"Mas, jawab! Mas, mau kemana?" Indah sangat khawatir melihat suaminya tampak begitu tegang. "Mas, jangan bilang kalau lagi mengkhawatirkan keluarga mu yang lain. Mas!"Akram memasang helmnya dan berniat mengancingkan tidak bisa-bisa akibat tangannya gemetar. "Mas, ada apa? Mas!" Indah terus bertanya. "Syifa, di rumah sakit. Aku harus kesana," jawab Akram masih dengan raut sangat panik. "Nggak bisa begitu, Mas. Kemarin sewaktu kamu di rumah Fitri, Lulu juga demam. Kamu tidak panik seperti ini? Kamu pilih kasih, Mas!" "Indah, Lulu itu demam bukan aku penyebabnya. Sementara Syifa demam kali ini akulah penyebabnya, aku yang egois tadi sore sewaktu di sana aku mengabaikannya! Aku muak berdebat terus. Terima tidak terima maka, kamu harus menerima! Aku tidak mungkin terus menurutimu untuk mengabaikan anak-anakku. Siapa yang tidak membolehkan aku menyapa mereka? Siapa yang terus memberikan tatapan tajam pada Syifa sehingga dia mau mengalah? Dia anak kecil Indah. Kamu ancam dengan tatapan
Perlakuan Akram saat ini bukan hanya karena permintaan Syifa. Tapi memang bener-bener hati nuraninya begitu mencintai dan menyayangi anaknya. Akram sangat merasa sangat bersalah."Sayang, bukalah matanya. Ayah tidak akan pergi, ayah akan tetap disini untuk gadis kecil ayah," ucap Akram sambil terisak. Merasa menjadi ayah yang tidak punya hati. "Sayang, bukalah sekarang kamu bukan lagi bermimpi. Ini kenyataan, ayah minta cepatlah sembuh. Biar bisa bermain bersama kembali," ucap Akram. "Ayah, jika kondisi Kakak saat ini membuat Ayah selalu berada di sampingku maka aku rela, seperti ini terus. Ini hanya demam, kepalanya hanya sakit. Minum parasetamol sudah sembuh, tapi kalau ini yang sakit, rasanya ...," ucap Syifa sambil memegang dadanya disertai derai air mata. Baru kali ini anak gadisnya mengungkapkan apa yang dia rasakan. "Ayah, andaikan membenci Ayah dibolehkan sama Allah maka aku sudah membencimu, tapi Allah memerintahkan agar seorang anak itu taat," celoteh Syifa yang di paksa
"Astagfirullah, Akram. Sebenarnya aku paling tidak tega dengan tangisan anak kecil. Apalagi dia adalah keponakanku sendiri. Tapi, aku membenci diriku sendiri yang tidak bisa membuatmu babak belur mengingat, Syifa sangat menyayangimu. Tidak mungkin aku menambah kesedihan dia," ucap Farid lirih menahan kesal sekaligus takut terdengar mereka yang sedang terlelap. "Maaf, ... ," "Andai kata maaf bisa mengobati hati mereka, tentu aku dengan senang hati. Aku tidak mungkin diam melihat penderitaan mereka. Akram, ceraikan Fitri!" ucap Farid tegas. Mendengar kata kakak dari istrinya seakan hancur dunia Akram. Dia tertunduk dengan nafas berat dan mata memerah, bukan marah dia memang pantas mendapat ancaman dari Farid. "Kak, aku mohon jangan menyuruh kami berpisah. Aku akan perbaiki semua, aku akan membuat Indah tidak berbuat macam-macam dengan Fitri dan anak-anak. Dia memang keterlaluan, aku melihat sendiri bagaimana Indah mengintimidasi Syifa sore tadi," suara Akram bergetar. "Haha ... kasi
"Ayah mau kemana buka pintu?" ucap Syifa lemah khas seorang anak baru bangun tidur. "Kakak, sudah bangun, Sayang?" jawab Akram gugup dengan pertanyaan balik, dia takut pertengkaran keduanya terdengar anaknya. "Tapi bukan mau meninggalkan kakak lagi kan?" tanya Syifa dengan merengek ketakutan. Seketika tercipta keheningan, Fitri tidak mau mengecewakan anaknya. "Kakak, setelah tiga hari di rumah sakit apa kamu tidak jenuh? Bagaimana kalau kita ke taman bermain sebentar?" ucap Fitri. "Benarkah, Bunda? Sama ayah kan?" tanya Syifa dengan berbinar. Dia mendambakan bermain bersama ayah bundanya. Selama beberapa bulan ini kegiatan yang seharusnya menyenangkan selalu mendapat gangguan. "Tentu, Sayang. Ayah siap menemani Kakak hari ini, kemanapun kamu mau," jawab Akram tanpa memperdulikan lirikan istrinya yang terlihat sangat kesal. "Hore ... alhamdulillah," ucap Syifa sembari bertepuk tangan."Tapi kakak janji ya, kita di sana hanya melihat teman-teman bermain," ujar Akram."Siap, Ayah
