masih sangat gelisah bagaimana bisa dia belum bisa membawa Dominique kembali.Dia menatap ponsel Dominique, dan melihat semua isi di dalamnya, Haiden baru menyadari bahwa sedikit pun selama dia bersama dengan Dominique dia tidak memiliki kenangan apapun. Bahkan foto mereka bersama pun Haiden tidak memilikinya. Dia bahkan begitu ceroboh tak memiliki kenangan apapun bersama Dominique.Haiden hanya bisa menatap nanar dengan penuh kepedihan saat melihat foto-foto Dominique yang sedang tersenyum dan tertawa. Baginya semua sangat menusuk dalam relung hati. 'Kau begitu ceria dan polos, Domi ... maafkan aku sayang terlalu mengekang sehingga kau menjauh pergi dariku.'Suara ketukan pintu terdengar, John
"Sayang, ada apa? Apa tamu tadi membuat masalah?" Seorang wanita sedang berbadan dua langsung menggandeng lengan orang tadi sambil melihat kearah jendela punggung tamu yang baru saja masuk ke dalam mobil."Bukan siapa-siapa, aku pikir dia temanku, ternyata bukan," ucapnya menghempaskan tangan wanita tadi, lalu berlalu meninggalkan nya masuk ke ruang memasaknya. 'Cih, sampai kapan kau akan terus dingin kepadaku seperti ini. Dua tahun lebih aku bersama-mu, kau masih saja belum melupakan wanita murahan itu. Harusnya dulu aku melenyapkannya sebelum aku kembali ke sini.' Setelah Marissa membagikan semua roti dan minuman, Marissa jadi pendiam, pikirannya seolah terbang ke suatu tempat. Separuh jiwanya seakan pergi pada dimensi lain."Ada apa sayang?" Willy menyadari perubahan Marissa, menatap curiga Marissa setelah membeli roti tadi. Marissa tetap tak bergeming.'Benar itu dia ... aku tidak mungkin salah lihat. Dia banyak berubah hampir saja aku tidak bisa mengenalinya.' Batin Marissa ya
"Dua tahun lalu tepatnya aku pun belum bisa memahami nya sampai sekarang mengapa dia menghilang dari hidupku, sampai kemarin aku masih merasa dia sangat mencintaiku, namun saat aku bertemu dengannya, aku baru tahu dia sedang melupakan diriku," lanjut Haiden bercerita.Rose dan Dhyson menyikmak dengan seksama setiap kata yang terucap dari mulut Haiden."Sepertinya dia sedang melupakan-ku," ucap Haiden kembali lagi sambil menatap mereka bergantian."Hmm, aku memang tak tahu apa yang sedang menimpamu dengannya, tapi aku sebagai seseorang yang juga sangat merindukannya, bolehkah aku melihat wajah cucu-ku, bagaimana dia, sosoknya ...," tutur Rose menatap penasaran sosok Dominique."Uhm, dia adalah sosok gadis yang sangat manis dan imut,"Haiden memberikan isyarat kepada John untuk mengambil bingkai foto satu-satunya yang selalu ada di meja kerja Haiden. John memberikan bingkai foto tadi kepada Rose. Rose menerima perlahan bingkai foto tadi, matanya membulat tak percaya dengan foto yang di
Dhyson mengangguk lalu dia teringat seseorang, "Grandma bagaimana dengan Richard," ucap Dhyson terlihat gelisah."Kita juga pun tak tahu akan menjadi seperti ini. Aku akan pikirkan cara untuk berbicara dengannya," Grandama Rose tampak menerawang jauh."Kau mau minum sesuatu?" tanya Willy saat Marissa sudah benar-benar bisa mengatur suhu tubuhnya setelah adu gulat tadi."Uhm ... sepertinya sesuatu yang dingin mungkin menyegarkan," sahut Dominique."Baiklah, aku akan buatkan sesuatu yang segar untukmu!" Willy melangkahkan kaki ke dapur mereka, tampak beberapa koki siap mendampingi Willy saat membuatkan minuman untuk Marissa.PAK!!"Aw," pekik Marissa, Carlos dengan sengaja memukul lengan Marissa yang masih di balut perban."Oh, maaf! Aku pikir kau sudah sembuh karena tadi kulihat kau begitu bersemangat saat menyerang pria dingin itu," sunggut Carlos menjulingkan matanya kepada Willy yang langsung menoleh ketika mendengar suara teriakan Marissa."Tadi kan aku sedang bertaruh dengannya,
