Malam itu Ainun benar-benar pergi. Dengan menaiki sebuah taksi, perempuan itu meninggalkan rumah, disaksikan seluruh kekuatan besarku. Tak dihiraukannya isak tangis Mama yang memintanya untuk tidak pergi. Tampaknya dia ingin aku sendiri yang membujuknya, bukan orang lain. Tapi dia harus kecewa kali ini karena aku tidak akan mengabulkan keinginannya itu.
Terus terang aku terganggu dengan tangisan Mama yang tak mau berhenti setelah kepergian Ainun. Apa bagusnya perempuan itu sampai Mama terlihat begitu sedih. Berulang kali aku membuang nafas kasar karena merasa kesal.Setelah drama yang cukup membuatku jengah, akhirnya seluruh keluarga besarku bubar dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya Mama dan Papa yang masih tinggal dan terlihat masih ingin membicarakan sesuatu denganku."Kenapa tidak kamu hentikan Ainun, Arkan? Kemana dia mau pergi malam-malam begini? Benar-benar tega kamu! Di mana hati nuranimu?" Mama mulai mencercaku lagi dengan kata-kata yang selama ini tak pernah terlontar dari mulutnya.Aku bergeming. Tak berniat menanggapi kata-kata Mama. Biar saja jika Mama mau memakiku sepuasnya. Aku tidak akan mengajak Ainun untuk kembali ke rumah ini. Tidak akan pernah!"Sudahlah, Ma. Ainun pasti kembali ke rumah kedua orang tuanya. Dia tidak akan pergi tanpa tempat tujuan." Papa berusaha menenangkan Mama.Mama masih terisak. "Biarkan Ainun menenangkan pikirannya dulu, setelah itu, baru kita jemput dia sama-sama," tambah Papa lagi."Ainun tidak akan kembali ke rumah ini!" tegasku pada Mama dan Papa."Dia sendiri yang ingin pergi, jangan harap aku akan menjemputnya. Bahkan jika dia kembali atas kemauannya sendiri pun aku tidak akan pernah menerimanya. Titik!"Plak!!! Sebuah tamparan yang sangat keras melayang ke pipiku. Terasa pedih dan juga panas. Sontak aku terkejut dan menatap sosok yang telah menamparku tadi. Mama, seseorang yang selama ini paling peduli padaku. Aku menatapnya nanar. Dibandingkan wajahku, hatiku rasanya jauh lebih sakit. Orang yang paling menyayangiku ini tak segan melayangkan tamparan padaku demi membela Ainun, perempuan yang telah membuat hidupku terasa seperti di neraka.Aku tertawa sumbang. Lalu kembali melihat kearah Mama dan Papa secara bergantian dengan penuh ironi."Sepeduli itukah kalian pada Ainun sampai-sampai memperlakukan ku seperti ini?" tanyaku sembari menahan amarah."Jika Ainun itu istri orang lain, tentu kami tidak akan peduli padanya, Arkan. Tapi dia istrimu, tanggung jawabmu. Dosa besar jika sampai kamu menelantarkan istri dan anakmu. Tentu saja sebagai orang tua, kami punya kewajiban untuk mengingatkanmu," jelas Papa."Tapi bayi yang dilahirkan Ainun belum tentu anakku. Makanya aku ingin melakukan tes DNA.""Ini bukan masalah keinginanmu untuk melakukan tes DNA, tapi tentang perlakuanmu pada Ainun selama ini. Kamu tidak pernah memperlakukannya selayaknya seorang istri. Kamu terus menyakitinya dengan kata-kata yang tidak pantas. Papa kecewa padamu, Arkan. Kamu bukan seperti Arkan yang Papa kenal selama ini. Bagaimana kamu bisa berubah suka menyakiti orang lain, terlebih itu istrimu sendiri."Aku kembali tertawa sumbang mendengar penuturan Papa. Lihatlah, sekali lagi semuanya salahku. Aku berubah katanya. Sekarang aku ini lelaki kejam yang zolim terhadap istrinya sendiri. Tidakkah seharusnya mereka lebih peduli pada penyebab perubahanku itu?"Mama dan Papa begitu khawatir hati Ainun terluka, tidakkah kalian peduli bagaimana hati anak kalian sendiri? Tahukah kalian apa yang aku rasakan semenjak