Kepulan asap rokok bergerak di udara, aroma kopi tercium. Emier tengah duduk membaca koran paginya, membaca beberapa baris berita tentang pembersihan yang dilakukan oleh dinas social yang mendapatkan beberapa kritikan tajam karena tidak memberika sosuli apapun untuk menghilangkan kemiskinan.Karena kritikan tajam itu akhirnya walikota menghentikan semua pembersihan yang sempat terjadi dan melepaskan kembali ratusan gelandangan.Suara tawa kencang Erika terdengar.. Koran ditangan Emier kembali dilipat, pandangannya tertuju lurus kelantai bawah, melihat Erika yang tengah bermain dengan Nolan.Kedekatan Erika dan Nolan terkadang membuat Emier merasa sedih, semenjak kariernya di kepolisian semakin membaik, Emier semakin kesulitan memiliki waktu di rumah apalagi menghabiskan waktu bersama Erika dan melihat perkembangannya.Emier tidak mendapatkan kesempatan untuk mendengar Erika pertama kalinya bisa berbicara, melihatnya berjalan. Kesuksesan Emier telah ditukar dengan kehilangan moment-m
Tidak membutuhkan banyak waktu untuk menemukan keberadaan Ali karena orang yang tengah Floryn cari sedang mengelap mobil yang akan dipakai Alfred pagi ini. “Permisi,” sapa Floryn.Tangan Ali berhenti dari aktivitasnya, dia segera berbalik dan berhadapan dengan Floryn. Reaksi pertama yang Ali tunjukan adalah diam terpaku dengan wajah pucat pasi, pria paruh baya itu mengerjapkan matanya beberapa kali, memastikan jika apa yang dilihatnya saat ini bukan sebuah halusinasi.Wajah Floryn begitu melekat kuat dalam ingatannya, Ali ingat dia dan Ali tahu siapa dia.Bagaimana bisa Ali melupakannya, dia adalah seorang gadis yang sudah berhasil membuat tuan mudanya tiga hari berturut-turut blusukan berjalan di gang hanya untuk mencarinya karena mereka berdua berjanji akan bertemu dan Floryn tidak menepati janji pertemuan itu.Ali ingat betul, seberapa terluka dan shocknya Alfred, tatkala gadis kecil yang dicarinya digelandang dengan kasar oleh beberapa polisi dan diteriaki oleh segerombolan masa
“Minta maaf,” tuntut Melisa tiba-tiba.Mata Floryn terbelalak dengan ketidak mengertiannya, tuntutan Melisa terdengar begitu konyol. Memangnya, dimana letak kesalahannya? Apa salah jika dia bertanya ketika tidak mengerti?Siapa sebenarnya wanita angkuh yang berdiri di hadapannya itu? Mengapa dia jauh lebih menyebalkan dari tuan mudanya?“Nona, dimana sebenarnya letak kesalahan saya?” tanya Floryn.Tangan Melisa terlipat didada. “Pertama, kau bertindak tidak sopan, seorang pelayan tidak sepantasnya menunjukan wajah dan membalas tatapan tuannya saat berbicara. Kedua, kau terlalu sering mengajak berbicara dan lebih banyak bertanya, seharusnya kau diam dan patuh saja dengan apa yang aku perintahkan.”Floryn terperangah dalam beberapa detik, jawaban Melisa terkesam mengada-ada seolah apapun yang dilakukan olehnya menjadi sebuah kesalahan. Pada akhirnya, sebuah kalimat terucap dari mulutnya, “Nona, apa yang Anda katakan barusan tidak ada dalam aturan kontrak peraturan kerja saya.”“Kau..”“F
“Barang yang pecah itu berharga seratus ribu dollar.”Pupil mata Floryn membesar, jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat, dengan lemah dia mundur beberapa langkah kehilangan banyak tenaga begitu tahu harga guci yang telah lalai dia jaga dan kini berserakan pecah di lantai.Floryn kebingungan dengan apa yang harus kini dia lakukan, lidahnya kelu tidak mampu berbicara, dia hanya bisa menekan dadanya yang begitu sesak diluapi desakan ingin menangis.Saratus ribu dollar adalah uang yang begitu luar biasa besar untuknya.Jika Melisa menuntut ganti rugi, darimana Floryn mendapatkan uang sebesar itu? Jangankan memiliki uang seratus ribu dollar, menjual seluruh barang dan jiwa raganya saja tidak akan sampai semahal itu.Tangan Floryn gemetar berkeringat dingin, gadis itu hanya bisa tertunduk menahan tangisan sedihnya. Tidak hanya takut menghadapi tuntutan ganti rugi, Floryn juga sangat takut jika ini akan menjadi hari terakhirnya bekerja.“Nyonya, meski Nara yang memecahkan guci saya, namun