Dominique tersenyum. Rasa lega menyerukan keluar dari dalam dadanya. Beban yang dia pikir sangatlah sulit. Namun, begitu mudah dia lewati. "Aku mencintaimu, Dominique." Willy menarik tubuh Dominique agar lebih dekat dengannya. Kecupan hangat dan dalam langsung diberikan oleh Willy.Mereka berdua berpagut dalam lautan kasih yang begitu dalam dan hangat. Membuat mereka saling insten melakukan sentuhan. Willy segera mengangkat tubuh Dominique yang sama-sama sudah membara. Meletakan perlahan tubuhnya di ranjang mereka. Willy melepaskan pakaiannya terlebih dahulu. Kemudian setelah dia polos dan berada diatas tubuh Dominique,"Aku teruskan ya sayang," ucap Willy berbisik manja di telinga Dominique. Dia hanya mengangguk perlahan. Dan Willy langsung merobek lingerie hitam yang di pakai Dominique. Dia menarik perlahan leher Willy dan mengalungkannya,"Ingat tanganku masih terluka." Willy mengangguk dan segera melakukan serangan dengan genjar, menyentuh dan mengabsen setiap inci dari tubuhn
Willy menyadari dan mengusap pipi Dominique. Dia melompat kepelukan Willy. "Antarkan aku ke makamnya." Suara Dominique lirih tertahan, menahan air matanya yang terus mengalir.Setelah berpikir keras Dominique menyakini bahwa tidak ada orang yang begitu mirip dengannya bahkan memiliki golongan darah yang sama jika dia bukan saudara kembarnya.Willy menarik tubuh Dominique. Menatap wajah wanita yang dicintainya dengan penuh luka. Air mata Dominique terus mengalir. Tergambar dengan jelas di wajahnya. Bahkan pedihnya sampai menyayat hati Willy."Apa kau sungguh ingin bertemu dengannya?" Tegas Willy sekali lagi. Dominique mengangguk pelan."Baiklah jika sungguh menginginkannya, kita pergi sekarang." Willy merengkuh kembali wanita yang dicintai kedalam pelukan dan memapahnya berjalan.Hati Willy tergores. Dirinya bahkan rela menggantikan semua penderitaan yang dirasakan Dominique asalkan dia berhenti menangis.Sepanjang perjalanan Dominique hanya memeluk Willy dengan erat. Hatinya kacau. D
Dominique terusik dibantu duduk oleh Diana yang semenjak dia pingsan terus berada di sampingnya. Dia melihat jelas sosok Haiden sedang memukuli Willy. Matanya membulat lebar. Dia membekap mulutnya tak percaya segera menghempaskan tangan Diana dan berlari kearah Willy yang sedang di hajar mati matian oleh Haiden."Kau gila!" Senggit Dominique menarik kasar tubuh Haiden dari atas tubuh Willy.Haiden terkejut melihat Dominique terlihat begitu marah terhadapnya. Tatapan matanya penuh dengan kebencian."Sa-sayang, ini aku Haiden. Kau sudah bisa mengingatnya kan? Aku ini suami-mu bukan dia." Tunjuk Haiden gelagapan menunjukkan kebenaran kepada Dominique. Menggenggam kedua tangannya dengan erat. Dia masih sangat yakin Dominique masih memiliki perasaan terhadapnya.Willy mengatur nafasnya sambil mengusap darah yang terus mengalir. Dominique menghempaskan kasar kedua tangan Haiden yang menggenggamnya."Carlos, ambilkan obat!" teriak Dominique memerintahkan Carlos yang terkesima dengan kejadi
Ramon dan Carlos langsung bersiap akan mengejar. Namun, dihentikan oleh Willy."Kenap? Kau tidak lihat istrimu sedang di culik?" Senggit Carlos kesal melihat tingkah arogan Haiden."Sudahlah berikan mereka waktu. Aku sangat yakin dia tak mungkin menyakiti Dominique seujung rambut pun." Tukas Willy berusaha tenang. Namun, hatinya gelisah."Kau serius Willy, apa tak sebaiknya kau menyuruh pengawal hitammu yang mengikuti." Carlos memberikan saran."Jangan libatkan mereka. Aku takut akan semakin tercium cepat oleh papaku. Kau tahu aku tidak ingin didesak oleh masalahnya." Sahut Willy terlihat gelisah ketika Carlos menyinggung pengawal hitam.Di dalam mobil Haiden. Dominique menggigit bibirnya kesal sendiri tidak bisa mencegah Haiden yang memaksanya untuk ikut."Kau tahu aku hampir gila memikirkanmu. Dua tahun kau menghilang dan tinggal dengan lelaki brengsek tadi. Kau sungguh tak memikirkan perasaanku?" Haiden geram saat dia berkata, Dominique malah memalingkan wajahnya."Tatap aku!" Peri