menikahi Ainun? Mama Papa pikir aku suka hidup dengan penuh kebencian seperti ini?"Mama dan Papa terdiam."Sekarang aku tidak peduli lagi bahkan jika kalian menganggapku anak durhaka sekalipun. Sudah cukup aku menuruti keinginan kalian untuk menikahi Ainun dulu, sekarang aku hanya akan melakukan apa yang ingin aku lakukan saja." "Arkan?" Mama menggelengkan kepalanya, seakan tak percaya dengan apa yang barusan kuucapkan."Jika Mama dan Papa ingin menjemput Ainun, silahkan. Tapi jangan libatkan aku lagi. Tidak masalah jika aku disebut sebagai lelaki tak bertanggung jawab. Aku sudah lelah." Aku beranjak meninggalkan Mama dan Papa yang masih termangu mendengar penuturanku.Kulangkahkan kakiku menuju kamar, lalu masuk dan menutup pintu kamar dengan agak kasar hingga terdengar suara yang cukup keras. Tak peduli bagaimana reaksi Mama dan Papa atas kekurang-ajaranku itu. Kuhempaskan tubuhku ke atas tempat tidur, dan kupejamkan mataku dengan paksa.Aku lelah. Benar-benar lelah. Bukan hanya tubuhku, tapi hatiku juga lelah. Hidup bersama Ainun sungguh menguras emosi, tenaga dan pikiranku, hingga kini rasanya kini aku sangat kepayahan. Di saat-saat terlemahku seperti sekarang ini, ingatanku kembali tertuju pada Reina, gadis yang telah aku lukai dengan begitu dalam. Terbayang lagi di kepalaku bagaimana wajah sendunya saat seluruh keluargaku mendesakku untuk segera menikahi Ainun yang mengaku hamil anakku."Pergilah, Mas Arkan. Jika anak yang di kandungnya memang anakmu, kamu harus bertanggung jawab," ujarnya kala itu dengan berurai airmata.Aku tahu hatinya pasti sangat hancur. Di dalam benaknya aku tak ubah lelaki berengsek yang sudah mengkhianati kesetiaannya dengan menghamili perempuan lain."Menikahlah dengan Ainun, dia membutuhkanmu. Anggap saja kita tidak jodoh." Reina tersedu-sedu saat mengatakan itu. Aku tak bisa melakukan apa-apa selain hanya memandang kearah gadis yang paling aku cintai itu. Dia terluka, dan aku bahkan tak bisa memeluk atau sekedar mengusap bahunya. Setelah semua pengorbanan dan perjuangan selama tiga tahun lamanya, akhirnya hanya rasa sakit yang ia dapatkan. Maafkan aku, Reina. Aku benci melihat airmatamu yang terus mengalir tanpa bisa aku seka. Aku benci dengan keadaan yang memaksaku untuk meninggalkanmu. Aku benci dengan kedatangan Ainun yang mengacaukan kebahagiaan kita. Tidak, yang paling kubenci adalah diriku sendiri yang tak berdaya menghadapi semua ini.Sejak saat itu entah kenapa aku jadi membenci semuanya.Tiga hari sudah Ainun pergi. Jelas ada yang aku rasakan sejak kepergian perempuan itu. Hening, suasana itulah yang mendominasi setiap sudut rumah. Hanya ada suara Bik Minah, asisten rumah tangga, yang terkadang bertanya tentang beberapa hal. Perempuan paruh baya yang bekerja sejak aku menikah dengan Ainun itu tampak sedikit kesulitan mengerjakan pekerjaannya sejak Ainun tidak ada. Banyak benda yang Bik Minah tidak tahu di mana letaknya hingga aku sedikit kesal dibuatnya. Memangnya apa saja kerjanya selama ini jika sedikit-sedikit bilang Ainun yang biasanya mengurus ini dan itu.Kupandangi sekeliling rumah dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Rumah ini adalah hasil kerja kerasku. Awalnya aku mempersiapkan rumah ini untuk kutinggali bersama Reina selepas kami menikah. Tapi kemudian, aku justru menikah dengan Ainun dan tinggal di rumah ini bersama perempuan itu.Sejak awal pindah kesini, rasanya sudah seperti berada di neraka. Dadaku seringkali terasa sesak karena harus tinggal satu a
