Alya merasakan perih di bagian pangkal pahanya akibat perbuatan brutal yang Evan lakukan atas dirinya beberapa waktu yang lalu. Cairan bening dari balik kelopak matanya itu terus mengalir membasahi kedua pipinya. Runtuh sudah pertahanan yang Alya miliki dan jaga selama ini. Bahkan, dia dulu sering mendapatkan tawaran untuk bekerja sampingan dengan menjadi simpanan pria hidung belang sejak SMA dan tentunya dia selalu memberikan penolakan karena dia ingin mencari rezeki halal untuknya dan juga adik dan ibunya. Tidak akan ada yang menekan dengan pesona yang akan Alya berikan. Selain dia memiliki tinggi dan body yang lumayan. Kulit putih yang Alya miliki bahkan dengan baik dia menutup dengan pakaian sopan yang selalu membalut tubuhnya. Tapi, kini semua telah sirna. Kehormatan yang selalu ia jaga itu musnah oleh tindakan brutal pria yang bahkan saat ini sudah terlelap dengan begitu mudahnya tepat di samping dirinya. Ya, pria yang telah berhasil menuntaskan hasratnya itu langsung mereb
Setelah merasa jauh lebih segar dari sebelumnya. Evan yang memang sudah sangat kesiangan untuk berangkat ke pabrik yang sama dengan Alya itu segera menggunakan pakaian. Hal yang sama sekali tidak pernah Evan duga sebelumnya. Di atas sofa tunggal panjang yang ada di kamarnya itu sudah tersedia pakaian kerja lengkap untuknya. Evan yang sama sekali tidak pernah menyangka itu pun menautkan kedua alisnya. Tentu saja dia tidak bodoh, jika Alya-lah yang telah menyiapkan pakaian itu pasti untuk dirinya.Tangan besar Evan yang baru saja hendak meraih pintu lemari itu pun terhenti. Menoleh dan melangkah pelan menuju ke sofa di mana pakaian kerja itu sudah disiapkan oleh Alya. Tangannya terulur, mengambil pakaian kerjanya tersebut. Alya yang memang berprofesi sebagai salah satu desainer di pabrik produksi milik keluarganya itu pun begitu piawai memadupadankan pakaian yang sudah beberapa kali disiapkan oleh dirinya untuknya itu.Tanpa sadar, Evan yang tahu hal itu pun menarik ujung bibirnya se
Semalaman, Alya sama sekali tidak mampu memejamkan mata setelah mengalami kejadian yang mungkin tidak akan pernah terlupakan olehnya itu. Alih-alih terus berusaha memejamkan kedua kelopak matanya. Namun cairan bening yang selalu keluar dan membuat dirinya semakin tersiksa oleh tangis yang sangat menyesakkan bagi dirinya. Malam yang semakin beranjak menuju subuh, akhirnya membuat Alya memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur dan menyiapkan sarapan pagi untuk pria yang masih terlelap di kamarnya itu. Alya yang tidak siap untuk berjumpa dengan Evan pun memutuskan untuk meninggalkan apartemen pria itu lebih dulu dengan keadaan sedikit memaksakan diri atas rasa nyeri yang saat ini dirasakan olehnya di area kedua pahanya itu. Namun, siapa yang sangka? Niat untuk tidak berjumpa dengan Evan. Takdir seolah sengaja membuat Alya harus berjumpa dengan pria yang sedang ingin dihindarinya itu. Entah mengapa, Evan yang melihat Alya sedang berbincang dengan Raffi dia merasa tak suka. Padahal,
Alya yang sebelumnya ingin berjumpa dengan salah satu staff yang ada di bagian HRD, karena ingin menyampaikan pesan dari salah satu karyawan yang dikenalnya itu segera meninggalkan lantai satu gedung yang digunakan para staff operasional dalam mengoperasikan pekerjaan yang ada di pabrik tekstil tersebut. Kehadiran Evan yang sama sekali tidak ia duga, karena Alya berpikir jika Evan akan hadir setelah jam makan siang. Namun ternyata dugaannya itu salah. Evan yang datang jauh lebih dulu dari jam makan siang. Saat mendapati pria yang sedang tidak ingin dijumpanya itu, pergi adalah pilihan utama yang Evan lakukan saat itu juga. Langkahnya terlihat sedang terburu, ketika menuju ke lantai tiga di mana ruang kerjanya berada. Kedua matanya pun begitu tampak sangat layu, karena sembab oleh tangis dan Alya yang sama sekali belum memejamkan mata.Sambutan pertama yang Alya dapatkan pun berupa kecemasan yang Vira lakukan sejak pagi-pagi Alya tiba di pabrik lebih dulu dari dirinya. “Al, kamu