"Sayang, pulang yuk!" "Bunda, sebentar lagi ya. Masih pengin main bersama Ayah Bunda. Kakak di foto coba, Bun. Ayah, ayah di belakang Syifa," ucap Syifa senang. "Siap, Tuan Putri. Bentar, jilbabnya bunda benerin dulu," tanganku merapikan jilbab instan anakku."Nah, sudah cantik. Bersiap ya?" Aku mundur beberapa langkah untuk membidik gambar terbaik mereka. Aku tersenyum puas melihat pemandangan di depanku. Bunda janji akan mengembalikan senyum terbaik kalian seperti ini kedepannya. "Bunda, lagi Bun!" teriakan Syifa membuyarkan lamunanku. "Iya, Sayang. Abang sekarang peluk kakak!" Bang Akram mengikuti arahan ku. "Nah benar begitu, bagus!" aku mengacungkan jempol."Kakak mau lihat, Bun. Bagaimana hasilnya?"""Eits ... tunggu dulu. Bunda masih mau foto kakak, sekarang posisi Ayah yang di ayunan, lalu kakak yang mengayun,""Siap, Bunda. Ayah duduk," aku melihat Bang Akram begitu penurut. Jarang-jarang dia mau foto. "Kalian pasangan ayah dan anak yang sangat serasi," Bang Akram dan S
Setelah berhenti sejenak di Toko Kue langganan istriku, kami bergegas pulang. Netraku mencari keberadaan seorang wanita yang belum lama masuk kehidupan kami, lebih tepatnya aku yang membawanya masuk di kehidupan kami. Tidak ingin merusak mood istri pertamaku maka, aku memilih diam tidak menanyakannya kepada siapapun. Aku fokus kebahagiaan anak-anak saat ini. "Bang, kenapa bengong. Ada yang kamu pikirkan? Atau penasaran dengan sesuatu?" tanya Fitri."Tidak, Sayang. Aku hanya terharu dengan kebersamaan keluarga ini. Papa mama, ayah ibu begitu peduli dengan anak-anak kita. Lihat mereka, betapa bahagianya menyambut cucu pertamanya," ucapku menutupi apa yang aku pikirkan. "Yakin, Bang? Aku rasa bukan itu, wanita itu suka benar ketika menebak suatu perasaan," ucap istriku dalam hatiku membenarkan. "Sayang, kamu mau minum apa? Biar kali ini Abang yang buatkan,""Kalau itu gampang, tinggal minta tolong Bibi untuk membuat. Tugas Abang buat mereka bahagia," ucap Fitri sambil menunjuk buah ha
Akram setengah telanjang beranjak dari ranjang meraih ponsel keduanya yang berbunyi bergantian. Dia tersenyum kecut melihat siapa yang menghubungi mereka, tanpa berfikir panjang lekas di matikannya. Sebenarnya mood Fitri rusak dengan adanya dering tersebut, namun dia harus bertahan demi mempertahankan kebahagiaan anak-anaknya. Tidak akan di tunjukan rasa kecewanya ketika sedang bercinta. Tekadnya membuat suaminya semakin kecanduan dan tidak akan ada wanita lain yang bisa memenuhi hasrat dan cintanya. Dengan senyum terbaik Akram menoleh kearah istrinya, tidak bisa di bayangkan jika istri yang menerima bakalan gagal kegiatan panas mereka, keputusannya sudah sangat tepat. Dengan tatapan mesum Akram kembali, pikirnya dering telpon jelas sudah merusak mood istrinya. Dengan sigap kini Akram yang mengendalikan permainannya. Aku tatap matanya yang kecoklatan, pandanganku terpaku pada bibir ranum yang tadi sudah bekerja melumat asetku. Aku raih dagunya sehingga bibir ini menempel dan dengan
"Maaf ya, belum di persilahkan masuk Mama sudah masuk," ucap Mama. "Akram, kamu sudah siap. Ingat ya, Mama ingin lontong sayur yang itu, kamu paham kan tempatnya? Sama kue di tempat biasa, untuk lontong sayurnya kalau tidak berangkat jam segini nanti nggak dapat. Ingat, jangan sampai kamu nggak dapat!" ucap Mama serius, aku sampai bingung mencerna kalimatnya. Lontong sayur, kue? Dimana belinya? Kapan aku tau tempat itu? "Mah, Abang belum sholat subuh," "Fitri, suami kamu sekalian subuh di Masjid dulu. Benar kan, Akram?" "Iya, Mah. Sayang, Abang berangkat dulu. Mah, Akram pamit," "Hati-hati, Akram," jawab Mama. "Sebentar, Bang. Biar Fitri antar kedepan," "Eits, nggak perlu di antar. Mama tau kamu habis capek, keringkan saja dulu rambutnya biar tidak masuk angin," ucap Mama membuat wajah istriku memerah. Aku bergegas keluar menemui Indah yang duduk di teras. "Mas, kamu tega!" ucap Indah sambil menubruk tubuhku. "Indah, aku ambil motor dulu. Bicaranya di luar," aku urai pelukan