Diantara keramaian yang meriah, Floryn tertunduk terjebak dengan kesepian dan takut yang mencekiknya. Disetiap tarikan napasnya, dia hanya bisa merapalkan do’a agar Emier tidak menghampirinya dan mempermalukannya. Floryn tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi bila hal itu terjadi. Menit demi menit dia lalui dengan perasaan yang tidak menentu, menatap lantai dengan pandangan mengabur. Sangat sesak, Floryn tidak tahan ingin segera pergi namun ada tanggung jawab yang menahannya untuk tetap di tempat. “Flo, Anda terlihat pucat,” ucap seorang perawat yang ikut menjaga. Wajah Floryn terangkat, tatapan matanya sendu menahan tangisan namun bibirnya dia paksakan untuk tersenyum. “Saya hanya sedikit tidak enak badan,” jawabnya dengan suara yang terdengar serak karena telah banyak menangis. Senyuman Floryn kembali menghilang begitu tanpa sengaja dia melihat Alfred yang memperhatikannya dari kejauhan seolah tengah mengawasi. Betapa memalukannya pria itu, bagaimana bisa matany
Alfred berlari dengan cepat melewati satu persatu anak tangga yang sempit menuju lantai tiga, dia harus menahan Floryn agar tidak bertemu dengan ayahnya. Sayangnya, begitu pintu darurat terbuka, dia melihat Piper baru keluar dari kamar Nara. “Dimana Flo?” tanya Alfred degan napas tersenggal.Piper tersenyum sopan menutupi rasa penasarannya. “Flo sudah saya suruh pulang, saya yang mengantar nona Nara ke kamar. Mungkin, sekarang dia pergi mess untuk mengambil tasnya.”Alfred membuang napasnya dengan kasar, pria itu memaki di dalam hati, memarahi dirinya sendiri yang telah gagal menemukan Floryn.“Ada apa Tuan Muda? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Piper berhati-hati.“Siapa yang bertanggung jawab ballroom? Dia membawa handpone?”Masih dengan senyuman tiga jarinya, Piper menjawab, “Alexan yang berjaga disana. Tentu saja Tuan, pasti dia membawa_”“Hubungi dia sekarang! Aku ingin berbicara!” sela Alfred dengan tidak sabaran.Tanpa bertanya apapun, Piper langsung menghubungi Alexan yang d
Lorong panjang berpilar tinggi Alfred lewati, dia terus berjalan tidak berhenti mencari meski sudah hampir sepuluh menit lamanya dia meninggalkan ballroom.Derap langkah terdengar dari arah berlawanan, Alfred menarik napasnya dalam-dalam dengan tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, Alfred menahan tindakan bar-bar yang sangat ingin menghajar wajah Emier begitu dia melihatnya keluar dari belokan arah taman.Emier menurunkan handponenya, dengan ramah dia tersenyum begitu tahu siapa yang berpapasan dengannya. Suatu kebetulan yang menyenangkan untuknya, akhirnya memiliki kesempatan untuk menyapa orang penting secara pribadai.Tubuh Emier menegak memperbaiki postur berdirinya. “Tuan Alfred, senang bertemu Anda di sini,” sapa Emier dengan senyuman formal.Alfred sedikit mengangguk tanpa ekspresi, menyembunyikan badai kebencian yang begitu besar pada lelaki tidak tahu malu yang kini berdiri di hadapannya.Sebenarnya, Alfred ingin segera menemukan Floryn, berhubung Emier menya
“Kemana perginya Alfred? Aku tidak melihatnya setelah pesta berakhir,” tanya Steve.“Tuan Muda mengantar teman-temannya ke bandara.” Dengan sopan Piper mempersilahkan Steve untuk berjalan lebih dulu memasuki ruangan kerjanya.“Apa yang mau kau bicarakan Piper?” tanya Steve seraya menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Piper.“Ini tentang kejadian tadi siang Tuan,” jawab Piper menggantung, dalam satu tarikan napas panjangnya dia kembali berkata, “mungkin ini terdengar sederhana, namun karena ini menyangkut nona Nara, saya rasa Anda berhak tahu.”Steve mengangguk dengan tenang, dia mempersilahkan Piper untuk menceritakan apa yang ingin dia sampaikan, termasuk siapa dalang dari kejadian hilangnya anjing Nara yang bisa terluka di hutan.Piper tidak hanya sekadar bercerita, dia juga menyerahkan bukti rekaman saat menginterogasi Daisy untuk memperkuat pernyataanya.Ketenangan Steve perlahan berubah begitu mendengar nama Melisa disebutkan oleh Piper.Selama ini, Steve sudah bisa menduga b
