Selesai makan mereka ngobrol beberapa saat, sangat tidak baik ketika habis makan langsung tidur, kecuali Hilda. Hilda selesai makan tanpa ritual sikat gigi sudah pulas di pangkuan ayahnya. Kedua anak perempuannya selalu menempel tak mau lepas dengan Ayahnya. "Kakak, sini sama bunda dulu. Ayah mau ngantar adikmu ke kamarnya," "Tapi, ayah janji temani kakak nanti pas mau tidur. Janji ya, Ayah," pinta Syifa kepada Bang Akram."Iya, Sayang. Nanti ayah temani, sekarang ayah menidurkan adik Hilda dulu ya?" Bang Akram pamit kepada putri kesayangannya. "Ok, Ayah," Syifa mengajungkan jempolnya kepada Bang Akram. Selesai dengan urusan Hilda, sekarang tinggal urusan Syifa. Inilah suamiku yang aku kenal selama ini. "Sayang, nggak usah dicuci biar besok pagi saja sama bibi, yang penting sudah diletakan semua disitu, Daffa kelihatannya sudah ngantuk banget kasihan kalau nggak ditemani," ucap Ibu. "Daffa, tunggu bunda sebentar ya. Tinggal dikit cuci piringnya, tanggung," "Cepetan, Bunda. Ngan
"Siapa yang mau ikut Grandpa mancing di kolam belakang? Boleh pegang pancing sendiri-sendiri loh," ucap Papa semangat tanpa menoleh ke Syifa sembari menuju ke tempat penyimpanan pancing. Syifa anaknya sangat peka, jika pandangan ke arah Syifa jelas tau kalau itu tujuannya biar lepas dari Ayahnya. "Pa ... Pa ... ," teriak Hilda yang ada di gendongan Grandma heboh. "Adek paling heboh, Kak. Coba liat, mana bisa kamu, Dek," Daffa mendekat Hilda dan menciumnya dengan gemas. Daffa berlari mengikuti Grandpa. "Kak, Grandpa punya pancing banyak!" ujar Daffa dengan semangat. "Dek, kakak mau juga," Syifa melepaskan genggaman dari tangan ayahnya mengejar adiknya yang sudah bersama Grandpa menuju kolam belakangan. Bang Akram mengikuti mereka begitu juga denganku. Bang Akram dari dulu tak pernah pergi sembunyi-sembunyi selalu pamit dengan anak-anak. Beginilah sosok suamiku yang ku kenal, mungkin karena di rumah Papa jadi kebiasaan dulu dijalani kembali harus menjaga image. Kedua anakku sudah he
Ya Allah, sebaiknya aku harus bagaimana? Mending aku sendiri yang cerita atau Papa yang cari tau sendiri?"Nda ... Huaaaa ... Nda!" terdengar suara tangis Hilda memanggil bundanya. "Pa, Hida bangun. Aku ke kamar dulu, Pa, Ma" tangisan Hilda membuatku bernafas lega terhindar dari rentetan pertanyaan dari orang tua. Aku tau tidak selamanya aku mampu menyembunyikan ini semua terlebih lagi Syifa sekarang ini sering bertingkah membuat pertunjukan drama jadi sangat mudah di tebak kalau kami sedang tidak baik-baik saja. Aku menghampiri Hilda mengelus-elus lembut punggungnya hingga dia tertidur kembali, sampai aku sendiri tak terlelap, terbangun saat menjelang subuh. Alhamdulillah aku bisa tidur dengan pulas. Aku melepaskan pelukan dari Hilda untuk mandi dan sholat subuh. "Bunda, kita sholat bareng yuk," suara Syifa muncul dari balik pintu kamar. Aku meletakan jari telunjuk di depan mulutku sebagai isyarat agar suara tidak boleh kencang, adiknya masih tidur. Dia paham kode yang aku beri.