Suara dentingan lift terdengar, Alfred berjalan keluar mencari keberadaan Steve. Beberapa buah pilar besar berlapis marmer dia lewati hingga area ballroom, langkah kaki Alfred terhenti didepan sebuah telepon, diambilnya gagang telepon, Alfred menekan beberapa nomer. Dia terlalu malas pergi ke dapur hanya untuk memesan segelas kopi dan sarapan pagi yang harus diantar keluar.“Dengan Felix disini,” sahut Felix menyambut panggilan Alfred.“Ini aku, Alfred. Aku ingin segelas kopi dan waffle, antarkan ke dekat danau sekarang.”“Baik, Tuan Muda.”Alfred segera memutuskan sambungan teleponnya dan pergi melewati beberapa pintu, dia akan pergi lewat belakang agar tidak bertemu dengan banyak orang“Kasihan sekali anak itu, dia sudah menghadapi kesulitan yang tidak mudah untuk ditangani,” ucap Piper diantara kesibukannya yang tengah merapikan satu persatu tas belanjaan yang berserakan dilantai.Beberapa pelayan lain tengah membersihkan pecahan guci dan memasukannya kedalam kotak khusus.“Lupakan
Floryn berdiri di ambang pintu dengan keranjang besar berisi pakaian kotor yang harus dia bawa kebawah, dilihatnya Nara yang terlihat sibuk melakukan sesuatu di dalam rumah-rumahannya.Floryn tahu jika Nara sedang murung, anak itu tidak tidak mengeluarkan banyak energy seperti biasanya untuk melakukan sesuatu.Ada sepercik rasa bersalah yang muncul, andai saja Floryn mengabaikan perintah tamu Nathalia dan fokus menemui Nara, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Seharusnya, Floryn memprioritaskan Nara karena dia yang harus selalu diutamakanHal yang wajar jika Nara marah, dia tidak patut disalahkan. Andaipun Nara bersikap tidak sopan dengan mendorong barang milik Melisa, semua orang harus bisa memahami karena Nara tidak pandai mengendalikan emosi maupun menyampaikan perasaannya lebih detail.Entah harus dengan cara apa kini Floryn meminta maaf pada gadis kecil itu. “Nona, sudah waktunya untuk Anda sarapan pagi.” Nara menggeleng tanpa suara, dia tidak mau turun kebawah selama Melisa
“Alfred tunggu.” Melisa menangkap tangan Alfred dan menahan langkahnya, sejak tadi ada sesuatu yang mengganjal hati Melisa karena ada sesuatu yang salah dibalik penampilan sempurna pria itu. Melisa mengangkat tangan Alfred dan meneliti jemari panjangnya yang polos tanpa mengenakan apapun. “Dimana cincin pertunangan kita? Kenapa kau tidak menggunakannya?” tanya Melisa dengan serius.Rahang Alfred mengetat, inilah mengapa dia malas didampingin siapapun, selalu ada hal yang tidak dia suka harus dilakukan.“Alfred, jawab aku,” desak Melisa dengan penuh tekanan.Tubuh Alfred menegak, diam-diam dia melirik Piper yang berdiri beberapa meter dari mereka tengah membuang muka berpura-pura tidak melihat tuan mudanya karena tidak mau terlibat apapun.Sejujurnya, Alfred lupa menaruh cincin itu dimana, terakhir kali dia menggunakannya adalah dua dua minggu lalu sebelum melakukan penerbangan ke Monaco.Selama ini, Alfred sudah terbiasa hanya menggunakan cincin pertunangan mereka ketika sedang berad
Jajaran para karyawan dari seluruh lapisan tengah duduk berkumpul di dalam sebuah ruangan besar, mereka terlihat fokus mendengarkan sebuah program baru yang disampaikan seorang direktur dari transfortaksi taksi yang dinaugi oleh keluarga Morgan.Akan ada sebuah gebrakan baru yang diakukan oleh perusahaan pusat menjelang pergantian kepeminpinan.Rachel tengah berdiri di bawah panggung bersama seorang seorang eksekutif manajer dari devisi pelayanan.Ditengah suasana yang cukup penting dan serius, beberapa kali Rachel kedapatan menarik napasnya dengan berat, wanita itu kesulitan mengalihkan pandangannya dari sosok pria menawan yang kini tengah duduk dan berbicara dengan sepupu jauhnya.Alfred Morgan.Orang yang sudah lama Rachel tunggu akan kedatangannya, akhirnya kini menunjukan diri secara resmi.Alfred Morgan, seorang lelaki paling menawan yang Rachel lihat dalam hidupnya. Pria berparas tampan itu jarang menunjukan ekspresi, hal itu menyulitkan lawan bicaranya untuk bisa menebak jalan