“Arght.” Alfred terbangun memekik kesakitan.Dengan susah payah Floryn bangkit dari lantai, gadis itu terhuyung berdiri meneliti pakaiannya yang masih sama dengan semalam, dilihatnya Alfred kini duduk merenggut marah, tidur nyenyaknya yang baru tiga jam dibangunkan dengan tendangan. “Apa yang terjadi? Dimana ini?” tanya Floryn dengan napas memburu sampai tidak mempedulikan tangannya gemetar kesakitan.“Aku yang membawamu, sekarang kau sedang ada di hotel!” jawab Alfred menyelak marah.Floryn terbelalak. “Mengapa Anda membawa saya kesini? Seharusnya saya berada di rumah!” teriak Floryn mulai panik.Alfred melongo kaget. “Astaga, harga diriku bena-benar terluka. Bagaimana bisa setelah menendangku kau berani berteriak padaku? Kau pikir aku sopirmu?”Kaki Floryn bergerak gelisah, gadis itu tidak enak hati, dia terlalu panik hingga lupa mengontrol diri. “Kita tidak melakukan apa-apa kan?” tanya Floryn lagi dengan suara yang lebih pelan.“Memangnya apa yang kau pikirkan? Aku tidak suka mel
“Tampaknya, Alfred tidak cukup tertarik padamu Melisa,” ucap Poppy membuka percakapan ditengah sarapan pagi yang sedang berlangsung.“Mengapa Ibu bisa berkesimpulan seperti itu?” tanya Melisa.“Diamnya Alfred yang tidak menanggapi rencana pernikahan yang ibu bahas, sudah bisa dipastikan dia tidak menyukainya.”Melisa menelan makanannya dengan kesulitan, kejadian di malam pesta sepertinya sudah membuat Poppy cukup banyak tahu tentang seberapa anehnya hubungan Alfred dan Melisa. Tidak ada tatapan mesra, tidak ada yang melakukan kontak fisik dengan alami untuk menunjukan keterikatan, bahkan Alfred Morgan tidak mengenakan cincin pertunangannya.Alfred memang tidak banyak berbicara dengan kedua orang tua Melisa, namun tatapannya yang tidak bersahabat dapat disadari jika pria itu menciptakan pembatas yang tidak dapat dihilangkan.Saat ini hubungannya dengan Alfred memang rentan hancur, Alfred sudah berencana membatalkan pertunangan mereka berdua. Meskipun begitu, Melisa tetap ingin bertahan
“Dimana pakaian saya?” tanya Floryn berdiri di sudut ruangan, menjaga jarak sejauh mungkin dari Alfred Morgan.Alfred menunjuk satu set pakaian di atas ranjang. “Pakailah dulu itu.”“Saya mau pakaian yang saya gunakan semalam, saya tidak butuh pakaian baru,” jawab Floryn mempertagas ucapannya.Alfred berdecak pinggang menahan senyuman gelinya, dia sangat menikmati kewaspadaan Floryn. Ekspresinya yang takut terlihat lucu, terutama dengan sepasang matanya yang indah itu selalu berkilauan ketika panik. Sayang sekali, waktu mereka terbatas, tidak ada waktu untuk Alfred bermain-main.“Kau ingin menghabiskan pagi kita hanya untuk memperdebatkan pakaian?” tanya Alfred dengan serius. Floryn menelan salivanya dengan kesulitan, jika dipikir-pikir, sebaiknya dia berhenti bersikap keras kepala. Urusan pakaian yang dia pinjam dari Julliet akan menjadi urusan nanti, hal yang terpenting untuk Floryn saat ini adalah pergi secepatnya dari hotel dan pergi ke rumah dinas pertama Emier untuk mencari ke
"Floryn Danika ini psikopat!""Benar! Bagaimana bisa anak berumur 15 tahun sepertinya, tak merasa bersalah setelah membunuh adik tirinya?""Meski tak ada hubungan darah, harusnya Floryn tak sekeji itu untuk meracuninya! Semoga, dia dapat hukuman seberat-beratnya!""Benar! Jangan lembek karena embel-embel masih di bawah umur. Kita harus kawal persidangan."Bisikan di ruang persidangan terdengar terus-menerus. Tampak sekali, semua orang sangat menantikan keputusan akhir dari hakim hari ini.Bahkan, kumpulan media dari berbagai stasiun TV juga berharap mendapat berita besar dari kasus Floryn yang merupakan calon atlet ice skating terbaik di negara ini dan juga anak dari salah satu petinggi kepolisian!"Sidang akan dimulai kembali!"Bersamaan dengan ucapan Hakim Ketua, suasana pun kembali tenang, terutama saat Floryn Danika kembali hadir.Penampilan gadis bermata hijau safir itu seketika mengalihkan perhatian.Meski kesal, mereka mengakui bahwa Floryn begitu cantik. Sayangnya, dia jahat d