Hening ... tet tot ... zonkArtinya mau tak mau aku akan bercerita dengan Mama. "Mama, maaf ... aku takut kalau Mama menertawakan keputusanku," Fitri kembali terisak karena merasa telah menyakiti hati Mamanya. "Sayang, walaupun Mama marah tapi kamu tetap punya hak dalam mengambil keputusan. Ceritakan!""Ma ... Bang Akram sudah menikah lagi, Fitri sekarang punya adik madu, Ma," ucapku perlahan. "Astaghfirullah, pantas saja dia nggak bisa ikut menginap. Jadi sekarang dia lagi pulang kerumah adik madumu?" tanya Mama, aku jawab dengan anggukan. "Ma, Bang Akram menyembunyikan status barunya dari kami semua, baru terbongkar Minggu kemarin. Bang Akram menikah lagi sudah 3 bulan. Bang Akram membohongi kami semua, Bapak dan Ibu juga tidak di beri tau. Bapak marah besar sama Bang Akram," aku mulai bercerita."Lalu apa yang akan kamu lakukan? Pahala menanti kalian jika cara kalian menjalaninya benar. Jika nantinya justru banyak mudharatnya/keburukan justru kalian ada dalam kubangan dosa," uc
"Papa!" ucap Mama dan aku bersamaan. "Papa, anak-anak dimana?" aku mengalihkan fokus Papa. "Mereka masih asyik main, papa sudah lelah. Tenaga Papa sudah nggak kaya dulu lagi, rencana apa, Sayang? Kenapa Kakak nggak boleh tau," tanya Papa. "Nanti Mama akan cerita, biar Fitri bangunkan Hilda dulu," aku lega dengan ucapan Mama. Selesai memandikan Hilda semua anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan. "Kak Farid!" aku kaget tadi sebelum membangunkan Hilda Kak Farid belum berada di rumah. "Kenapa kaget? Ketemu kakak harusnya salam, atau menyapa ini malah teriak, nggak sesuai dengan kenyataan kamu sudah punya anak 3, harusnya anggun lah," ucap Kak Farid tersenyum jail. "Kak, aku itu wanita anggun, cantik, cerdas dan bersahaja," ucapku kesal sambil mendudukkan Hilda di kursi khususnya biar nggak kabur saat disuapi. Aku duduk di hadapan Kak Farid. Syifa sudah berada di samping Kak Farid. "Kalian ini, malu lah sama yang kecil-kecil, mereka saja diam malah kalian yang heboh," seper
Aku menoleh ke arah suara yang tak jauh dari posisiku "Sayang, yang sakit mana?" Aku membantu Daffa untuk berdiri."Daffa, jagoan uncle nggak apa kan?" tanya Kak Farid."Daffa nggak apa, Bunda, Uncle, Ayah. Daffa tadi penasaran kenapa Bunda ad-" Aku langsung membungkam ucapan Daffa dengan menyuapkan jeruk yang berada di tanganku. Tadinya aku sedang menyiapkan buah untuk Hilda tapi penasaran dengan obrolan Kakak dan Bang Akram. "Manis ya, Kak?""Manis, Bun. Mau lagi," aman Daffa tak melanjutkan kalimatnya. "Ini, sekalian kamu bagi sama Hilda ya!" pintaku pada Daffa. "Siap, Bunda. Terus bunda mau lanjut mengin-" "Daffa, buruan. Adikmu sedang menunggu," ah ... beginilah jadinya kalau ketahuan sama anak jelas polos dan jujur. Aku melihat Bang Akram dan Kak Daffa yang sudah terbahak. "Kalian, nggak lucu!" Aku berjalan duduk di sofa tempat mereka ngobrol tadi. Mereka menyusul duduk di dekatku. Belum lama duduk sudah terdengar bunyi ponsel Bang Akram. Aku melirik kearah Kak Farid."Bang,
Di ponselku tertera notifikasi pesan masuk yang dikirim aku sendiri dari hp suamiku. Debaran jantung berdetak lebih kencang, aku beranjak mencuci muka terlebih dahulu untuk mengurangi kegugupanku. Aku memencet nomor yang sudah aku kasih nama 'Indah Maduku' nama yang pas kan? "Assalamualaikum, Dek. Ini Nomor Fitri, Kakak barumu," aku menyapa terlebih dan mengenalkan bahwa nomor ini adalah Kakak madunya. "Wa'alaikumussallam, Mba Fitri, nanti aku save nomornya. Apa kabarnya, Mba. Aku telpon Mas Akram kok nggak diangkat ya?""Kebetulan sekali kamu menanyakan itu, Dek. Bisakah kita ketemu hari ini. Nanti jam 10.30 pas menjelang makan siang aku tunggu di kafe dekat rumahmu," ucapku sangat lembut. "Boleh deh, memang Mba Fitri tau tempat saya tinggal?""Daerah situ tempatku nongkrong bareng teman-teman dulu semasa kuliah, aku tunggu di Kafe Syakir ya. InsyaAllah pukul 10.30 aku sudah disana. Ini lagi siap-siap,""Ya, Mba. Aku tunggu di sana. Apakah Mba Fitri bawa anak-anak?""Tidak, biar m
Aku tersenyum kepada pelayan "Terimakasih, Mba," "Maaf, Bu? Apakah masih ada yang kurang?""Sudah cukup, Terimakasih,""Sama-sama, Ibu. Semoga puas dengan hidangan kami," ucap pelayan ramah. "Silahkan dimakan, Dek. Mumpung masih anget, nanti kita lanjutkan lagi obrolannya," bukankah tak baik berdebat dihadapan makanan?Selesai makan jam menujukan pukul 11, mereka meminta pelayan untuk membereskan meja. "Bagaimana kamu sepakat dengan pernyataan tadi? Aku tak akan mengusik kamu saat bersama suamimu. Dan kamu jangan mengusikku saat Bang Akram sedang bersama keluargaku. Tidak telpon atau wa jika tidak urgent, kalau kamu mau hubunganmu dengan Bang Akram langgeng, bukan karena aku mengancam, tapi aku hanya mengingatkan, beliau orang yang paling nggak suka di usik dan merasa tidak dipercaya,""Tapi, Mba. Kalau aku tak menghubungi nanti Mas Akram tidak mengingatku bagaimana?" ucapan Indah lebih mirip anak kecil."Kamu tidak percaya diri sekali, padahal dulu kamu yang meragukan aku. Kenapa