Hari demi hari terlewati, dan Ainun benar-benar tak kembali. Aku menikmati kesendirianku tanpa berusaha untuk keluar dari rasa sepi.Beberapa kali tanpa sadar aku masuk ke kamar yang dulu ditempati Ainun. Biasanya hal itu kulakukan saat mataku tak kunjung terpejam, sedangkan malam semakin larut. Tak jarang aku justru tertidur di sana dan baru tersadar dengan hal konyol yang telah kulakukan saat pagi telah tiba. Entah apa yang mendasari ku melakukan hal itu. Rindukah aku pada Ainun? Aku langsung membuang jauh-jauh pertanyaan itu tanpa berniat mencari tahu kebenaran atas isi hatiku sendiri.Semakin hari, aku semakin tak banyak berbicara. Aku lebih suka diam dan menenggelamkan diri ke dalam duniaku sendiri. Hampir seluruh waktuku kuhabiskan untuk bekerja. Secara bersamaan, beberapa rekan sesama pengacara berencana untuk mendirikan firma hukum dan mengajak ku untuk bergabung. Akupun setuju bergabung bersama mereka dan memulai perjuangan baru kami. Kesibukanku itu cukup membuat rasa kesepi
"Ini salah Mama. Harusnya Mama tidak terlalu banyak bicara sama Ainun. Harusnya Mama tidak mengatakan ini dan itu ... hiks ... hiks ...." Mama masih menangis terisak di sampingku.Aku melirik Mama sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Pagi ini terpaksa aku tidak pergi bekerja karena kedatangan Mama yang tak terduga. Mama tampak masih sangat emosional sejak datang ke rumah tadi, hingga akhirnya aku pun menuruti keinginan Mama untuk mencari Ainun, meski aku sendiri tidak tahu mesti mencari kemana. Tujuan pertamaku saat ini adalah mendatangi kediaman kedua orang tua Ainun untuk mencari tahu siapa saja teman yang akrab dengannya. Jika menemui teman-temannya, siapa tahu salah satu dari mereka ada yang punya informasi tentang Ainun.Memang tidak banyak yang kuketahui tentang Ainun, selain siapa kedua orang tuanya dan di mana mereka tinggal. Selama hidup satu atap, aku tak pernah mempedulikannya. Bahkan berbicara padanya pun hanya sesekali, itupun seringkali pembicaraan yang kurang mengenaka
Setelah tak mendapatkan informasi apa-apa dari ibunya Ainun, aku pun akhirnya mengajak Mama untuk kembali menemui pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Mungkin saja di sana aku bisa mendapatkan sedikit petunjuk.Dengan dipandu oleh Mama, aku melajukan mobil menuju tempat tersebut.Mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan sederhana, atau lebih tepatnya sebuah warung makan. Menurut Mama, itu adalah warung makan milik Bu Ratna, perempuan paruh baya yang juga pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Kami langsung turun dan masuk ke dalam warung makan tersebut."Maaf, Dek. Bu Ratnanya ada?" tanya Mama pada salah seorang pelayan warung makan tersebut.Pelayan tersebut terdiam sesaat. Mungkin dia agak bingung karena kami datang bukan untuk memesan makanan."Saya kenalan Bu Ratna, datang kemari karena ada perlu. Tadi pagi saya ke rumahnya, tapi beliau buru-buru karena mau ke warung katanya," ujar Mama lagi menambahkan."Oh ...." Pelayan warung itu mengangguk menger