Tentu saja Alya terkejut, karena ia pun tidak akan menyangka jika harus berjumpa dengan pria yang tak lain adalah Raffi, tetangga dan juga kini dia yang bekerja di pabrik yang sama dengannya. Alya segera mengerjap, setelah tersadar dari rasa keterkejutan yang terjadi pada dirinya itu. “Eh, iya mas.” Alya memaksakan diri untuk memberikan senyum terbaiknya. Tentu saja ia harus menunjukkan sikap ramah untuk siapa pun yang ia kenal. Raffi yang mendapati kehadiran Alya bersamaan dengan dia yang baru saja hendak keluar dari lift itu pun melangkah. Mendekat pada Alya yang terlihat ragu saat harus bertemu dengan dirinya. “Apa memang bagian kamu sering melakukan lembur?” tanya Raffi saat tiba beberapa langkah di hadapan Alya. Sejenak Alya terdiam, Tentu saja dia tidak ingin salah bicara pada Raffi yang dia tahu dekat dengan Evan, suaminya. “Ehm. Tidak terlalu sering. Hanya saja tadi ada sketsa yang harus Alya nanggung jika harus ditinggal. Jadi, Alya putuskan untuk menyelesaikannya ter
Meski dalam dilema, Alya tidak memiliki pilihan lain selain harus kembali ke apartemen Evan, suaminya. Sebab, beberapa waktu lalu saat Alya mendapati panggilan sang adik yang memberikan kabar jika sang ibu sudah diizinkan untuk kembali ke rumah. Sebab Alya yang belum juga datang dari kemarin ke rumah sakit dan em unggul sang ibu. Bahkan sekalipun menjenguk itu membuat Safa, adik Alya melakukan panggilan demi memastikan keadaan Alya yang baik-baik saja. Alya sangat bahagia mendengar kabar tersebut tentunya. Meski harus melakukan rawat jalan, setidaknya dengan kabar yang dia dapat dari sang adik menunjukkan jika keadaan ibunya baik-baik saja.“Mbak akan ke sana ya, Dek. Kamu tunggu,” ujar Alya sesaat Safa memberikan kabar padanya tadi. “Safa tunggu ya, Mbak.” Akhirnya panggilan yang Safa lakukan itu terputus, setelah salam terucap dari keduanya. Namun, apa yang Alya rencanakan sungguh tidak seperti yang dia inginkan. Karena saat ojek tiba di pinggir jalan menghampiri dirinya. Sebua
Serangan yang begitu brutal yang Evan lakukan terhadap Alya. Bahkan, sama sekali Alya tidak memiliki sedikitpun kesiapan untuk menyambut sikap Evan yang begitu brutal pada dirinya tersebut. Nafas Alya terengah, karena Evan yang sama sekali tidak memberi celah sedikitpun pada Alya. Tangan mungilnya itu berusaha mendorong dada bidang suaminya. Namun, sama sekali tenaga dari badan berpostur tegap di hadapannya itu sama sekali tidak bergeser sedikitpun dari hadapannya. “Shit!” Evan mengumpat kasar, saat merasakan sakit pada bibir bagian atas yang mendapati gigitan dari Alya. Tangan besarnya itu memegang bibirnya yang terasa sakit atas gigitan yang dilakukan oleh Alya pada bibir suaminya itu. Tatapan mata Evan itu pun beralih menatap tajam pada Alya. Jangan tanyakan, bagaimana rasa ketakutan yang saat ini sedang Alya rasakan pada pria yang tengah menatapnya tersebut. “Pak, Bapak sedang mabuk. Biar saya buatkan jahe hangat untuk meredakan mabuk yang saat ini sedang mempengaruhi Anda,”
Malam yang Alya lalui kembali menjadi suram. Sesuram dengan hati dan perasaan yang menyayat dalam dirinya. Perilaku yang dilakukan oleh Evan, suaminya itu sama sekali tidak berperi kemanusiaan. Dan setiap lirih yang Alya lakukan, sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun belas kasih dari suaminya. Bahkan pergerakan yang Evan lakukan begitu brutal. Sama sekali tidak menunjukkan kelembutan atas hubungan suami istri pada umumnya. Seharusnya Evan bisa meminta hak sebagai seorang suami dengan lebih baik kepada Alya. Bukan maksud Alya menolak permintaan Evan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Melainkan, area vital diantara kedua paha yang Alya rasakan masih terasa perih akibat hujaman yang tidak berbelanja kasih yang dilakukan oleh Evan untuknya pertama kalinya. Dan kini, bukan hanya luka fisik di bagian intim yang kembali Alya terima. Melainkan Evan yang tersedia memukul dan menampar Alya yang entah sudah beberapa kali suaminya itu melakukannya. Dan kini, pria yang sudah puas deng