Setelah puas mendengarkan cerita tentang Ainun dari Bu Ratna, aku dan Mama akhirnya pamit undur diri. Tak lupa kutinggalkan nomor kontakku pada Bu Ratna, agar beliau bisa segera memberitahuku jika seandainya Ainun menghubungi menggunakan nomor kontaknya yang baru.Bu Ratna ikut mengantar kami sampai ke dekat warung makannya, tempat mobilku terparkir. Karena hari sudah mulai siang, kuputuskan untuk mengantarkan Mama pulang dulu karena aku juga masih harus pergi ke kantor. Setelah itu, baru aku pikirkan lagi caranya untuk menemukan keberadaan Ainun."Jalan kemana lagi kita?" tanya Mama sambil menoleh kearahku."Aku antar Mama pulang dulu, setelah itu aku mau ke kantor," jawabku sambil fokus menyetir."Istri dan anakmu menghilang, bisa-bisanya kamu masih memikirkan pekerjaan? Ternyata selain tidak punya otak, kamu juga tidak punya hati, ya?" Mama melotot ke arahku dengan nafas yang agak memburu.Aku membuang nafas kasar. Sejak Ainun pergi malam itu, Mama terus saja mengucapkan kata-kata
Aku terdiam mendengar kata-kata Papa. Meski ingin kembali ingin menyangkal, tapi jauh di dasar hatiku, aku membenarkan semua itu. Aku curiga jika Farhan bukan anakku, tapi tak melakukan apapun untuk mencari kebenarannya. Yang kulakukan hanyalah terus bersikap buruk pada Ainun untuk membuat perempuan itu ikut merasakan penderitaan yang aku rasakan. Bagaimana pun, dialah yang telah membuatku harus kehilangan gadis yang sangat kucintai. Itulah yang ada dalam benakku selama ini.Benar kata Papa, aku benar-benar pengecut. Aku takut jika sebenarnya Ainun tak pernah menipuku dan aku menjadi satu-satunya orang jahat di sini. Aku takut mendapati kenyataan jika aku sungguh telah mengkhianati Reina dengan menghamili Ainun."Sudahlah, Pa." Terdengar Mama kembali menenangkan Papa. Terlihat Papa menghela nafas panjang, berusaha meredam amarahnya. Wajah Papa masih terlihat mengeras, tapi tak semurka sebelumnya."Apa menurutmu cuma kamu saja yang rugi saat menikahi Ainun, Arkan? Kamu tidak berpikir ji
POV AINUNSetiap pagi, inilah rutinitas yang selalu aku lakukan. Bangun subuh, kemudian langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan yang akan disantap seluruh penghuni rumah, tentunya setelah aku menunaikan sholat subuh.Kuletakkan sebakul penuh nasi goreng yang kumasak barusan ke atas meja makan, lalu membungkus jatahku dengan menggunakan koran bekas yang dialasi dengan daun pisang. Kumasukkan nasi goreng yang menjadi bekalku hari ini ke dalam tas kerja. Kemudian bergegas aku mandi sebelum kedua adikku mendahului. Sudah menjadi kebiasaanku merangkap sarapan pagi dan makan siang menjadi sekali makan. Bukan tanpa alasan, itu semua agar aku bisa menghemat pengeluaran.Ayahku hanyalah pekerja serabutan, dan ibu membantu dengan menjadi buruh cuci untuk beberapa tetangga yang ekonominya jauh lebih baik. Penghasilan orang tuaku itu kadang hanya cukup untuk membiayai sekolah kedua adikku, hingga untuk makan sehari-hari lebih sering aku yang menanggungnya dari gajiku sebagai petugas kebe
POV AINUN"Lagi makan siang, ya?" tanya Pak Arkan saat kami-para petugas kebersihan-sedang makan siang di pantry kantor."Iya, Pak. Bapak perlu sesuatu?" Nafis balik bertanya."Tidak, kok. Tadi waktu pulang meeting dengan klien, kebetulan beli ini. Dimakan sama-sama, ya. Jangan lupa kasih security di depan juga." Pak Arkan meletakkan dua kotak makanan berukuran besar di meja pantry, kemudian berlalu begitu saja."Terima kasih, Pak." Nafis masih sempat mengucapkan terimakasih, diikuti oleh rekan kerjaku yang lain. Pak Arkan hanya menanggapi dengan sedikit melambaikan tangannya sambil terus melangkah meninggalkan pantry. Saat Pak Arkan benar-benar sudah tak terlihat, rekan-rekan kerjaku berhamburan mengerubuti kotak makanan pemberian Pak Arkan tadi."Widih ... ayam goreng krispi, masih hangat lagi," ujar Nafis dengan bersemangat."Tahu banget Pak Arkan kalau aku makan siang cuma sama sambal tempe doang." Bang Ramli terkekeh sambil mencomot sepotong ayam goreng krispi pemberian Pak Arka